Eutanasia: Kasus Terri Schiavo
oleh: P. William P. Saunders *
Terri Schindler-Schiavo
3 Desember 1963 - 31 Maret 2005
Saya berselisih pendapat dengan seorang teman mengenai Terri Schiavo mengenai apakah suplai makanan dan minuman sebaiknya dihentikan guna membiarkannya meninggal. Saya mengatakan bahwa hal itu akan sungguh merupakan suatu pembunuhan. Tetapi ia mengatakan bahwa toh akhirnya Terri Schiavo akan meninggal juga. Adakah ajaran Gereja mengenai hal ini?
~ seorang pembaca di Leesburg
Pertanyaan seputar penghentian makanan dan minuman bagi seorang yang cacat, dalam keadaan koma atau disebut status vegetatif senantiasa menjadi suatu perdebatan moral. Pertanyaan ini semakin gencar dipertanyakan dengan adanya kasus Terri Schiavo, yang ketika berusia 26 tahun, roboh (tanpa diketahui penyebabnya), kehilangan oksigen dan kemudian nyaris lumpuh sama sekali. Saat ini, ia mendapatkan nutrisi melalui slang makanan; suaminya menghendaki agar slang ini dicabut. Terjadi perdebatan dalam pengadilan antara suami dengan orang tua Terri, yang menghendaki agar pemberian makanan terus dilanjutkan. Bagaimanakah sebenarnya bimbingan moral dalam kasus ini dan kasus-kasus serupa?
Musim semi 2004, Paus Yohanes Paulus II menyapa Kongres Internasional mengenai “Penanganan Pendukung Kehidupan dan Status Vegetatif: Pendekatan Ilmiah dan Dilema Etis.” Dalam pengajarannya, Bapa Suci mempertanyakan istilah “status vegetatif”. Pada umumnya, istilah Status Vegetatif didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai: status keadaan bangun, siklus bergantian tidur / bangun, tiadanya tanda-tanda kesadaran akan diri sendiri dan akan lingkungan, tiadanya tanggapan atas rangsangan lingkungan, berlangsungnya fungsi-fungsi otonom dan otak. Masalah yang timbul dengan istilah ini adalah istilah ini cenderung merendahkan pribadi manusia ke tingkat vegetable, sayur-sayuran. Apabila orang tak lagi dianggap sebagai manusia, melainkan sebagai sayuran, maka orang itu dapat di-eutanasia, sama seperti binatang atau tanam-tanaman yang terjangkit penyakit. Hal yang sama berlaku juga apabila kita menganggap bayi yang belum dilahirkan lebih sebagai suatu “fetus” atau “hasil pembuahan” daripada sebagai seorang “bayi”; istilah yang pertama dipergunakan untuk membenarkan tindak aborsi dan menenangkan suara batin.
Bapa Suci menegaskan, “Saya merasa wajib mengukuhkan kembali dengan tegas bahwa nilai intrinsik dan martabat luhur setiap manusia tidak berubah, entah bagaimanapun keadaan hidupnya. Manusia, bahkan jika ia sakit parah atau cacat berat fungsi tubuhnya, adalah dan senantiasa tetap seorang manusia, dan ia tidak akan pernah menjadi sepotong `sayuran' atau seekor `binatang.' Bahkan saudara dan saudari kita yang berada dalam keadaan klinis `status vegetatif' tetap memiliki martabat luhur manusia mereka dalam segala kepenuhannya. Tatapan kasih Allah Bapa tetap tertuju kepada mereka, mengenali mereka sebagai putera dan puteri-Nya, teristimewa saat mereka sangat membutuhkan-Nya” (No. 3).
Sebab itu, masyarakat hendaknya tidak kehilangan pandangan akan martabat luhur manusia dari seorang individu, bahkan jika individu tersebut didiagnosa sebagai dalam keadaan “status vegetatif”. Individu yang demikian berhak mendapatkan penanganan dan perawatan sama seperti individu-individu lainnya. Paus menegaskan prinsip-prinsip berikut yang menjunjung tinggi martabat seorang yang sakit: Pertama, orang yang sakit, bahkan jika ia didiagnosa sebagai dalam keadaan status vegetatif, tetap berhak atas penanganan kesehatan dasar (nutrisi, hidrasi, kebersihan, kehangatan, dll). Kedua, ia berhak atas perawatan kesehatan guna mencegah komplikasi sehubungan dengan keadaannya yang harus terbaring di atas tempat tidur. Ketiga, ia berhak atas penanganan yang tepat demi memulihkan kesehatannya, dan dipantau tanda-tanda kesembuhannya; orang hendaknya tidak pernah putus pengharapan atas setidaknya kesembuhan sebagian (No. 4).
Point terutama adalah prinsip pertama: orang yang yang sakit berhak atas penanganan kesehatan dasar, yang meliputi nutrisi dan hidrasi. Prinsip ini telah sejak lama dipegang teguh dalam etika perawatan kesehatan Gereja Katolik, dan telah dimaklumkan dengan jelas oleh Paus Pius XII pada tahun 1957, pula oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman dalam “Declaratio de Euthanasia” pada tahun 1980. Paus Yohanes Paulus II menyatakan, “Saya ingin secara istimewa menggaris-bawahi bagaimana pemberian makanan dan minuman, bahkan jika dilakukan melalui sarana-sarana buatan, senantiasa mewakili sarana-sarana alami dalam memelihara kehidupan, jadi bukan suatu tindakan medis. Terlebih lagi, penggunaan sarana-sarana demikian, pada prinsipnya, hendaknya dipandang sebagai biasa dan proporsional, dan dengan demikian wajib secara moral, sejauh dan hingga penggunaannya dipandang telah mencapai kesudahannya yang pantas, yang dalam kasus sekarang ini meliputi penyediaan makanan dan minuman kepada pasien dan meringankan penderitaannya” (No. 4).
Menolak memberikan makanan dan minuman kepada seorang yang sakit sama dengan melaksanakan hukuman mati secara perlahan-lahan serta menyakitkan terhadapnya, yaitu melaksanakan tindak eutanasia atasnya. Ingat, definisi eutanasia adalah “tindakan atau pantang tindakan yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup secara sengaja dengan suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan pantang tindakan, misalnya membiarkan kelaparan atau kehausan. Seperti diajarkan Bapa Suci dalam “Evangelium Vitae,” “…eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (No. 65).
Sebaliknya, tindakan positif wajib dilakukan dengan menunjukkan belas kasihan. Paus mengajarkan, “Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung” (Evangelium Vitae, No. 66).
Dalam situasi semacam ini, belas kasihan bermakna ganda: Pertama, seperti dinyatakan Bapa Suci, keluarga yang memiliki anggota keluarga yang berada dalam keadaan demikian membutuhkan dukungan: bantuan merawat anggota keluarga yang sakit, bantuan keuangan, kemudahan mendapatkan fasilitas kesehatan serta program-program rehabilitasi, dan bimbingan serta nasehat rohani.
Kedua, kasih sejati menghantar orang untuk membantu anggota-anggota masyarakat yang paling lemah ini dan membela martabat mereka. Ingat, dalam Injil St Matius, Tuhan kita menggambarkan Pengadilan Terakhir (Mat 25:31-46) dan bagaimana domba-domba dipisahkan dari kambing-kambing, orang-orang benar dari orang-orang terkutuk; kepada orang-orang benar, Yesus mengatakan, “ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum.” Maka, umat Kristiani dapat menunjukkan belas kasihan sejati dengan menyuapi mereka yang cacat tangannya, menghindarkan mereka dari penggunaan sarana-sarana buatan untuk memberi makanan dan minuman. Saya teringat ketika saya di tempat tugas saya yang pertama di Gereja Santa Maria di Alexandria; setiap hari Jumat saya mempersembahkan Misa Kudus di Woodbine Nursing Home dan sesudahnya saya akan mengunjungi pasien-pasien yang tak dapat ikut ambil bagian dalam Misa. Saya selalu terkesan dengan seorang lansia (yang bukan seorang Katolik) yang selalu ada di sana setiap hari Jumat, duduk di samping isterinya yang menderita penyakit Alzheimer. Ia menyuapi isterinya bagaikan menyuapi seorang kanak-kanak. Tentu saja, tugas ini sulit, membutuhkan banyak waktu dan terlebih lagi membutuhkan banyak kesabaran. Meski begitu, tugas ini baginya merupakan suatu tindakan kasih.
Bagi pasien-pasien seperti Terri Schiavo yang mendapatkan makanan dan minuman lewat sarana-sarana buatan, seperti slang makanan, kita pun dapat menunjukkan belas kasihan kepada mereka dan keluarga-keluarga mereka melalui doa, dukungan, kehadiran dan berbagai macam bentuk perhatian lainnya. Kasih sejati berarti memberikan perhatian, bukan membunuh. Bapa Suci Yohanes Paulus II mengatakan, “… saya mendesak kalian, sebagai laki-laki dan perempuan dari kalangan ilmu pengetahuan, untuk bertanggung jawab atas martabat profesi medis, menjaga dengan cermat prinsip sesuai dengan kewajiban sejati pengobatan yaitu `menyembuhkan jika mungkin, dan senantiasa merawat'” (No. 7).
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Case of Terri Schiavo” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
foto : Catholic Tradition; www.catholictradition.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|