![]() |
![]() ![]() ![]() Kesaksian Catalina mengenai Misa Kudus
Saat-saat akhir Prefasi telah tiba, dan sekonyong-komyong, ketika umat mendaraskan, “Kudus, Kudus, Kudus”, segala yang ada di belakang para selebran lenyap. Di belakang sisi kiri Uskup Agung, tampak beribu-ribu Malaikat dalam suatu garis diagonal: Malaikat-Malaikat kecil, Malaikat-Malaikat besar, Malaikat-Malaikat bersayap lebar, Malaikat-Malaikat bersayap kecil, Malaikat-Malaikat tanpa sayap. Sama seperti Malaikat-Malaikat sebelumnya, semua mengenakan jubah serupa alba putih para imam atau putera altar.
Semua berlutut dengan tangan terkatup dalam doa, dan menundukkan kepala dalam hormat. Terdengar suara musik nan merdu, seolah ada begitu banyak paduan suara yang berpadu harmoni dalam beragam suara, semuanya bermadah sesuara dengan umat: Kudus, Kudus, Kudus….
Tibalah saat Konsekrasi, saat yang paling mengagumkan dari segala Mukjizat …. Di belakang sisi kanan Uskup Agung tampak suatu himpunan besar orang, juga dalam suatu garis diagional. Mereka mengenakan jubah serupa dengan jubah para Malaikat Pelindung, tetapi dalam warna-warna lembut: merah muda, hijau, biru muda, ungu muda, kuning; yakni dalam beraneka warna yang amat lembut. Wajah mereka juga berbinar-binar, penuh sukacita. Mereka semua tampak seusia. Kalian dapat melihat (aku tak dapat mengatakan mengapa) bahwa mereka adalah orang-orang dari berbagai tingkat usia, tetapi wajah mereka tampak serupa, tanpa kerut, bahagia. Mereka semua berlutut juga, sementara menyanyi “Kudus, Kudus, Kuduslah Tuhan….”
Bunda Maria mengatakan: “Mereka ini adalah segenap santa santo dan beata beato di surga, dan di antara mereka terdapat juga jiwa-jiwa dari sanak saudara dan anggota keluarga kalian yang telah menikmati Hadirat Tuhan.” Kemudian aku melihat Bunda Maria. Ia di sana, tepat di sebelah kanan Yang Mulia Uskup Agung… setapak di belakang selebran. Ia sedikit melayang di atas lantai, berlutut di atas suatu bantalan yang amat indah, transparan sekaligus bercahaya, serupa air kristal. Santa Perawan, dengan tangan-tangannya terkatup dalam doa, memandang dengan penuh perhatian dan hormat kepada selebran. Ia berbicara kepadaku dari sana, tetapi tanpa suara, langsung ke hatiku, tanpa memandangku:
“Aneh bagimu melihatku sedikit di belakang Monsignor, bukankah begitu? Demikianlah seharusnya…. Sekalipun begitu besar kasih PutraKu kepadaku, Ia tidak memberiku martabat seperti yang Ia berikan kepada seorang imam, yakni dapat mendatangkan Putraku dalam tangan-tanganku setiap hari, seperti yang dilakukan tangan-tangan imamatnya. Karena itulah, aku merasakan hormat mendalam bagi seorang imam dan bagi segala mukjizat yang Tuhan selenggarakan melalui seorang imam, yang membuatku berlutut di sini.”
Ya Tuhan-ku, betapa martabat, betapa rahmat yang Tuhan limpahkan atas jiwa-jiwa imamat. Dan kita, bahkan mungkin sebagian dari mereka, tidak menyadarinya.
Di depan altar, mulai tampak bayangan-bayangan manusia berwarna abu-abu dengan tangan-tangan terkedang. Santa Perawan mengatakan: “Mereka ini adalah jiwa-jiwa di Api Penyucian yang menantikan doa-doa kalian agar dilegakan. Janganlah berhenti berdoa bagi mereka. Mereka berdoa bagi kalian, tetapi mereka tidak dapat berdoa bagi diri mereka sendiri. Kalianlah yang harus berdoa bagi jiwa-jiwa menderita guna menolong mereka pergi [dari api penyucian], agar mereka dapat bersama dengan Tuhan dan menikmati-Nya dalam keabadian.
Sekarang engkau lihat, aku ada di sini sepanjang waktu. Orang banyak pergi berziarah dan mencari tempat-tempat di mana aku menampakkan diri. Itu baik, sebab segala rahmat yang mereka terima di sana. Tetapi, tidak dalam penampakan manapun, pula tidak di tempat manapun, aku hadir terlebih lama [sepanjang waktu] dari di Misa Kudus. Kalian akan selalu mendapatiku di kaki Altar di mana Ekaristi dirayakan. Di kaki Tabernakel, aku tinggal bersama para malaikat sebab aku senantiasa bersama-Nya.”
Memandang wajah rupawan Bunda kita pada saat “Sanctus” itu, bersama segenap yang lainnya dengan wajah-wajah mereka yang bercahaya, tangan-tangan terkatup dalam doa, menantikan mukjizat yang berulang terus-menerus, adalah berada di surga itu sendiri. Dan memikirkan bahwa ada orang-orang yang, pada saat itu, dapat beralih perhatiannya dalam pembicaraan. Sungguh menyedihkan bahwa banyak laki-laki, lebih banyak dari kaum perempuan, yang berdiri dengan tangan terlipat, seolah memberikan penghormatan kepada Tuhan yang setara dengan mereka.
Bunda Maria mengatakan: “Katakanlah kepada semua orang bahwa tidak pernah seorang laki-laki terlebih jantan daripada saat ia bertekuk lutut di hadapan Tuhan.”
Selebran mendaraskan kata-kata Konsekrasi. Ia adalah seorang dengan tinggi badan normal, tetapi sekonyong-konyong, ia mulai bertumbuh dan dipenuhi cahaya. Suatu cahaya adikodrati antara putih dan emas melingkupinya dan semakin bertanbah kuat dalam cahaya sekeliling wajahnya, begitu rupa hingga aku tak dapat melihat wajahnya. Ketika ia mengunjukkan Hosti, aku melihat tangannya. Ada tanda-tanda di punggung kedua tangannya, dari mana memancar berlimpah cahaya. Itu Yesus!... Dia-lah yang merengkuhkan Tubuh-Nya sekeliling selebran, seolah Ia dengan penuh kasih membimbing tangan-tangan Uskup Agung. Pada saat itu, Hosti mulai bertumbuh dan menjadi sangat besar, dan di atasnya tampak Wajah Yesus yang mengagumkan, memandang kepada umat-Nya.
Secara naluri, aku hendak menundukkan kepalaku, tetapi Bunda Maria mengatakan: “Janganlah menunduk. Tegakkanlah kepalamu untuk memandang dan mengkontemplasikan Dia. Tataplah mata-Nya dan ulangilah doa Fatima: Tuhan, aku percaya, aku menyembah, aku berharap, dan aku mengasihi Engkau. Aku mohon pengampunan bagi mereka yang tidak percaya, yang tidak menyembah, yang tidak berharap, dan yang tidak mengasihi Engkau. Pengampunan dan Kerahiman…. Sekarang katakan kepada-Nya betapa engkau mengasihi-Nya dan haturkanlah sembah sujudmu kepada Raja segala Raja.”
Aku mengatakannya kepada-Nya. Tampak seolah aku adalah satu-satunya yang Ia tatap dari Hosti besar itu. Tetapi aku mengerti bahwa demikianlah Ia memandang tiap-tiap orang, dengan kasih yang sepenuh-penuhnya. Kemudian aku menundukkan kepala hingga keningku menyentuh lantai, seperti yang dilakukan segenap malaikat dan para kudus dari surga. Mungkin sekejap, aku terheran-heran bagaimana Yesus mengenakan tubuh selebran dan, pada saat yang sama, Ia berada dalam Hosti. Dan sementara Uskup Agung menurunkan Hosti, Hosti kembali ke ukurannya yang normal. Airmata mengalir menuruni kedua pipiku. Aku tak dapat lepas dari ketakjubanku.
Segera sesudahnya, Monsignor mendaraskan kata-kata konsekrasi anggur dan, sementara kata-kata didaraskan, kilat muncul di langit dan di latar belakang. Tiada lagi atap dan dinding-dinding gereja. Semuanya gelap, terkecuali cahaya cemerlang di Altar.
Sekonyong-konyong, melayang di udara, aku melihat Yesus yang tersalib. Aku melihat-Nya dari kepala hingga bagian dada sebelah bawah. Palang Salib ditopang oleh tangan-tangan yang besar dan kuat. Dari dalam cahaya yang kemilau muncul suatu cahaya gemilang yang jauh lebih kecil, serupa seekor merpati yang amat kecil dan amat cemerlang. Merpati terbang pesat satu kali mengelilingi seluruh gereja dan akhirnya bertengger di atas pundak kiri Uskup Agung, yang terus tampak bagai Yesus sebab aku dapat mengenali rambut-Nya yang panjang, luka-luka-Nya yang bercahaya, tubuh-Nya yang besar, tetapi aku tak dapat melihat wajah-Nya.
Di atasnya, Yesus yang tersalib, kepala-Nya terkulai di atas pundak kanan-Nya. Aku dapat mengkontemplasikan wajah-Nya, tangan-tangan-Nya yang memar dan daging yang terkoyak. Di sebelah kanan dada-Nya, ada suatu luka dan darah memancar keluar ke sebelah kiri; dan sesuatu yang tampak seperti air, tetapi kemilau, [memancar] ke sebelah kanan. Aliran-aliran ini lebih menyerupai pancaran cahaya yang memancar kepada umat beriman, dan bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku takjub akan banyaknya darah yang tercurah ke dalam Piala. Aku pikir darah-Nya akan meluap dan membanjiri seluruh Altar, namun tiada setetes pun yang tumpah.
Pada saat itu, Santa Perawan Maria mengatakan: “Inilah mukjizat dari segala mukjizat. Telah kukatakan kepadamu sebelumnya bahwa Tuhan tidak dibatasi waktu dan ruang. Pada saat Konsekrasi, segenap jemaat dibawa ke kaki Kalvari, pada saat penyaliban Yesus.”
Dapatkah seorang pun membayangkannya? Mata kita tidak dapat melihatnya, tetapi kita semua ada di sana tepat pada saat Yesus disalibkan. Dan Ia memohon pengampunan kepada Bapa, tidak hanya bagi mereka yang hendak membunuh-Nya, melainkan juga bagi setiap dosa kita: “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”
Sejak hari itu, aku tidak peduli apakah aku dianggap gila, tetapi aku meminta semua orang untuk berlutut dan untuk berusaha mengalami hak istimewa yang Tuhan anugerahkan kepada kita, dengan segenap hati dan dengan segala perasaan yang mampu ia ungkapkan.
Ketika kami hendak mendaraskan Bapa Kami, Tuhan berbicara untuk pertama kalinya sepanjang perayaan itu; Ia mengatakan: “Tunggu, Aku menghendaki kalian mendoakannya dengan sekhidmad mungkin. Pada saat ini, Aku menghendaki kalian memikirkan seseorang atau orang-orang yang telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupmu, agar engkau dapat memeluk mereka erat-erat, dan mengatakan kepada mereka dari lubuk hatimu: `Dalam Nama Yesus, aku mengampunimu dan memberikan damaiku bagimu. Dalam Nama Yesus, aku mohon pengampunanmu dan mengharapkan damaimu bagiku.' Jika orang tersebut pantas mendapatkan damai, maka ia akan menerimanya dan mendapatkan banyak rahmat darinya; jika orang itu tidak dapat membuka hati bagi damai, maka damai akan kembali ke dalam hatimu. Tetapi Aku tidak menghendaki kalian menerima atau menawarkan damai kepada yang lain apabila kalian tidak dapat mengampuni dan merasakan damai itu terlebih dahulu dalam hatimu.
Berhati-hatilah akan apa yang kalian lakukan,” lanjut Tuhan, “kalian mengulang dalam doa Bapa Kami: ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Jika kalian dapat mengampuni tetapi tidak melupakan, seperti dikatakan sebagian orang; kalian menempatkan prasyarat atas pengampunan Tuhan. Kalian mengatakan: Engkau mengampuniku hanya karena aku dapat mengampuni, tidak lebih dari itu.”
Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan kesedihanku, menyadari betapa mudahnya kita dapat menyakiti Tuhan. Juga betapa mudahnya kita dapat menyakiti diri kita sendiri dengan menimbun begitu banyak dendam, perasaan tidak enak dan hal-hal buruk yang terlahir dari prasangka kita sendiri dan karena kita terlalu mudah tersinggung. Aku mengampuni; aku mengampuni dari lubuk hatiku, dan memohon pengampunan dari semua orang yang pernah aku sakiti, agar aku dapat merasakan damai Tuhan.
Selebran mengatakan, “… berilah kami damai-Mu …” dan kemudian, “damai Tuhan sertamu.”
Sekonyong-konyong aku melihat di antara sebagian (tidak semua) orang yang saling memeluk satu sama lain, suatu cahaya yang amat kuat menempatkan diri di antara mereka. Aku tahu itu adalah Yesus, dan aku hampir-hampir melemparkan diriku untuk memeluk orang di sebelahku. Aku sungguh dapat merasakan pelukan Tuhan dalam cahaya itu. Dia-lah yang memelukku untuk memberikan damai-Nya bagiku, sebab pada saat itu aku telah dapat mengampuni dan menghapuskan dari hatiku segala kesedihan yang diakibatkan orang-orang lain. Itulah yang Yesus kehendaki, ikut ambil bagian dalam momen sukacita itu, memeluk kita guna memberikan Damai-Nya bagi kita.
Tibalah saat Komuni selebran. Di sana, sekali lagi aku melihat kehadiran semua imam lain di samping Monsignor. Ketika Monsignor menyambut Komuni, Santa Perawan Maria mengatakan:
“Inilah saatnya untuk berdoa bagi selebran dan para imam yang mendampinginya. Ulangilah bersamaku: `Tuhan, berkatilah mereka, kuduskanlah mereka, tolonglah mereka, murnikanlah mereka, kasihilah mereka, peliharalah mereka dan topanglah mereka dengan Kasih-Mu.' Ingatlah akan segenap imam di seluruh dunia. Berdoalah bagi segenap jiwa-jiwa yang dikonsekrasikan….”
Saudara dan saudari terkasih, inilah saat di mana kita seharusnya berdoa bagi mereka, sebab mereka adalah Gereja, seperti kita juga, kaum awam. Begitu banyak kali kita, kaum awam, menuntut banyak dari para imam, tetapi kita tidak dapat berdoa bagi mereka, mengerti bahwa mereka adalah manusia, dan memahami serta menghargai kesendirian yang banyak kali meliputi seorang imam.
Seharusnya kita mengerti bahwa para imam adalah manusia seperti kita juga, dan bahwa mereka butuh perhatian dan pengertian kita. Mereka membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari kita sebab dalam mengkonsekrasikan diri mereka sendiri kepada Yesus, mereka memberikan hidup mereka bagi masing-masing kita, seperti yang Yesus lakukan.
Tuhan menghendaki umat dalam kawanan, yang dipercayakan Tuhan kepada imam, berdoa bagi imam mereka dan membantu dalam pengudusannya. Suatu hari, apabila kita telah berada di dunia yang lain, kita akan mengerti betapa mengagumkan yang telah Tuhan lakukan dengan memberikan bagi kita, imam-imam untuk membantu kita menyelamatkan jiwa kita.
Orang-orang mulai meninggalkan bangku mereka untuk menyambut Komuni. Saat agung perjumpaan dalam Komuni Kudus telah tiba. Tuhan mengatakan kepadaku: “Sebentar. Aku ingin engkau mengamati sesuatu….” Suatu dorongan batin membuat aku mengarahkan mataku kepada seorang yang akan menyambut Komuni di lidah dari tangan imam.
Perlu aku terangkan bahwa ia adalah salah seorang perempuan dari kelompok kami yang malam sebelumnya tak dapat Mengaku Dosa, tetapi pagi ini melakukannya sebelum Misa Kudus. Ketika imam menerimakan Hosti Kudus di lidahnya, sesuatu bagai suatu kilasan cahaya, suatu cahaya yang amat putih keemasan (yang aku lihat sebelumnya) menembusi pertama-tama punggung orang ini, dan lalu melingkupi punggungnya, pundaknya, dan kepalanya. Tuhan mengatakan:
“Begitulah bagaimana Aku bersukahati memeluk suatu jiwa yang datang dengan hati yang bersih untuk menyambut-Ku!” Nada suara Yesus adalah nada suara seorang yang bergembira.
Dengan takjub aku melihat temanku yang kembali ke bangkunya, dengan dilingkupi cahaya, dipeluk oleh Tuhan. Aku bertanya-tanya betapa banyak kita kehilangan dalam menyambut Yesus dengan pelanggaran-pelanggaran kecil ataupun pelanggaran-pelanggaran besar kita, padahal seharusnya itu adalah suatu pesta.
Kerap kita mengatakan bahwa tidak senantiasa ada imam kepada siapa kita Mengaku Dosa. Tetapi masalahnya bukan mengenai selalu pergi Mengaku Dosa. Masalahnya terletak pada mudahnya kita jatuh lagi ke dalam dosa. Di lain pihak, sama seperti halnya seorang perempuan berupaya mencari salon kecantikan atau seorang pria mencari salon potong rambut apabila hendak ke pesta, kita juga berupaya mencari imam apabila kita menghendaki segala kekotoran itu dihapuskan dari diri kita. Janganlah kita memiliki keberanian untuk menyambut Yesus setiap saat dengan hati kita yang kotor.
|
![]() |