Konsili Vatikan
oleh: P. William P. Saunders *
Saya sering mendengar orang berbicara mengenai Vatikan II atau Konsili Vatikan Kedua. Mohon penjelasan apa itu konsili dan apa tujuannya.
~ seorang pembaca di Great Falls
Sejak Gereja Katolik didirikan oleh Yesus Kristus, duapuluh satu konsili ekumenis telah diadakan, yang pertama adalah Konsili Nicea I (325) dan yang terakhir adalah Konsili Vatikan II (1962-1965). Kata “ekumenis” yang artinya “universal” dipergunakan untuk menunjukkan beraneka-ragamnya utusan dari seluruh penjuru dunia yang ikut ambil bagian dalam konsili-konsili ini, dengan demikian membedakannya dari konsili-konsili lokal atau pertemuan-pertemuan khusus yang diadakan oleh Bapa Suci. Teristimewa, konsili-konsili ini merupakan pertemuan khidmad Dewan Para Uskup, yang anggotanya adalah para uskup Gereja berdasarkan tahbisan sakramental dan persekutuan hierarkis dengan Paus, penerus St Petrus, yang adalah kepala dewan dan yang satu-satunya menjalankan kuasa penuh, tertinggi dan universal atas Gereja semesta. Dewan Para Uskup yang bergabung bersama dalam suatu konsili ekumenis menggambarkan keanekaragaman dan sifat universal Umat Allah, yang terhimpun sebagai satu kawanan di bawah kepemimpinan Paus.
“Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja” dari Konsili Vatikan II menyinggung masalah konsili ekumenis dengan mengulang ajaran tradisional: hanya Paus, sebagai penerus St Petrus, yang memiliki hak khusus untuk memanggil suatu konsili ekumenis. Tidak pernah ada konsili ekumenis yang tidak disahkan atau sekurang-kurangnya diterima oleh pengganti Petrus. Di samping itu, Paus berwenang mengepalai sendiri konsili-konsili ini atau lewat orang lain, memindahkan, menunda atau mengakhirinya, dan mengesahkan keputusan-keputusannya (bdk Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, no 22 dan Kitab Hukum Kanonik, no 337-338).
Konsili-konsili ini dipanggil guna mengatasi krisis yang dihadapi Gereja. Terkadang, krisis menyangkut serangan terhadap suatu ajaran iman tertentu. Sebagai contoh, Konsili Nicea (325) harus menghadapi bidaah Arianisme yang menyangkal keallahan Yesus Kristus. Sebagai reaksi, konsili mengutuk Arianisme dan menghasilkan Kredo Nicea yang memaklumkan bahwa Yesus Kristus adalah sehakikat dengan Bapa, dengan kodrat ilahi yang sama dengan Bapa.
Suatu contoh lain yang menonjol adalah Konsili Trente (1545-1563) yang harus menghadapi gerakan Protestan, yang tidak hanya menantang kebenaran-kebenaran iman, melainkan juga mengoyak serta memecah belah kesatuan Gereja. Pada waktu itu, konsili dengan jelas mendefinisikan serta memaklumkan keyakinan-keyakinan Gereja Katolik dan mengutuk keyakinan-keyakinan yang salah tersebut. Perlu dicamkan bahwa Konsili Trente tidak mengajukan ajaran-ajaran baru Gereja, melainkan konsili menyajikan secara lebih mendalam apa yang senantiasa dipegang teguh oleh Gereja Katolik sebagai yang benar menurut wahyu ilahi dan apa yang telah Tuhan Yesus percayakan kepada Gereja. Pengajaran-pengajaran tersebut membahas Kitab Suci dan Tradisi Suci sebagai warisan wahyu ilahi, doktrin Misa Kudus, sakramen-sakramen, dasar-dasar kebenaran, api penyucian, indulgensi, penghormatan terhadap gambar-gambar kudus dan penghormatan kepada para kudus dan Bunda Maria. Konsili Trente juga mengeluarkan pembaharuan-pembaharuan mengenai hidup perkawinan dan kehidupan para klerus.
Di lain pihak, krisis dapat pula tidak terlalu menyangkut masalah ajaran iman, melainkan lebih pada situasi aktual yang dihadapi Gereja. Sebagai contoh, Konsili Vatikan Kedua (1962-1965) tidak harus menghadapi suatu ajaran sesat tertentu, melainkan konsili perlu merefleksikan kembali posisi Gereja dalam dunia modern dan dengan kesegaran baru menghadirkan kembali keindahan Gereja Katolik. Bapa Suci Yohanes Paulus II, yang ikut ambil bagian dalam Konsili Vatikan II, mengatakan, “Para Bapa Konsili dihadapkan pada tantangan nyata. Tantangan tersebut menyangkut usaha untuk memahami secara lebih mendalam, pada masa perubahan yang demikian cepat ini, hakikat Gereja dan hubungannya dengan dunia, guna mengadakan aggiornamento (= pembaharuan) yang selaras. Kami menerima tantangan ini - saya juga adalah seorang Bapa Konsili - dan menanggapi tantangan ini dengan mencari pemahaman iman yang lebih mendalam. Apa yang berusaha kita capai dalam konsili adalah menunjukkan bahwa jika manusia masa kini rindu memahami dirinya sendiri seutuhnya, maka ia juga membutuhkan Yesus Kristus dan GerejaNya, yang terus ada dalam dunia sebagai tanda persatuan dan persekutuan” (Wejangan pada Konferensi Studi Implementasi Konsili Vatikan Kedua, 27 Februari 2000).
Perlu dicatat bahwa konsili sebelumnya adalah Konsili Vatikan I (1869-1870). Sejak Konsili Vatikan I, umat manusia harus mengalami dua perang dunia di samping konflik-konflik lainnya; melihat bangkitnya Nazisme dan Komunisme; menyaksikan tumbangnya kolonialisme dan munculnya bangsa-bangsa baru; merasakan kengerian perang nuklir, pembantaian ras tertentu, euthanasia dan kekejaman serta kekejian moral lainnya; menyaksikan merosotnya nilai hidup perkawinan dan hidup berkeluarga; merasakan dampak sekularisme dan atheisme. Oleh karena itu, sembari meneguhkan iman Katolik, konsili membahas masalah-masalah genting ini, menyerukan pembaharuan-pembaharuan yang sungguh serta tulus, dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam akan perutusan Gereja - bagi lembaga Gereja sendiri maupun bagi setiap anggotanya yang dipanggil pada kekudusan. Dalam sidangnya, Konsili Vatikan II menerbitkan 16 dokumen, termasuk di antaranya “Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja (Lumen gentium)”, “Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium et spes)”, “Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum)” dan “Konstitusi Tentang Liturgi Kudus (Sacrosanctum Concilium)”.
Konsili ekumenis dapat pula menjalankan karisma infallibilitas atau “tidak dapat sesat”. Di bawah bimbingan Roh Kudus, konsili memiliki wewenang untuk mengajar secara tidak dapat sesat, dalam masalah-masalah iman dan susila. Infallibilitas sifatnya mutlak dan kebal salah, serta merupakan bagian dari warisan wahyu ilahi. Sebab itu, pengajaran yang tidak dapat sesat “harus diterima dengan kepatuhan iman” (Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, no 25). Sebagai contoh, Kredo Nicea merupakan pernyataan yang tidak dapat sesat dan bagian dari warisan wahyu ilahi; menyangkal baik secara keseluruhan maupun sebagian dari kredo tersebut berarti sesat. Wewenang mengajar dari konsili ekumenis tersebut bukanlah hal yang berlebih-lebihan: sebagai abdi Allah yang diserahi kepercayaan atas pemeliharaan jiwa-jiwa umat beriman, maka konsili di bawah bimbingan Roh Kudus mengemban tanggung jawab untuk melestarikan, mengajarkan serta menguraikan secara terperinci wahyu ilahi yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Sebab itu, konsili ekumenis memperlihatkan daya hidup Gereja, bahwa Tubuh Kristus yang hidup digerakkan oleh Roh Kudus. Melalui sarana konsili-konsili ini, Gereja telah meneruskan misi Tuhan kita, kendati berbagai serangan bidaah dan krisis. Walau demikian, setiap anggota umat beriman Gereja hendaknya tidak berpangku tangan dalam meneruskan misi tersebut. Uskup Agung Fulton Sheen suatu kali pernah mengatakan bahwa setiap konsili mendatangkan rahmat berlimpah, namun juga mengundang banyak kejahatan. Sebagai misal, setelah Konsili Nicea, Arianisme bangkit kembali; masalah Arianisme ini belum berhasil dituntaskan hingga Konsili Konstantinopel I (381). Begitu pula, kendati segala hal baik yang ditawarkan Konsili Vatikan II, muncul banyak kesalahan yang dilakukan atas namanya - “Vatikan II mengatakan begini atau begitu” padahal Vatikan II sama sekali tak mengatakan hal yang demikian. Dalam wejangannya pada konferensi yang diikuti oleh 200 uskup, para teolog, para sejarawan serta para katekis mengenai implementasi Vatikan II, Bapa Suci Yohanes Paulus II mengatakan, “Pekerjaan yang kalian lakukan pada hari-hari ini telah menunjukkan betapa aktual dan eketifnya ajaran konsili dalam hidup Gereja. Tentu saja, hal ini membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam. Namun demikian, dalam semangat ini, janganlah sampai kabur tujuan otentik dari para Bapa Konsili: sungguh, hal ini harus ditemukan kembali dengan mengatasi segala prasangka dan penafsiran sepotong-sepotong, yang menghalangi dinyatakannya kesegaran Magisterium konsili sebaik mungkin” (Wejangan pada Konferensi Studi Implementasi Konsili Vatikan Kedua, 27 Februari 2000). Marilah kita berpaling pada kepemimpinan Bapa Suci kita yang, sebagai penerus St Petrus, telah berdaya upaya untuk menerapkan sepenuhnya ajaran-ajaran Konsili Vatikan II dengan segala kesegaran dan daya hidup dari keindahan warisan iman Gereja Katolik kita.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Vatican Councils” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2000 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|