Bab XII
Yesus Dikurung Dalam Penjara Bawah Tanah


Orang-orang Yahudi, setelah kehabisan tenaga melampiaskan kebiadaban mereka, mengurung Yesus dalam suatu bilik penjara yang kecil sepanjang sisa hari itu. Hanya dua prajurit pembantu saja yang masih tetap bersama-Nya; mereka pun segera digantikan oleh dua orang lainnya. Yesus masih terbalut dalam mantol usang yang kotor dan tubuh-Nya penuh ludah serta kotoran-kotoran lain yang mereka lemparkan kepada-Nya. Mereka tidak memperkenankan Yesus mengenakan jubah-Nya sendiri, melainkan membelenggu kedua tangan-Nya dalam satu ikatan yang erat.

Ketika Tuhan kita memasuki sel-Nya, Ia berdoa dengan sungguh-sungguh agar Bapa SurgawiNya sudi menerima segala sengsara yang telah diderita-Nya, pun segala sengsara yang akan diderita-Nya, sebagai suatu kurban silih, bukan hanya bagi para algojo-Nya, melainkan juga bagi mereka semua, yang di masa mendatang mungkin harus mengalami sengsara seperti yang akan segera ditanggung-Nya, dan dicobai dalam ketidaksabaran dan amarah.

Para musuh Yesus tidak membiarkan-Nya beristirahat barang sejenak, bahkan dalam penjara yang pengap ini. Mereka membelenggu-Nya ke sebuah pilar yang berdiri di tengah penjara dan bahkan tidak membiarkan-Nya menyandarkan diri padanya, walau tenaga-Nya sudah terkuras habis oleh perlakuan keji mereka. Beratnya rantai besi dan akibat jatuh berulang kali, menyebabkan Yesus hampir-hampir tak dapat menopang tubuh-Nya sendiri di atas kedua kaki-Nya yang bengkak dan terkoyak-koyak. Tak sekejap pun mereka berhenti menganiaya-Nya, dan jika mereka telah letih menyiksa-Nya, yang lain akan menggantikan mereka.

Mustahil menggambarkan segala penderitaan Yang Mahakudus dari Yang Kudus akibat perlakuan makhluk-makhluk yang tak punya hati ini. Pemandangan sengsara itu menyiksaku begitu luar biasa hingga aku sungguh jatuh sakit dan merasa bahwa aku tak akan mampu bertahan. Sungguh, patutlah kita malu akan segala kelemahan dan kerapuhan kita yang menjadikan kita tak mampu mendengarkan dengan sabar atau pun berbicara tanpa rasa enggan, gambaran akan derita dan sengsara yang ditanggung Tuhan kita dengan begitu tenang dan sabar demi keselamatan kita. Rasa ngeri yang kita rasakan begitu hebat bagaikan rasa ngeri seorang pembunuh yang dipaksa untuk meletakkan tangannya ke atas luka-luka yang ia sendiri akibatkan pada kurbannya. Yesus menanggung semuanya tanpa membuka mulut-Nya. Manusia, manusialah yang berdosa, yang melakukan segala kekejian ini terhadap Dia yang sekaligus adalah Saudara mereka, Penebus mereka, dan Tuhan mereka. Aku juga seorang pendosa besar, dan dosa-dosaku mengakibatkan sengsara-Nya. Pada hari penghakiman, ketika segala hal yang paling tersembunyi pun akan dinyatakan, kita akan melihat partisipasi kita dalam aniaya yang diderita Putra Allah. Kita akan melihat bagaimana jauh kita telah melakukan aniaya itu melalui dosa-dosa yang begitu sering kita lakukan, dan yang, sesungguhnya, merupakan semacam persetujuan yang kita berikan dan keikutsertaan kita dalam aniaya yang dilakukan para musuh yang keji terhadap-Nya. Andai, sayang sekali! kita merenungkan dalam-dalam hal ini, pastilah kita akan mengulang dengan kesungguhan yang lebih khidmad kata-kata yang begitu sering kita dapati dalam buku-buku doa, “Tuhan, lebih baiklah aku mati, daripada dengan sengaja menghina Engkau lagi dengan dosa-dosaku.”

Yesus terus berdoa bagi para musuh-Nya. Para prajurit itu akhirnya kelelahan juga dan meninggalkan-Nya seorang diri sejenak. Ia menyandarkan diri pada pilar untuk beristirahat. Suatu cahaya terang cemerlang bersinar di sekeliling-Nya. Hari di ambang fajar - hari Sengsara-Nya, hari Penebusan kita. Suatu sinar samar masuk melalui celah udara yang sempit di bilik penjara, jatuh di atas Anak Domba yang kudus dan tanpa cela, yang telah menanggungkan atas DiriNya Sendiri dosa-dosa dunia. Yesus memandangi berkas sinar matahari itu, mengangkat kedua tangan-Nya yang terbelenggu, dan, dengan cara yang sungguh menyentuh hati, mengucap syukur kepada Bapa SurgawiNya atas tibanya fajar hari itu, yang telah demikian lama dinanti-nantikan dengan penuh harap oleh para nabi, dan yang Ia Sendiri damba serta rindukan sejak saat kelahiran-Nya di dunia, dan yang tentangnya telah Ia katakan kepada para murid-Nya, “Aku harus menerima baptisan, dan betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung!” Aku berdoa bersama-Nya, tetapi aku tak dapat mengulangi perkataan dalam doa-Nya, sebab aku sepenuhnya tenggelam di dalamnya, dan begitu terharu mendengar-Nya mengucap syukur kepada BapaNya atas sengsara ngeri yang telah Ia derita bagiku, dan atas sengsara lebih besar lagi yang akan Ia derita. Aku hanya dapat mengulang dan mengulang lagi dengan setulus hati, “Tuhan, aku mohon pada-Mu, anugerahkanlah padaku sengsara ini; sengsara ini adalah ganjaranku; aku layak menerimanya sebagai ganjaran atas dosa-dosaku.” Aku dikuasai oleh perasaan kasih dan belas kasihan ketika aku melihat-Nya begitu rupa menyambut datangnya fajar pagi hari Kurban-Nya yang agung. Dan seberkas sinar itu, yang masuk menembus bilik penjara-Nya, mungkin, sungguh, dapat diperbandingkan dengan kunjungan seorang hakim yang menghendaki didamaikan dengan seorang penjahat sebelum dilaksanakannya hukuman mati yang ia jatuhkan atasnya.

Para prajurit pembantu, yang terkantuk-kantuk, terjaga sebentar, dan melihat kepada-Nya dengan terperanjat. Mereka tak mengatakan apa-apa, tetapi tampaknya mereka takjub dan takut. Tuhan Ilahi kita dikurung dalam bilik penjara ini satu jam lamanya, atau kurang lebih begitu.

Sementara Yesus berada dalam penjara bawah tanah, Yudas, yang berkeliaran naik turun lembah Hinnom bagaikan seorang gila, mengarahkan langkah menuju kediaman Kayafas, dengan tigapuluh keping perak, upah pengkhianatannya, masih tergantung di pinggang. Sekelilingnya sunyi sepi, ia berbicara kepada beberapa orang penjaga, tanpa mengungkapkan jati dirinya, dan bertanya apakah yang hendak dilakukan terhadap Orang Galilea itu. “Ia telah dijatuhi hukuman mati. Ia pasti akan segera disalibkan,” jawab mereka. Yudas berjalan mondar-mandir sembari mendengarkan dengan seksama berbagai percakapan orang mengenai Yesus. Sebagian berbicara tentang tindak kekejian yang dilakukan terhadap-Nya, sebagian lain berbicara tentang kesabaran-Nya yang mengagumkan, sementara yang lain berbicara mengenai pengadilan serius yang akan dilangsungkan esok hari di hadapan sidang agung. Sementara sang pengkhianat mendengarkan dengan cermat segala pendapat berbeda yang mereka sampaikan, fajar mulai tiba. Para anggota pengadilan mulai bersiap. Yudas menyelinap di balik bangunan agar tak terlihat. Seperti Kain, ia berusaha menyembunyikan diri dari hadapan manusia; keputusasaan mulai menguasai segenap jiwanya. Tempat di mana ia bersembunyi adalah tempat di mana para pekerja sepanjang malam mempersiapkan kayu salib bagi Tuhan kita. Segala sesuatu telah siap, dan para pekerja tidur di sampingnya. Yudas diliputi perasaan ngeri melihatnya, ia bergidik dan melarikan diri ketika melihat alat kematian keji yang demi sejumlah uang, ia telah menyerahkan Tuhan-nya dan Guru-nya. Ia berlari ke sana kemari dalam penyesalan yang dalam, dan akhirnya menyembunyikan diri di sebuah gua terdekat, di mana ia memutuskan untuk menunggu pengadilan yang akan dilangsungkan pagi itu.

sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus          previous  Halaman Sebelumnya     Halaman Selanjutnya  next      up  Halaman Utama