Perkawinan yang Tak Terceraikan:
Apa Kata Kitab Suci?
oleh: P. Francis J Peffley
“`Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.' `Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.' `Murid-murid itu berkata kepada-Nya: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin”' (Mat 19:5-10, Luk 16:18, Mrk 10:2-12). Dari komentar para murid kita mengetahui bahwa mereka memahami betapa serius pernyataan Yesus bahwa suatu perkawinan adalah tidak terceraikan. Ajaran ini telah mengakibatkan banyak orang meninggalkan Gereja, seperti Henry VIII yang memisahkan Gereja Inggris dari Paus agar ia dapat menceraikan dirinya sendiri, dan pada akhirnya memenggal kepala para isterinya, pula menyebabkan St Thomas Moore dan banyak yang lainnya wafat sebagai martir.
Perkawinan yang tak terceraikan adalah lambang fisik dari realita rohani akan kesetiaan Tuhan terhadap Umat Pilihan-Nya. Penyelewengan atas perjanjian ini merupakan pengrusakan lambang kasih yang paling luar biasa Allah kepada kita, yaitu Kristus bagi Gereja. “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Ef 5:15-33, Why 21:2). Kitab Suci juga mengatakan, “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel” (Mal 2:13-17). “Kepada orang-orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya…. Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya” (1Kor 7:10-11, 39).
Katekismus Gereja Katolik No 1649 mengajarkan, “Tetapi ada situasi, di mana hidup bersama dalam keluarga, karena alasan-alasan yang sangat bervariasi, praktis tidak mungkin lagi. Dalam keadaan semacam ini Gereja mengizinkan, bahwa suami isteri secara badani berpisah dan tidak perlu lagi tinggal bersama. Tetapi Perkawinan dari suami isteri yang berpisah ini tetap sah di hadirat Allah; mereka tidak bebas untuk mengadakan Perkawinan baru. Dalam situasi yang berat ini perdamaian merupakan penyelesaian yang terbaik, jika mungkin. Jemaat Kristen harus membantu orang-orang ini, agar dapat menanggulangi situasi hidup mereka ini secara Kristen dan dalam kesetiaan kepada ikatan Perkawinannya yang tak terpisahkan.”
sumber : “The Indissolubility of Marriage: What Does the Bible Say?”; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.”
|