Dosa Habitual
oleh: P. William P. Saunders *
Baru-baru ini dalam sebuah artikel di The Washington Post dilaporkan, “Paus Yohanes Paulus II menekankan pentingnya umat Katolik Roma mengakukan dosa-dosa mereka, tetapi beliau juga mengatakan bahwa sebagian `pendosa tetap' tidak pernah dapat diampuni.” Artikel ini mengisyaratkan bahwa yang termasuk “pendosa tetap” adalah para gay, lesbian dan orang-orang Katolik yang bercerai lalu menikah lagi. Saya selalu beranggapan bahwa semua dosa dapat diampuni. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di Sterling
Artikel di atas mengacu pada surat apostolik Paus Yohanes Paulus II berjudul Misericordia Dei yang diterbitkan pada tanggal 2 Mei 2002. Paus menyatakan secara cukup ringkas, “Sudah jelas bahwa peniten yang hidup dalam keadaan tetap dosa berat dan yang tidak berniat untuk mengubah keadaan mereka itu tidak dapat secara sah menerima absolusi” (#7(c)). Namun demikian, Bapa Suci tidak menyebutkan secara khusus dosa-dosa mana yang termasuk dalam kategori ini.
Sesungguhnya, Bapa Suci tidak menyatakan sesuatu yang baru. Katekese dasar dari Sakramen Tobat mengenai “Bagaimana mengaku dosa dengan baik” meliputi lima langkah berikut: Pertama, peniten mengadakan pemeriksaan batin secara jujur dan seksama. Kedua, peniten menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan. Ketiga, peniten berketetapan teguh untuk tidak berdosa lagi. Keempat, peniten mengakukan dosa-dosanya kepada imam. Kelima, peniten menerima absolusi sakramental dan kemudian melaksanakan penitensi yang diberikan kepadanya.
Yang secara khusus berhubungan dengan pertanyaan di atas adalah langkah kedua dan ketiga. Dengan mengutip Dekrit mengenai Sakramen Tobat dari Konsili Trente, Katekismus Gereja Katolik menjabarkan tobat atau penyesalan sebagai “kesedihan jiwa dan kejijikan terhadap dosa yang telah dilakukan, dihubungkan dengan niat, mulai sekarang tidak berdosa lagi” (#1451). Penyesalan dapat dianggap sempurna (atau disebut “contritio”) apabila digerakkan oleh kasih yang tulus kepada Tuhan; sebaliknya, penyesalan dianggap tidak sempurna (atau disebut “attritio”) apabila digerakkan oleh kejijikan dosa atau oleh rasa takut akan hukuman abadi atau siksa-siksa lain, yang mengancam pendosa. Gagasan ini diungkapkan dalam Doa Tobat, yang pertama attritio dan berikutnya contritio: “Ya Tuhan-ku, aku sungguh menyesal telah menghina Engkau, dan aku jijik akan segala dosaku sebab penghukuman-penghukuman-Mu yang adil, tetapi terutama sebab dosa-dosaku telah menghina Engkau, Tuhan-Ku, yang mahabaik dan selayaknya mendapatkan segala kasihku.”
Jika seorang menyadari kedosaan dari suatu perbuatan, dan sungguh menyesal atas dosanya, maka ia wajib berketetapan untuk tidak melakukan dosa itu lagi. Tentu saja, seorang dapat “terpeleset” dan melakukan dosa lagi, namun demikian ia tidak bermaksud untuk melakukannya pada saat ia mengakukan dosanya itu. Sebagai misal, banyak orang mengakukan dosa ketidaksabaran atau mengucapkan kata-kata yang tidak pantas; tak diragukan, mereka sungguh menyesal atas dosa-dosa mereka itu dan tak hendak melakukannya lagi. Tetapi, sementara sedang mengendarai kendaraannya di sekitar wilayah Washington - tempat paling rawan kesempatan dosa bagi kita semua - mereka dapat terpeleset di mana dosa ketidaksabaran atau kata-kata yang tidak pantas muncul kembali.
Skenario ini berbeda dari pendosa tetap yang dimaksudkan Bapa Suci. Jika seorang hidup dalam suatu dosa tertentu dan ketika memasuki kamar pengakuan tahu bahwa ia sungguh akan kembali hidup dalam dosa yang sama, ia tidak sungguh menyesal. Dalam kasus yang demikian tak ada penyesalan dan pertobatan yang sungguh. Sebagai contoh, jika seorang mengakukan dosa perzinahan, tetapi bermaksud segera sesudah ia meninggalkan kamar pengakuan kembali kepada hubungan perzinahan itu, ia tidak sungguh menyesal atas dosanya dan tidak memiliki ketetapan hati untuk mengubah cara hidupnya. Maka, imam tidak mempunyai pilihan selain dari menangguhkan pemberian absolusi dan mendorong orang tersebut untuk meninggalkan dosanya. Hal yang sama berlaku juga bagi seorang yang bercerai dan kemudian menikah lagi di luar Gereja tanpa disertai pernyataan pembatalan perkawinan atas perkawinan sebelumnya, atau orang yang bersikukuh tetap tinggal dalam cara hidup homoseksual. Patut dicamkan bahwa Tuhan dalam belas kasihan-Nya yang tak terhingga rindu untuk mengampuni dosa dan memperdamaikan pendosa dengan DiriNya Sendiri, namun demikian, si pendosa sendiri haruslah memiliki niat seteguh mungkin untuk meninggalkan dosanya dan kembali kepada Tuhan.
Dalam Surat Hari Kamis Putih kepada Para Imam tahun 2002, Paus Yohanes Paulus II menyatakan, “Terkecuali tampak sebaliknya, imam sepatutnya beranggapan bahwa dalam mengakukan dosa-dosanya peniten sungguh menyesal dan berketetapan hati untuk mengubah hidupnya …. Jelas, apabila tidak ada penyesalan dan perubahan hidup, bapa pengakuan wajib menyampaikan kepada peniten bahwa peniten belum siap untuk menerima absolusi. Apabila absolusi diberikan kepada mereka yang sesungguhnya mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai niat untuk berubah, maka ritus tobat akan menjadi sekedar fiksi belaka; sungguh, pengakuan dosa akan tampak nyaris bagaikan magis, mungkin dapat menciptakan damai yang semu, tetapi jelas bukan kedamaian batin mendalam yang dijanjikan Tuhan” (#8). Sementara kita berjuang untuk bertumbuh dalam kekudusan, kiranya kata-kata Mazmur 51:19 ini senantiasa ada dalam benak kita, “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kau pandang hina, ya Allah.”
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College.
sumber : “Straight Answers: Habitual Sins” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|