Apakah Bayi Korban Aborsi Masuk Surga?
oleh: P. William P. Saunders
Sebagai orang Katolik kita percaya bahwa kehidupan dimulai pada saat pembuahan, dengan demikian berarti bahwa seorang bayi yang tidak dilahirkan memiliki jiwa. Jika demikian halnya, apakah jiwa-jiwa para bayi korban aborsi terlantar di dunia orang mati? Apakah mereka dapat masuk ke surga?
~ seorang pembaca di Alexandria
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama haruslah kita paham akan dua hal. Pertama, gagasan tentang dunia orang mati (Lat, limbus*) merupakan gagasan teologi, bukan doktrin yang ditetapkan Gereja Katolik. Patut diingat bahwa kita wajib menjunjung tinggi apa yang diajarkan Kristus mengenai pentingnya Pembaptisan. Kristus mengatakan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.” (Yoh 3:5). Oleh sebab itu, Katekismus Gereja Katolik dengan tepat menegaskan, “Gereja tidak mengenal sarana lain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi.” (No. 1257). Dengan demikian, limbus merupakan gagasan akan apa yang terjadi pada jiwa anak-anak, teristimewa yang mati dan bukan karena kesalahan mereka sendiri tidak menerima pembaptisan. Mereka tidak melakukan suatu pun yang mengakibatkan siksa abadi di neraka, tetapi karena Dosa Asal dan karena tidak menerima pembaptisan, mereka tidak dapat masuk ke dalam surga. Karenanya, para teolog, termasuk St. Thomas Aquinas, beranggapan akan adanya limbus, suatu tempat atau keadaan belas kasih. Namun demikian, ajaran mengenai limbus ini masih tetap belum terdefinisi jelas dan spekulatif.
Kedua, bayi yang tidak dilahirkan adalah sungguh suatu pribadi pada saat pembuahan. `Declaratio de abortu procurato' menegaskan, “Dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda, melainkan hidup makhluk baru, yang tumbuh sendiri. Tak pernah ia menjadi manusia jika ia tidak sudah manusia sejak semula” (No. 12). Gereja tidak memberikan definisi secara khusus bilamana jiwa hadir. Namun demikian, kita percaya bahwa Allah yang Mahakuasa menanamkan jiwa ke dalam raga sesuai dengan kehendak-Nya bahwa ciptaan-Nya itu adalah suatu pribadi: bagi kebanyakan kita, yaitu pada saat pembuahan, tetapi pada kasus kembar identik dan kasus kembar lainnya, terjadi pada saat sesudah sel telur tunggal yang dibuahi itu membelah diri. Di sini, sekali lagi Gereja menegaskan bahwa kehidupan itu kudus sejak saat pembuahan dan wajib dilindungi. “Dari sudut etika sudah pasti bahwa juga jika barangkali ada keragu-raguan apakah hasil pembuahan sudah pribadi manusia, obyektif adalah dosa berat menempuh risiko pembunuhan” (No. 13).
Kembali kepada nasib anak-anak yang dibunuh melalui aborsi, atau meninggal dalam kandungan sebelum dilahirkan, atau keguguran, atau dilahirkan tetapi meninggal tanpa menerima pembaptisan, Katekismus menegaskan, “Anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan, hanya dapat dipercayakan Gereja kepada belas kasihan Allah, seperti yang ia lakukan dalam ritus penguburan mereka. Belas kasihan Allah yang besar yang menghendaki, agar semua orang diselamatkan, cinta Yesus yang lemah lembut kepada anak-anak, yang mendorong-Nya untuk mengatakan: `Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka' (Mrk 10:14), membenarkan kita untuk berharap bahwa untuk anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan ada satu jalan keselamatan.” (No. 1261)
Sebab itu, sembari menjunjung tinggi ajaran Kristus tentang pentingnya pembaptisan, kita juga mengandalkan “belas kasihan Allah yang tak terbatas”. Sepanjang Kitab Suci, belas kasihan Allah diagung-agungkan. Sebagai contoh, Mazmur 136 mengingatkan kita, “Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya,” dan Mazmur 145:8-9 mewartakan, “TUHAN itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setia-Nya. TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.” Sepanjang Injil, Yesus menunjukkan belas kasihan-Nya kepada para pendosa yang secara bebas telah memilih untuk berbuat dosa. St. Paulus menulis, “Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita.” (Ef 2:4-5). Secara keseluruhan, Kitab Suci secara terus-menerus mewartakan belas kasihan Allah yang tak terbatas.
Oleh karena keyakinan kita yang teguh akan belas kasihan Tuhan yang tak terbatas dan akan kehendak-Nya agar semua orang diselamatkan, kita memiliki pengharapan yang tulus bahwa sungguh ada satu jalan keselamatan bagi anak-anak yang meninggal tanpa menerima pembaptisan bukan karena kesalahan mereka sendiri. Lagipula, tidakkah tepat jika kita beranggapan bahwa merupakan kerinduan orangtua, segenap Gereja dan si anak (yang diciptakan seturut gambar dan citra Tuhan, dan setidak-tidaknya dengan cara yang paling sederhana memiliki kerinduan alamiah akan Tuhan), serta kerinduan Tuhan Sendiri yang sungguh mendambakan keselamatan bagi semua orang? Sama seperti orang dewasa, “yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal.” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja No. 16), kita yakin dengan pasti bahwa anak-anak yang tak bersalah dan tak berdaya, yang mati dalam kandungan, yang diaborsi, yang keguguran, atau mati tanpa menerima Pembaptisan tidak akan ditelantarkan oleh Kristus ataupun dijauhkan dari rahmat penyelamatan-Nya.
Pengharapan ini tampak jelas dalam “iman yang hidup” Gereja kita. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, ketika dengan penuh kasih menyapa para wanita yang pernah menggugurkan kandungannya, menulis, “… anda juga akan mampu meminta ampun dari anak anda, yang sekarang hidup dalam Tuhan” (No. 99). Pernyataan yang demikian itu menunjukkan keyakinan Bapa Suci akan belas kasihan Tuhan yang tak terbatas bagi anak-anak ini dan tempat mereka di surga.
Dalam Doa Pembukaan Misa pemakaman bagi anak yang belum dibaptis, imam mendaraskan salah satu dari doa-doa berikut: “Tuhan, sudi dengarkanlah doa-doa keluarga ini yang beriman kepada-Mu. Dalam dukacita mereka atas kematian anak ini, kiranya mereka beroleh pengharapan akan belas kasihan-Mu yang tak terbatas,” atau, “Bapa segala penghiburan, yang daripada-Nya tak ada suatu pun yang tersembunyi, Engkau mengenal iman kedua orangtua ini yang berduka atas kematian anak mereka. Semoga mereka beroleh penghiburan dengan mengetahui bahwa anak mereka berada dalam kasih pemeliharaan-Mu.”
Yang menarik, sebelum Konsili Vatikan II, seorang imam biasa mempersembahkan Misa para Malaikat bagi anak-anak yang meninggal tanpa menerima pembaptisan, mempercayakan mereka dalam pemeliharaan Malaikat Pelindung yang selalu memandang wajah Tuhan di sorga. Rahmat pengampunan dari Kurban Kudus Misa yang mengalir dari wafat dan kebangkitan Kristus pastilah memberikan istirahat bagi anak-anak ini dan menghibur keluarga mereka yang berduka.
Selain itu, kita merayakan Pesta Kanak-kanak Suci setiap tanggal 28 Desember, yang dianggap sebagai para martir iman walaupun mereka secara teknis belum dibaptis dan tidak mengenal Kristus. Pastilah, bayi-bayi korban aborsi dianggap juga sebagai para martir modern, yang menumpahkan darah mereka karena mereka dicipta oleh Allah, namun ditolak oleh manusia.
Sementara kita masih berkutat dalam masalah ini dan merasa cemas karena kurangnya ajaran yang definitif, kita menyerahkan segala kepercayaan kita ke dalam tangan Tuhan. Kristus mengajarkan kepada Gereja bahwa Pembaptisan merupakan sarana keselamatan, namun demikian Ia tidak terbatas dalam menganugerahkan sarana-sarana rahmat lainya yang tidak dikenali Gereja kepada anak-anak yang tak berdaya ini, dan atas sarana yang demikian itulah Gereja menaruh pengharapan besar. Namun demikian, pengharapan besar atas belas kasihan Allah yang tak terbatas janganlah sampai membuat kita berpuas diri dan dengan demikian lalai dalam menghantar anak-anak kita menerima pembaptisan ataupun lalai dalam mewartakan Injil kepada sesama. Sebaliknyalah, kita wajib dengan sungguh-sungguh menunaikan kewajiban kita dan membawa sebanyak mungkin orang datang kepada Kristus melalui Sakramen Baptis.
* Limbus dapat diartikan sebagai: (a) tempat penantian sementara atau keadaan jiwa orang-orang benar yang, meskipun bersih dari dosa, tidak dapat masuk ke dalam kebahagiaan abadi hingga kenaikan Kristus dengan jaya ke surga (“limbus patrum”); atau (b) tempat perhentian tetap atau keadaan jiwa anak-anak yang mati tanpa dibaptis dan mereka yang, meskipun meninggal tanpa dosa pribadi yang berat, tidak dapat masuk ke dalam kebahagiaan abadi oleh sebab dosa asal semata (“limbus infantium” atau “puerorum”). Sumber keterangan: The Catholic Encyclopedia
sumber : “Straight Answers: Do Aborted Children Go to Heaven?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1998 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|