MARIA:
Persoalan yang tak pernah selesai?
Kita kenal ungkapan ini: "Bicara tentang Maria, tak akan ada habisnya!" Pada tgl 13 April 2001, ketika orang Katolik berbondong-bondong ke gereja untuk upacara cium salib, sebagian orang pergi ke satu tempat di Surabaya ini untuk melihat kebenaran berita "Maria yang menangis air mata madu". Berita ini tidak terlalu heboh. Mungkin karena orang mulai bosan dengan sensasi-sensasi seperti ini. Tetapi untuk saya, berita ini menarik buat direnungkan. Kenapa demikian? Karena belum selesai kita dikejutkan dengan berita: "Maria menangis air mata darah", tiba-tiba kita dihadapkan dengan berita "air mata madu". Lalu saya berpikir praktis: "Bunda Maria ini dari tahun ke tahun koq makin aneh?" Atau yang aneh itu siapa? Maria-nya atau orang-orangnya yang aneh? Menurut catatan sejarah gereja, sudah terjadi banyak penampakan Santa Maria. Ada yang sudah diakui secara resmi oleh gereja, yang lain masih dalam proses penyelidikan. Gereja selalu mengambil sikap "hati-hati", tidak terlalu cepat mengakui semua penampakan itu.
Pada bulan Mei dan Oktober, ribuan bahkan jutaan orang Katolik berziarah dan berdoa menghormati secara khusus Bunda Maria. Gereja menghimbau agar setiap anggotanya menaruh hormat yang penuh terhadap Bunda Gereja ini. Ada dua hal ekstrim yang harus dijauhkan dalam sikap seseorang terhadap devosi kepada Bunda Maria. Yang pertama adalah godaan untuk melebih-lebihkan peran Ilahi dalam karya penyelamatan. Dalam argumen ini Allah tidak perlu kerja-sama manusiawi. Manusia tidak punya peran apa-apa. Sehingga tidak seorang manusia pun, termasuk Maria, bisa layak dihormati. Karena, penghormatan seperti itu akan mengurangi kemuliaan yang hanya ditujukan kepada Allah. Akibat dari ekstrim ini muncul apa yang kita sebut "Mariophobia". Godaan yang kedua yakni melebih-lebihkan peran manusiawi dalam karya penyelamatan sampai melalaikan peran Ilahi. Argumen ini menegaskan bahwa Allah membutuhkan sarana untuk menghadirkan diri. Dan sarana paling nyata adalah Yesus Putra-Nya yang lahir dari rahim Maria. Akibat yang muncul dari ekstrim ini, orang berkeyakinan bahwa sarana saja sudah cukup. Hormati Maria saja sudah lumayan atau ungkapan lazimnya "Mariocentricisme".
Gereja menganjurkan agar setiap anggota membangun penghormatan yang benar dan sehat terhadap Bunda Maria. Keibuan Maria dalam kehidupan gereja sungguh-sungguh memberi inspirasi pelayanan bagi gereja. Uskup Fulton J. Sheen dalam bukunya: "Treasure in Clay" menulis: "Saya berkeyakinan bahwa kelemahan agama-agama dewasa ini yakni pada mereka tidak ada 'aspek keibuan'. Agama-agama sering terjebak kepada wajah agama yang keras dan fanatik. Mungkin boleh ditegaskan di bulan Maria ini, bahwa dunia kita, negara kita, gereja kita, terancam konflik dan menjadi goncang, karena banyak orang kehilangan aspek tadi. Jangan sampai kehidupan kita diwarnai dengan kekerasan dan sikap fanatik, justru karena agama-agama kita kehilangan anggotanya yang berhati ibu.
Berbahagialah kamu yang menerima dan mengakui Maria sebagai Bunda Gereja.
dikutip dari : “Semoga Saya Melihat”; Kumpulan Suara Gembala Gereja Katolik Gembala Yang Baik, Surabaya
|