Apa itu Dosa-Dosa Pokok?
oleh: P. William P. Saunders *
Mengapakah dosa-dosa pokok disebut dosa-dosa pokok?
~ seorang pembaca di Alexandria
Dosa-dosa pokok (= capital sins) adalah sumber segala dosa lainnya. Kata `capital' berasal dari kata Latin `caput' yang berarti `kepala'. Sesungguhnya, dalam membahas masalah ini, St Thomas Aquinas lebih suka mempergunakan kata “kebiasaan buruk” daripada “dosa”. Ia mengatakan, “Suatu kebiasaan buruk pokok adalah suatu kebiasaan buruk yang membangkitkan hasrat yang terlampau berlebihan sehingga demi memenuhi hasrat tersebut, orang akhirnya melakukan banyak dosa, yang dapat dikatakan kesemuanya berasal dari kebiasaan buruk yang satu itu sebagai sumber utamanya” (Summa Theologiae, II-II, 153, 4). Di sini St Thomas menekankan disposisi atau kebiasaan yang membuat orang cenderung untuk berbuat dosa. Sebab itu, dosa-dosa pokok atau kebiasaan-kebiasaan buruk pokok adalah sungguh “pokok” dan serius sebab merupakan sumber dari dosa-dosa aktual tertentu, entah dosa berat ataupun dosa ringan; pada gilirannya, pengulangan dosa-dosa aktual, khususnya dosa-dosa berat, menghantar pada kerusakan rohani orang yang hidupnya dikuasai oleh kebiasaan buruk ini.
Menurut tradisi, yang termasuk dalam dosa-dosa pokok ini seperti dimaklumkan oleh Paus St Gegorius Agung, adalah: kesombongan, ketamakan, hawa nafsu, iri hati, kerakusan, kemarahan dan kemalasan. Menariknya, St Thomas memasukkan “besar kepala” dan bukan kesombongan, guna menegaskan bahwa kesombongan adalah sumber dari segala dosa lainnya tanpa kecuali. Kita sekarang akan memberikan perhatian secara ringkas pada masing-masing dosa pokok; definisi klasik dalam teologi moral berikut dikutip dari Father Dominic Prummer's Handbook of Moral Theology.
KESOMBONGAN adalah “hasrat yang berlebihan untuk menonjolkan keunggulan diri sendiri.” Kesombongan disebut “penuh” apabila orang begitu dikuasai olehnya hingga ia menolak untuk menundukkan akal budi dan kehendaknya pada Tuhan, serta taat pada perintah-perintah-Nya. Orang yang demikian menolak Tuhan dan mereka yang mewakili-Nya. Dalam arti tertentu, seorang dengan kesombongan penuh menjadikan dirinya sendiri tuhan.
Kesombongan dapat juga “tidak penuh”. Di sini orang tidak menolak Tuhan atau mereka yang lebih tinggi darinya; melainkan, ia sekedar menilai dirinya terlalu tinggi.
Sehubungan dengan kesombongan adalah “besar kepala”, di mana orang memiliki hasrat berlebihan untuk memamerkan keunggulannya dan menerima pujian. Tentu saja, setiap orang hendaknya berbangga akan apa yang telah dicapainya dan bersyukur kepada Tuhan atas kemampuan yang dianugerahkan-Nya sehingga dapat melakukan sesuatu dengan baik. Namun demikian, disposisi batin yang demikian berbeda dari orang yang dalam “ke-ego-annya” termotivasi untuk melakukan sesuatu hanya demi mendapatkan pujian dan penghargaan, atau senantiasa berbicara mengenai “aku melakukan ini” dan “aku melakukan itu” demi membuat orang-orang lain kagum dan menyampaikan pujian mereka.
Kesombongan merupakan suatu kebiasaan buruk yang sangat berbahaya, demikian kata St Thomas, sebab orang begitu rentan terhadap kesombongan sebagai akibat dari luka dosa asal. Kesombongan dapat dengan mudah masuk diam-diam dalam kehidupan kita, berkembang pesat tanpa kita ketahui, berakar, dan mencemari segala yang kita lakukan. St Yohanes Vianney mengajarkan, “Kesombongan membuat kita membenci mereka yang sama dengan kita karena mereka sama dengan kita; mereka yang di bawah kita karena khawatir mereka akan menyamai kita; mereka yang di atas kita karena mereka di atas kita.” Penyembuh rohani untuk kesombongan meliputi pemeriksaan batin secara rutin dan seksama, mengamalkan kerendahan hati dan merenungkan kerendahan hati serta pelayanan Kristus.
KETAMAKAN “adalah cinta yang berlebihan akan harta milik atau kekayaan.” Seorang, terdorong oleh keserakahan, sibuk mendapatkan dan mendapatkan terlebih banyak lagi harta kekayaan. Seorang yang tamak terikat bergitu rupa pada kekayaan dan harta milik sehingga pengumpulan dan penimbunan harta kekayaan menjadi tujuan utama hidup dan mendapatkan prioritas di atas orang maupun segala hal lainnya. Ada beberapa bentuk ketamakan: Sebagai contoh, sebagian orang tamak akan barang-barang materi, selalu ingin mendapatkan lebih banyak dan hanya memberikan kelebihannya, “sedikit tip”, sesuatu yang tak akan merugikan. Sebagian orang tamak akan waktu, hanya melakukan apa yang dengan suatu cara tertentu mendatangkan keuntungan bagi mereka. Sebagian orang tamak akan relasi, berteman demi status atau mempergunakan orang demi keuntungan diri sendiri. Orang dapat dengan mudah menjadi keras hati dan buta terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka yang kurang beruntung. Dipicu ketamakan, orang merasa dapat mencukupi diri sendiri, berpuas diri dan tidak membutuhkan Tuhan.
Guna memerangi ketamakan, orang harus banyak bersyukur dalam doa setiap hari atas begitu banyak berkat yang dinikmati, mencermati bagaimana baiknya berkat-berkat itu dipergunakan sebagai sarana untuk menolong mereka yang kurang beruntung dan senantiasa ingat bahwa ketika orang mati, semuanya akan ditinggalkan. Orang perlu merenungkan banyak pengajaran dan contoh-contoh dalam Kitab Suci di mana orang diingatkan agar waspada terhadap ketamakan. Tuhan kita mengatakan, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan” (Luk 12:15) dan perhatikan, “Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Mrk 10: 25). Secara khusus, orang perlu merenungkan teladan Yesus. St Yohanes Vianney mengajarkan, “Ketamakan adalah cinta berlebihan akan kekayaan dan akan hal-hal baik dalam hidup ini. Yesus Kristus, demi menyembuhkan kita dari ketamakan, dilahirkan dalam kemiskinan yang sangat, jauh dari segala kenyamanan. Ia memilih seorang Bunda yang miskin. Ia menghendaki dilahirkan sebagai Putra seorang tukang kayu yang sederhana.” Ya, apabila kita meninggal dan menghadapi penghakiman, kita akan berdiri di hadapan Tuhan kita dengan tangan-tangan kosong; yang terpenting pada saat itu ialah jiwa yang dipenuhi kasih kepada-Nya dan yang ditandai dengan perbuatan-perbuatan baik.
HAWA NAFSU adalah “hasrat yang berlebihan akan kenikmatan seksual.” Dikuasai hawa nafsu, orang secara egois mencari cara untuk memuaskan hasrat seksualnya. Ia mencari kenikmatan pribadi yang sekejap. Ia memandang orang lain lebih sebagai tubuh belaka daripada sebagai pribadi. Dosa-dosa yang berkembang dari hawa nafsu termasuk menikmati pikiran-pikiran yang tidak sopan, masturbasi, percabulan, perzinahan dan pornografi. St Bernardus dari Clairvaux mengajarkan, “Cinta berlebihan akan daging adalah kekejian, sebab di bawah rupa memuaskan tubuh, kita membunuh jiwa.” Pada akhirnya, hawa nafsu menghantar orang pada pemujaan kenikmatan seksual.
Hawa nafsu berbeda dari hasrat sehat suami isteri untuk saling mengungkapkan kasih mereka sebagai suami dan isteri dalam ikatan perkawinan. Kasih suami isteri dalam perkawinan adalah suatu tindakan saling memberi diri yang bebas, saling menghormati martabat suami dan isteri, yang meneguhkan janji pernikahan mereka dan terbuka terhadap kehidupan baru.
Sebab itu, demi memerangi hawa nafsu, orang hendaknya berdoa mohon keutamaan kemurnian, waspada terhadap kesempatan dosa (yang begitu banyak dalam dunia ini) dan memiliki visi yang jelas akan kebaikan seksualitas dirinya, perkawinan dan kasih suami isteri seperti dirancangkan oleh Tuhan. Apabila datang pemikiran-pemikiran atau hasrat-hasrat yang tidak sopan, dan orang dapat jatuh ke dalam dosa, para pembimbing rohani juga menyarankan orang kerap menerima Sakramen Tobat, menghindarkan diri dari bermalas-malasan dan segera mengalihkan perhatian. Sebagai contoh, suatu ketika, St Fransiskus dari Assisi begitu dikuasai oleh pemikiran-pemikiran yang tidak sopan, maka ia melemparkan diri ke dalam semak-semak mawar. (Mungkin ada baiknya kita menanam banyak semak-semak mawar di sekitar wilayah kita!)
IRI HATI adalah “kesedihan atas hal-hal baik yang dinikmati orang lain, yang dianggap membahayakan diri sendiri oleh sebab hal-hal baik tersebut memudarkan keunggulan atau kemasyhuran diri.” Iri hati memperanakkan kebencian, gosip, pelecehan dan kedengkian terhadap sesama. Seorang yang iri hati tidak saja dengki atas kebaikan dalam diri orang lain - bakat, penampilan, harta milik, profesi atau popularitas - tetapi ia juga bergembira dan bahkan bersukacita atas kesulitan atau kemalangan yang dihadapi orang lain. Iri adalah dosa yang keji sebab ia masuk diam-diam ke dalam persahabatan-persahabatan yang akrab, bahkan antara pasangan-pasangan yang saling mengasihi. Beberapa orang kudus besar, seperti St Bernadette, banyak menderita karena iri hati dari sesama anggota komunitas religiusnya sendiri. Penyembuhan iri hati meliputi mengamalkan kerendahan hati, bersyukur atas hal-hal baik dalam diri sendiri, dan merenungkan konsekuensi dari iri hati, baik rusaknya persahabatan maupun penghukuman ilahi.
KERAKUSAN adalah “hasrat yang berlebihan akan makanan dan minuman.” Kerakusan berbahaya bagi kesehatan mental maupun fisik, dan kerap kali menyembunyikan bahkan masalah rohani yang lebih dalam. Orang perlu melatih keutamaan penguasaan diri guna mencegah kerakusan. Juga, orang hendaknya ingat akan konsekuensi fisik atas penyalahgunaan makanan dan minuman; misalnya, minum berlebihan dapat menghantar orang pada kecanduan alkohol. Akhirnya, orang hendaknya senantiasa ingat akan mereka yang kurang beruntung dan yang menderita akibat kekurangan makanan dan minuman yang layak. Sama sekali tidak ada alasan untuk membuang-buang makanan, dan mereka yang melakukannya juga bersalah karena kerakusan - mengambil makanan sebanyak-banyaknya, lalu tidak memakannya habis, dan membuangnya secara percuma di sampah.
KEMARAHAN adalah “hasrat yang berlebihan untuk membalas dendam.” (Patut dicatat bahwa “kemarahan yang salah” ini berbeda dari “kemarahan yang benar,” di mana orang marah karena ketidakadilan di dunia atau bahkan dalam situasi-situasi pribadi, dan mencari cara untuk menanggulangi masalah serta memulihkan keadilan.) Kemarahan pertama-tama melanggar belas kasih sebab orang cenderung untuk bertindak dan berkata-kata sedemikian rupa, yang dapat melukai orang lain. Sebagai contoh, kata-kata yang dilontarkan dalam kemarahan, entah itu kata-kata kasar atau pernyataan yang menyakitkan mengenai orang lain, dapat menembus hingga ke lubuk hati orang. Kedua, kemarahan terkadang melanggar keadilan sebab orang bertindak di luar batas dalam menangani suatu masalah dan berusaha membalas dendam. St Thomas Aquinas mengajukan enam dampak sebagai akibat kebiasaan buruk kemarahan: kejengkelan, kekacauan mental, suara bicara yang memekakkan telinga, kutuk, makian dan pertikaian. Agar mawas diri terhadap kemarahan, orang harus setia pada keutamaan keadilan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan; menguasai diri dalam menangani suatu masalah; dan mengikuti teladan Kristus. St Katarina dari Siena mengatakan, “Tak ada dosa ataupun kesalahan yang dapat membuat orang mencicipi neraka sedemikian rupa dalam hidup ini seperti kemarahan dan ketidaksabaran.”
KEMALASAN adalah “kemurungan ketika berhadapan dengan hal-hal rohani” (St Thomas Aquinas). Kemalasan yang dimaksud di sini bukan sekedar kemalasan, tetapi teristimewa kemalasan rohani. Dosa-dosa yang berkembang dari kebiasaan buruk kemalasan ini meliputi suam-suam kuku terhadap perintah-perintah Allah, menyimpang pada apa yang dilarang dan memperkerap kesempatan dosa, pengecut dan berputusasa akan keselamatan. Penyembuh kemalasan adalah ingat akan ganjaran abadi yang dijanjikan, pula ingat akan hukuman atas dosa. Uskup Agung Fulton Sheen mengajarkan, “Kemalasan adalah suatu penyakit kehendak yang mengakibatkan kita melalaikan kewajiban. Kemalasan dapat berupa kemalasan jasmani maupun kemalasan rohani. Kemalasan jasmani ketika ia mewujudnyatakan dirinya dalam bermalas-malasan, menunda-nunda, berpangku tangan, acuh tak acuh dan kejemuan. Kemalasan rohani apabila ia mewujudnyatakan dirinya dalam ketidakpedulian untuk memperbaiki karakternya, keengganan terhadap hal-hal rohani, berdevosi dalam tempo sesingkatnya, suam-suam kuku dan gagal menanamkan keutamaan baru” (Victory over Vice, hal. 73).
Ketujuh dosa pokok, atau kebiasaan buruk pokok, adalah nyata. Tiap-tiap umat Kristiani wajib menyadari betapa rentan dirinya terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk ini sebagai akibat dari dosa asal. Namun demikian, dengan rahmat Tuhan, yang dianugerahkan teristimewa melalui Sakramen Ekaristi Kudus dan Sakramen Tobat, dengan mentaati perintah-perintah Tuhan, dan mengamalkan keutamaan-keutamaan, umat Kristiani akan tinggal di jalan kekudusan. Seperti disabdakan Yesus, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48).
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: What Are Capital Sins?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|