Jalan Menuju Neraka
Pada tahun 1868 Santo Yohanes Bosco dianugerahi suatu Penglihatan Nubuat mengenai Neraka, (* yang secara keseluruhan dikisahkan di bawah ini.)
Banyak mimpi St Yohanes Bosco yang dapat lebih tepat disebut penglihatan, sebab Allah menggunakan sarana ini guna menyingkapkan kehendak-Nya bagi sang santo dan bagi anak laki-laki Oratorio, pula masa depan Kongregasi Salesian. Mimpi-mimpinya ini tak hanya membimbing dan mengarahkan sang santo, melainkan juga memberinya kebijaksanaan dan bimbingan yang membuatnya dapat membantu dan membimbing yang lain di jalan mereka. Usianya baru sembilan tahun ketika ia mendapatkan mimpi pertama yang menyingkapkan misi hidupnya. Mimpi inilah mimpi yang begitu mengesankan Paus Pius IX sehingga ia memerintahkan St Yohanes Bosco untuk menuliskan mimpi-mimpinya demi menyemangati Kongregasinya dan kita semua. Melalui mimpi, Allah mengijinkannya mengetahui masa depan masing-masing anak laki-laki di Oratorio. Melalui mimpi Allah membuatnya mengenal keadaan jiwa anak-anak itu. Pada tanggal 1 Februari 1865 St Yesus Bosco memaklumkan bahwa bahwa salah seorang anak akan segera meninggal. Ia tahu mengenai anak itu melalui mimpi malam sebelumnya. Pada tanggal 16 Maret 1865, Anthony Ferrari meninggal dunia setelah menyambut Sakramen Terakhir. Yohanes Bisio, yang menyertai Anthony dan ibunya sepanjang saat sakrat maut Anthony, meneguhkan kisah perannya dalam peristiwa ini dengan sumpah resmi, di antaranya sebagai berikut: "Don Bosco memberitahukan kepada kami banyak mimpi lain sehubungan dengan kematian anak-anak Oratorio. Kami mempercayainya sebagai nubuat yang benar. Dan kami terus mempercayainya, sebab mimpi-mimpi itu tidak pernah tidak menjadi kenyataan. Selama tujuh tahun aku tinggal di Oratorio, tak seorang anak laki-laki pun meninggal tanpa Don Bosco menubuatkan kematiannya. Kami juga yakin bahwa siapa pun yang meninggal di sana di bawah pemeliharaan dan pertolongannya pasti masuk surga."
Don Bosco menceritakan kisah mimpinya pada hari Minggu malam, 3 Mei [1868], Pesta Santo Yosef Pelindung:
Ada suatu mimpi lain yang hendak kuceritakan kepadamu, semacam konsekwensi dari mimpi-mimpi yang aku ceritakan kepadamu hari Kamis dan Jumat yang benar-benar meletihkanku. Sebut saja mimpi atau apalah yang kau suka. Selalu, seperti kau tahu, pada malam 17 April seekor kodok mengerikan tampak hendak melahapku. Ketika akhirnya ia lenyap, suatu suara berkata kepadaku: "Mengapa tidak kau beritahukan kepada mereka?" Aku menoleh ke arah itu dan melihat seorang terhormat berdiri di samping tempat tidurku. Merasa bersalah karena diam saja, aku bertanya: "Apa yang harus aku katakan kepada anak-anak?"
"Apa yang kau lihat dan dengar dalam mimpi-mimpi terakhirmu dan apa yang ingin kau ketahui dan yang akan disingkapkan kepadamu besok malam!" Ia pun lalu lenyap.
Aku melewatkan keesokan harinya dengan rasa khawatir akan malam mengerikan yang ada di hadapan mata. Ketika malam pun akhirnya tiba, enggan pergi tidur, aku duduk di meja membaca buku-buku hingga tengah malam. Sekedar pikiran akan mengalami mimpi-mimpi buruk lagi sungguh menakutkanku. Meski demikian, dengan susah payah, akhirnya aku pergi tidur juga.
"Bangunlah dan ikuti aku!" katanya.
"Demi Tuhan," aku memprotes, "biarkan aku sendiri. Aku lelah! Sudah beberapa hari aku tersiksa oleh sakit gigi dan perlu istirahat. Selain itu, mimpi-mimpi buruk benar-benar menguras tenagaku." Aku mengatakan ini sebab penampakan orang ini selalu berarti masalah, lelah, dan teror bagiku.
"Bangunlah," ulangnya. "Jangan buang-buang waktu."
Aku menurut dan mengikutinya. "Ke mana kau hendak membawaku?" tanyaku.
"Sudahlah. Kau akan melihatnya." Ia membawaku ke sebuah dataran luas tak terbatas, sebuah gurun yang sama sekali tanpa kehidupan, tanpa satu jiwa atau pohon atau sungai pun yang terlihat. Tumbuh-tumbuhan kering menguning menambah kegersangan; aku tidak tahu di mana aku berada atau apa yang harus aku lakukan. Untuk beberapa saat aku bahkan tak melihat pemanduku dan takut kalau-kalau aku tersesat, sama sekali sendirian. Pater Rua, Pater Francesia sama sekali tak terlihat. Ketika akhirnya aku melihat temanku mendatangiku, aku menghela napas lega.
"Di manakah aku?" tanyaku.
"Ikutlah aku dan engkau akan tahu!"
"Baiklah. Aku pergi bersamamu."
Dia memimpin jalan dan aku mengikuti dengan diam, tapi setelah suatu perjalan sulit yang panjang dan suram, aku mulai khawatir apakah aku akan mampu melintasi dataran luas itu, dengan gigi sakit dan kaki bengkak. Tiba-tiba aku melihat sebuah jalan di depan.
"Sekarang ke mana?" aku bertanya pada pemanduanku.
"Lewat sini," jawabnya.
Kami menempuh jalan itu. Sebuah jalan yang indah, lebar, dan diaspal rapi. "Jalan orang berdosa licin tanpa batu, tetapi di ujungnya terletak tubir dunia orang mati." (Sirakh 21:10, tanpa batu: lebar dan mudah dilalui.) Kedua sisinya dipinggiri dengan pagar tanam-tanaman yang asri berhias bebungaan nan indah. Mawar, khususnya, tersembul di mana-mana di antara dedaunan. Pada pandangan pertama, jalannya rata dan nyaman, jadi aku melintasinya tanpa curiga sedikit pun, tetapi segera aku melihat bahwa jalanan tanpa terasa melandai ke bawah. Meski tak terlihat curam sama sekali, aku mendapati diriku bergerak begitu cepat hingga aku merasa tanpa daya meluncur menembus udara. Sungguh, aku terbang dan nyaris tak menggunakan kakiku. Kemudian terlintas dalam pikiran bahwa perjalanan pulang akan sangat panjang dan sulit.
"Bagaimana kita dapat kembali ke Oratorio?" tanyaku cemas.
"Jangan khawatir," jawabnya. "Yang Mahakuasa menghendakimu pergi. Ia yang menghantarmu pergi juga akan tahu bagaimana menghantarmu pulang."
Jalanan melandai turun. Sementara kami melanjutkan perjalanan kami, dengan diapit oleh lautan mawar dan bebungaan lain, aku menjadi sadar bahwa anak-anak Oratorio dan sangat banyak yang lain yang tidak aku kenal mengikutiku. Entah bagaimana aku mendapati diriku berada di tengah mereka. Sementara aku melihat mereka, aku perhatikan sekarang satu, sekarang yang lain jatuh ke tanah dan langsung diseret oleh suatu kekuatan yang tak nampak menuju suatu tempat pembuangan yang mengerikan, yang kelihatan dari jauh, yang meluncur turun ke dalam suatu perapian. "Apa yang membuat anak-anak ini jatuh?" aku bertanya pada temanku. "Orang congkak dengan sembunyi memasang jerat terhadap aku, dan mereka membentangkan tali-tali sebagai jaring, di sepanjang jalan mereka menaruh perangkap terhadap aku" (Mazmur 140: 6).
"Lihatlah dengan lebih seksama," jawabnya.
Aku melakukannya. Perangkap di mana-mana, beberapa dekat tanah, yang lain setara pada pandangan mata, tapi semuanya tersembunyi dengan baik. Tak sadar akan bahaya, banyak anak laki-laki terperangkap, dan mereka jatuh, dan mereka akan terjengkang di tanah dengan kaki di udara. Kemudian, ketika mereka berhasil berdiri kembali, mereka akan berlari tanpa kendali di jalan menuju jurang. Sebagian terperangkap kepalanya, yang lain lehernya, tangan, lengan, kaki, atau sisinya, dan serta-merta ditarik ke bawah. Perangkap tanah, yang halus bagai jaring laba-laba dan nyaris tak terlihat, kelihatan sangat rapuh dan tak berbahaya; meski begitu, aku terkejut, setiap anak laki-laki yang dijeratnya dibuat jatuh ke tanah.
Melihat keherananku, pemanduku bertanya, "Tahukah kau apa itu?"
"Hanya jaring yang tipis," jawabku.
"Tak berarti apa-apa," katanya, "dalam pandangan manusia sekedar hanya."
Melihat banyak anak laki-laki terperangkap dalam perangkap-perangkap itu, aku bertanya, "Mengapa begitu banyak yang terperangkap? Siapakah yang menyeret mereka turun?"
"Mendekatlah dan kau akan melihat!" katanya kepadaku.
Aku mengikuti nasehatnya tapi tak melihat suatu yang aneh.
"Lihat lebih dekat," desaknya.
Aku memungut satu dari perangkap-perangkap itu dan menariknya. Segera aku merasakan tolakan. Aku menarik lebih keras, dan merasakan bahwa, alih-alih menarik benang, malahan aku sendiri yang ditarik. Aku tidak melawan dan segera mendapati diriku di mulut sebuah gua yang mengerikan. Aku berhenti, tak hendak masuk ke dalam gua yang dalam itu, dan aku mulai menarik lagi benang ke arahku. Benang bergerak sedikit, tapi hanya melalui suatu upaya besar dari pihakku. Aku terus menarik, dan sesudah agak lama, suatu monster yang sangat besar dan mengerikan muncul; ia memegang seutas tali ke mana semua perangkap itu diikat menjadi satu. Dialah yang serta-merta menyeret siapa saja yang terperangkap. Kekuatanku tak sebanding dengan kekuatannya, kataku pada diriku sendiri. Aku pasti akan kalah. Sebaiknya aku melawannya dengan Tanda Salib dan dengan doa-doa singkat.
Lalu aku kembali ke pemanduku. "Sekarang kau tahu siapa dia," katanya kepadaku.
"Pasti aku tahu! Itu adalah setan sendiri!"
Dengan seksama aku mengamati banyak perangkap; aku melihat bahwa pada masing-masing perangkap terdapat catatan: Kesombongan, Ketidaktaatan, Iri, Perintah Keenam, Mencuri, Kerakusan, Kelambanan, Marah dan sebagainya. Aku melangkah mundur sedikit untuk melihat perangkap mana yang menjebak lebih banyak anak dan aku dapati bahwa yang paling berbahaya adalah ketidakmurnian, ketidaktaatan, dan kesombongan. Sesungguhnya, ketiganya ini berkaitan. Banyak perangkap lain juga mendatangkan celaka besar, tetapi tidak sebanyak dua yang pertama. Aku masih melihat; aku perhatikan banyak anak berlari lebih kencang dari yang lain. "Kenapa terburu-buru seperti itu?" tanyaku.
"Sebab mereka diseret oleh jerat hormat manusia."
Melihat terlebih dekat lagi, aku melihat pisau-pisau di antara perangkap-perangkap itu. Sebuah tangan ilahi menempatkan pisau-pisau itu di sana agar orang dapat membebaskan diri secara cuma-cuma. Pisau-pisau yang lebih besar, simbol meditasi, untuk digunakan melawan perangkap kesombongan; pisau-pisau yang lain, tak terlalu besar, simbol bacaan rohani yang dipraktekkan dengan saleh. Ada juga dua pedang mewakili devosi kepada Sakramen Mahakudus, teristimewa melalui Komuni Kudus sesering mungkin, dan devosi kepada Santa Perawan Maria. Ada juga palu simbol pengakuan dosa, dan pisau-pisau lain simbol devosi kepada Santo Yosef, Santo Aloysius, dan orang-orang kudus lainnya. Dengan sarana ini sebagian kecil anak mampu membebaskan diri atau menghindarkan diri dari perangkap.
Sungguh aku melihat beberapa anak berjalan dengan aman melalui segala perangkap itu, entah dengan waktu yang tepat sebelum perangkap menjerat mereka atau dengan meloloskan diri jika mereka tertangkap.
Ketika pemanduku puas bahwa aku telah mengamati semuanya, ia mengajakku meneruskan perjalanan sepanjang jalanan berpagar mawar; akan tetapi, semakin jauh kami melangkah, bunga-bunga mawar menjadi semakin menakutkan. Duri-duri panjang mulai bermunculan, dan segera saja tidak ada lagi bunga-bunga mawar. Pagar tanam-tanaman menjadi hangus terbakar terik matahari, tak ada lagi dedaunan, dan bertabur onak duri. Cabang-cabang yang layu gugur dari semak-belukar dan berserakan di sepanjang jalan, mengotori jalan dengan onak duri dan membuatnya tak dapat dilewati. Sekarang kami telah tiba di suatu jurang terjal yang sisi-sisi curamnya menyembunyikan apa yang ada di sana. Jalanan, masih melandai turun; menjadi semakin terlebih mengerikan, tak rata, beralur-alur, dan penuh batu-batu besar dan karang. Aku kehilangan jejak semua anak-anakku, sebagian besar dari mereka telah meninggalkan jalanan berbahaya ini ke jalanan-jalanan lainnya.
Aku terus berjalan, tetapi semakin jauh aku melangkah, jalanan yang melandai semakin sulit dan curam, sehingga aku jatuh dan terguling beberapa kali, diam tertelungkup hingga aku bisa bernapas kembali. Sesekali pemanduku menopangku atau membantuku berdiri. Di setiap langkah persendianku terasa copot, dan aku pikir tulang-tulang keringku akan rontok. Dengan terengah-engah, aku berkata kepada pemanduku, "Temanku yang baik, kakiku tak mau melangkah lagi. Aku tak sanggup pergi lebih jauh lagi." Dia tidak menjawab melainkan terus berjalan. Membangkitkan semangat dalam diriku, aku mengikutinya hingga, melihatku bermandikan keringat dan sama sekali kehabisan tenaga, dia menghantarku ke sebuah tempat lapang di sisi jalan. Aku duduk, mengambil napas dalam-dalam, dan merasa sedikit lebih baik. Dari tempat istirahatku, jalanan yang telah aku lalui tampak sangat curam, tak rata, dan bertabur bebatuan, tapi apa yang terhampar di depan mata tampak begitu parah hingga aku memejamkan mata karena ngeri.
"Marilah kita kembali," pintaku. "Jika kita pergi lebih jauh, bagaimana kita akan pernah bisa kembali ke Oratorio? Aku tidak akan pernah bisa melewati lereng ini."
"Sekarang setelah kita begitu jauh, engkau ingin aku meninggalkanmu di sini?" tanya pemanduku dengan tegas.
Mendengar ancaman ini, aku mengaduh, "Bagaimana aku bisa bertahan tanpa pertolonganmu?"
"Kalau begitu, ikuti aku."
Kami melanjutkan perjalanan kami; jalanan sekarang menjadi begitu curam mengerikan hingga nyaris mustahil untuk berdiri tegak. Dan lalu, di dasar tebing ini, di mulut sebuah lembah yang gelap, nampak samar sebuah bangunan besar, portalnya yang menjulang tinggi, terkunci rapat, menghadap ke jalan kami. Ketika akhirnya aku tiba di bawah, aku menjadi sesak napas oleh panas yang mencekik, sementara asap berminyak berwarna hijau yang diakibatkan oleh kilatan-kilatan api merah menyala membubung dari balik tembok-tembok besar yang tampak lebih tinggi dari pegunungan.
"Di mana kita? Apa ini?" aku bertanya pada pemanduku.
"Bacalah prasasti pada portal itu dan engkau akan tahu."
Aku mendongak dan membaca kata-kata berikut: "Tempat tanpa ampun." Aku sadar bahwa kami berada di gerbang-gerbang neraka. Pemandu menghantarku mengelilingi tempat mengerikan ini. Pada jarak teratur terdapat portal-portal perunggu seperti yang pertama di atas lereng-lereng yang landai; pada masing-masingnya terdapat sebuah prasasti, seperti: "Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya" (Matius 25: 41). "Setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api" (Matius 7: 19).
Aku mencoba menyalin tulisan-tulisan itu pada buku catatanku, tetapi pemanduku mencegah: "Tidak perlu. Semuanya ada dalam Kitab Suci. Bahkan sebagian tertulis dalam tiang-tiang serambimu."
Melihat itu aku ingin kembali dan pulang ke Oratorio. Sesungguhnya, aku sudah mulai berbalik, namun pemanduku mengabaikan upayaku. Sesudah berjalan susah-payah melalui sebuah jurang curam tanpa akhir, kami kembali tiba di kaki tebing yang menghadap portal pertama. Sekonyong-konyong pemandu berbalik kepadaku. Kesal dan kaget, dia memberi isyarat kepadaku untuk minggir. "Lihat!" katanya.
Aku mendongak ngeri dan melihat di suatu jarak seseorang berlari kencang di jalanan dalam kecepatan yang tak terkendali. Aku terus menatapnya, berupaya mengenalinya, dan saat ia semakin dekat, aku mengenalinya sebagai salah seorang dari anak-anakku. Rambutnya yang acak-acakan sebagian berdiri di kepalanya dan sebagian melambai ke belakang karena angin. Kedua lengannya terentang seolah ia tengah menyibak-nyibakkan air dalam upaya agar tetap terapung. Dia ingin berhenti, tetapi tidak bisa. Tersandung pada batu-batu yang menonjol, ia terus jatuh bahkan terlebih cepat. "Ayo kita tolong dia, ayo kita hentikan dia," aku berteriak, seraya mengulurkan tangan-tanganku dalam upaya sia-sia untuk menahannya.
"Biarkan dia," jawab pemanduku.
"Kenapa?"
"Tidak tahukah kau betapa dahsyat pembalasan Allah? Apakah kau pikir engkau dapat menahan dia yang melarikan diri dari murka-Nya yang adil?"
Sementara itu si pemuda mengarahkan tatapan ngerinya ke belakang dalam upaya untuk melihat apakah murka Allah masih mengejarnya. Lalu ia jatuh terjungkal ke dasar jurang dan menabrak portal perunggu seolah ia tidak bisa menemukan perlindungan yang terlebih baik dalam pelariannya.
"Mengapa ia menoleh ke belakang dengan ngeri?" tanyaku.
"Karena murka Allah akan menembusi gerbang-gerbang neraka untuk menangkap dan menyiksanya bahkan di tengah-tengah api!"
Sementara anak itu menabrak portal, portal terbuka dengan suara gemuruh, dan serta-merta seribu portal bagian dalam terbuka dengan keributan yang memekakkan telinga seolah dihantam oleh tubuh yang dihempaskan oleh suatu angin ribut yang tak kelihatan, yang paling ganas dan tak tertahankan. Sementara pintu-pintu perunggu ini - satu di belakang yang lain, meski pada jarak yang cukup jauh satu sama lain - tetap terbuka untuk sementara waktu, aku melihat di kejauhan sesuatu seperti rahang perapian yang menyemburkan bola-bola api saat si pemuda meluncur kencang ke dalamnya. Secepat terbukanya, portal-portal itu lalu berdebum tertutup kembali. Untuk ketiga kalinya aku mencoba menuliskan nama remaja malang itu, tapi lagi-lagi pemandu mencegahku. "Tunggu," perintahnya.
"Perhatikan!"
Tiga anak laki-laki lain dari Oratorio, menjerit ketakutan dan dengan tangan terentang, terguling-guling turun ke bawah satu di belakang yang lain bagai batu-batu raksasa, aku mengenali mereka sementara mereka juga menabrak portal. Dalam sekejap, portal terbuka dan begitu pula ribuan lainnya. Ketiga pemuda tersedot ke dalam koridor tak berujung di tengah gema neraka yang sayup dan panjang, dan lalu portal-portal berdebum tertutup kembali. Secara berkala, banyak pemuda lain jatuh terguling-guling sesudah mereka. Aku melihat satu anak laki-laki malang didorong menuruni lereng oleh teman yang jahat. Anak-anak lain jatuh sendirian atau bersama yang lain, bergandengan tangan atau berdampingan. Pada masing-masing tertera nama dosanya pada dahinya. Aku terus memanggil-manggil mereka sementara mereka meluncur turun, tetapi mereka tidak mendengar. Kembali portal-portal akan terbuka dengan suara memekakkan telinga dan terbanting menutup dengan gemuruh. Lalu, sunyi senyap!
"Teman-teman yang buruk, buku-buku dan kebiasaan-kebiasaan buruk," seru pemanduku, "adalah penyebab utama begitu banyak kebinasaan abadi."
Perangkap-perangkap yang aku lihat sebelumnya sungguh menyeret anak-anak pada kebinasaan. Melihat begitu banyak anak menuju neraka, aku berseru putus asa, "Jika bergitu banyak anak-anak kita berakhir seperti ini, kita bekerja sia-sia. Bagaimana kita bisa mencegah tragedi yang demikian?"
"Ini adalah keadaan mereka saat ini," pemanduku menjawab, "dan itu adalah tempat ke mana mereka akan pergi andai mereka mati sekarang."
"Kalau begitu biarkan aku menuliskan nama-nama mereka supaya aku dapat memperingatkan mereka dan menempatkan mereka kembali di jalan ke surga."
"Apakah engkau sungguh yakin bahwa sebagian dari mereka akan berubah jika engkau memperingatkan mereka? Pada saat itu peringatanmu mungkin mengesankan mereka, tapi segera mereka akan melupakannya, mengatakan, 'Itu hanyalah mimpi,' dan mereka akan berlaku lebih buruk dari sebelumnya. Sebagian lain, menyadari bahwa kedok mereka telah terbongkar, menyambut sakramen, tetapi ini bukanlah tindakan spontan pun mendatangkan ganjaran; yang lainnya akan pergi mengakukan dosa karena rasa takut sesaat akan neraka tetapi masih akan lekat pada dosa."
"Jadi apakah tidak ada cara untuk menyelamatkan remaja-remaja malang ini? Tolong katakan padaku apa yang dapat aku lakukan untuk mereka?"
"Ada superior-superior; biarkan anak-anak itu taat kepada mereka. Ada peraturan-peraturan; biarkan mereka melaksanakannya. Ada sakramen-sakramen, biarkan mereka menyambutnya."
Saat itu sekelompok baru anak laki-laki datang meluncur turun dan portal-portal terbuka sesaat. "Ayo kita masuk," kata pemandu kepada aku.
Aku mundur ngeri. Aku tak sabar untuk segera kembali ke Oratorio guna memperingatkan anak-anak yang lain agar jangan binasa pula.
"Ayo," desak pemanduku. "Engkau akan belajar banyak. Tetapi pertama-tama katakan kepadaku: Apakah kau ingin pergi sendirian atau bersamaku?" Dia menanyakan ini demi menyadarkanku bahwa aku tidak cukup berani dan karena itu membutuhkan bantuannya yang bersahabat.
"Sendirian dalam tempat mengerikan itu?" jawabku. "Bagaimana aku dapat pernah menemukan jalan keluar tanpa pertolonganmu?" Kemudian suatu pemikiran terlintas di benakku dan membangkitkan keberanianku. Sebelum seseorang dihukum ke neraka, kataku pada diriku sendiri, ia harus diadili. Dan aku belum diadili!
"Ayo kita pergi," seruku tegas. Kami memasuki koridor yang sempit dan mengerikan itu, dan meluncur melaluinya dengan kecepatan kilat. Prasasti-prasasti yang mengancam berkilau mengerikan di atas semua pintu gerbang dalam. Pintu gerbang terakhir terbuka ke sebuah halaman yang luas dan suram dengan pintu masuk luar biasa mengerikan di ujungnya. Di atasnya berdiri prasasti ini:
"Mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal" (Matius 25: 46). Tembok-tembok semuanya bertuliskan serupa. Aku bertanya pada pemanduku apakah aku boleh membacanya, dan dia setuju. Inilah prasasti-prasasti itu:
"Didatangkan-Nya api dan ulat ke dalam daging mereka dan selama-lamanya mereka menangis kesakitan" (Yudit 16:17).
"Lautan api dan belerang, yaitu tempat binatang dan nabi palsu itu, dan mereka disiksa siang malam sampai selama-lamanya " (Wahyu 20: 10)
"Maka asap api yang menyiksa mereka itu naik ke atas sampai selama-lamanya" (Wahyu 14:11).
"Tempat yang kelam pekat dan kacau balau, di mana cahaya terang serupa dengan kegelapan" (Ayub 10:22).
"Tidak ada damai sejahtera bagi orang-orang fasik" (Yesaya 48:22).
"Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi" (Matius 8:12).
Sementara aku beralih dari satu prasasti ke prasasti lain, pemanduku, yang telah berdiri di tengah-tengah halaman, mendatangiku.
"Mulai dari sini," katanya, "tak seorang pun boleh memiliki pendamping yang membantu, seorang teman yang menenangkan, sebentuk hati yang mengasihi, suatu tatapan kasih, atau sepatah kata peduli. Semua ini telah lenyap untuk selamanya. Apakah engkau hanya ingin melihat atau engkau lebih suka mengalami sendiri hal-hal ini? "
"Aku hanya ingin melihat!" jawabku.
"Kalau begitu, ikutlah denganku," tambah temanku, dan, dengan membimbingku, ia melangkah melewati gerbang itu masuk ke dalam sebuah koridor yang di ujungnya berdiri sebuah podium observasi, yang ditutup oleh sebuah panel kristal yang sangat besar dari lantai hingga ke langit-langit . Begitu aku melewati ambangnya, aku merasakan suatu teror yang tak terlukiskan dan tidak berani melanjutkan langkah. Di depanku aku dapat melihat sesuatu seperti sebuah gua raksasa yang secara perlahan-lahan lenyap ke dalam relung-relung tenggelam jauh ke dalam perut-perut gunung. Semuanya terbakar, namun apinya bukanlah api duniawi dengan lidah-lidah api yang berkobar. Keseluruhan gua - tembok-tembok, langit-langit, lantai, besi, bebatuan, kayu, dan bara - semuanya bercahaya putih pada suhu ribuan derajat. Meski demikian api tidak membakar, tidak melahap habis. Aku tak dapat menemukan kata-kata untuk menggambarkan kengerian gua. "Pancakanya penuh api dan kayu; nafas TUHAN menghanguskannya seperti sungai belerang" (Yesaya 30: 33).
Aku menatap heran akan sekelilingku ketika seorang remaja berlari keluar dari sebuah gerbang. Tampak tak peduli akan yang lain, ia meneriakkan jeritan yang paling melengking, seperti seorang yang akan jatuh ke dalam sebuah ketel besar panas berisi perunggu cair, dan jatuh ke tengah gua. Seketika itu juga ia menjadi berpijar dan sama sekali tak bergerak, sementara gema ratapan sakrat mautnya masih terngiang.
Sangat ketakutan, aku menatap sekilas kepadanya untuk beberapa saat. Tampaknya ia adalah salah satu dari anak-anak Oratorio. "Bukankah dia begini dan begini?" aku bertanya kepada pemanduku.
"Ya," adalah jawabannya.
"Mengapa dia begitu tak bergerak, begitu berpijar?"
"Engkau memilih untuk melihat," jawabnya. "Jadi, berpuaslah dengan itu. Teruslah melihat. Selain itu, "Setiap orang akan digarami dengan api" (Markus 9: 49).
Sementara aku melihat lagi, seorang anak laki-laki lain datang meluncur turun ke dalam gua dengan kecepatan sangat tinggi. Dia juga dari Oratorio. Begitu jatuh, dia diam tak bergerak. Dia pun meneriakkan suatu jeritan yang menyayat hati yang berbaur dengan gema terakhir dari jeritan yang berasal dari remaja yang mendahuluinya. Anak-anak lainnya terus berluncuran dengan cara yang sama dalam jumlah yang semakin banyak, semua berteriak dengan cara yang sama dan lalu semuanya menjadi diam tak bergerak dan berpijar. Aku melihat bahwa anak pertama tampak beku di tempat, satu tangan dan satu kaki terangkat ke udara; anak kedua tampak meringkuk di lantai. Yang lain berdiri atau tergantung dalam berbagai posisi lain, menyeimbangkan diri dengan satu kaki atau tangan, duduk atau terbaring pada punggung atau pada sisi mereka, berdiri atau berlutut, tangan mencengkeram rambut. Singkat kata, pemandangan menyerupai suatu himpunan besar patung anak-anak muda yang dilemparkan dengan postur yang terlebih menyakitkan. Remaja-remaja lain meluncur ke dalam tungku yang sama. Sebagian aku kenal, yang lainnya asing bagiku. Aku kemudian teringat akan apa yang tertulis dalam Kitab Suci yang menyatakan bahwa apabila orang jatuh ke dalam neraka, maka ia akan tinggal selamanya. ". . . di tempat pohon itu jatuh, di situ ia [= pohon itu] tinggal terletak" (Pengkhotbah 11:3)
Menjadi lebih ngeri dari sebelumnya, aku bertanya kepada pemanduku, "Ketika anak-anak ini datang meluncur ke dalam gua ini, tidakkah mereka tahu ke mana mereka pergi?"
"Mereka pasti tahu. Mereka telah diperingatkan seribu kali, tetapi mereka masih memilih untuk bergegas ke dalam api sebab mereka tidak membenci dosa dan enggan meninggalkannya. Terlebih lagi, mereka meremehkan dan menolak undangan Allah yang terus-menerus dan murah hati untuk melakukan silih. Karenanya, Keadilan Ilahi mengusik mereka, mengejar mereka, dan mendesak mereka hingga mereka tak dapat berhenti sampai mereka tiba di tempat ini. "
"Ah, betapa sengsara yang dirasakan anak-anak malang ini demi mengetahui mereka tak lagi memiliki harapan sama sekali," seruku. "Jika engkau benar-benar ingin tahu kepanikan dan amarah mereka yang terdalam, datanglah sedikit lebih dekat," kata pemanduku.
Aku maju beberapa langkah dan melihat bahwa banyak dari orang-orang celaka ini secara liar saling menyerang satu sama lain seperti anjing gila. Yang lain mencakari wajah dan tangan mereka sendiri, mencabik-cabik daging mereka sendiri dan dengan keji mencecerkannya. Pada waktu itu keseluruhan langit-langit gua menjadi transparan bagai kristal dan menyingkapkan jalan ke Surga dan sahabat-sahabatnya yang bercahaya aman untuk selama-lamanya.
Orang-orang celaka ini, murka dan tersengal-sengal menahan iri, terbakar amarah sebab mereka dulu menertawakan orang-orang benar. "Orang fasik melihatnya, lalu sakit hati, ia menggertakkan giginya, lalu hancur. . . " (Mazmur 112:10). "Mengapa tak terdengar suara?" aku bertanya pada pemanduku.
"Mendekatlah!" jawabnya.
Aku menyendengkan telingaku ke jendela Kristal; aku mendengar jeritan dan ratapan, hujatan dan kutukan terhadap para kudus. Hiruk-pikuk suara-suara dan tangisan, lengkingan dan kekacauan.
Ketika mereka ingat akan nasib bahagia teman-teman baik mereka," jawabnya, "mereka harus mengakui: 'Dia itulah yang dahulu menjadi tertawaan kita, dan buah cercaan kita ini, orang-orang yang bodoh. Hidupnya kita pandang kegilaan belaka, dan ajalnya kita anggap tak terhormat. Bagaimana gerangan ia sampai terbilang di antara anak-anak Allah, dan bagiannya terdapat di antara para kudus? Jadi kita inilah yang tersesat dari jalan kebenaran, dan cahaya kebenaran tidak menerangi kita, dan matahari pun tidak terbit bagi kita' (Kebijaksanaan 5:4-6). 'Kita telah kekenyangan dengan menempuh lorong-lorong dosa yang membawa kebinasaan, dan kita pun telah menjelajahi padang gurun yang tak terjalani, sedangkan jalan Tuhan tidak kita kenal. Apa gerangan faedahnya kecongkakan bagi kita, dan apa gerangan yang dibawa oleh kekayaan yang dibualkan? Bagaikan bayang-bayang kesemuanya itu berlalu' (Kebijaksanaan 5: 7-9).
"Di sini tidak ada lagi waktu. Di sini hanya ada keabadian."
Sementara aku melihat kondisi banyak dari anak-anakku yang dalam kengerian dahsyat, suatu pemikiran tiba-tiba terlintas dalam benak. "Bagaimana bisa anak-anak ini binasa?" tanyaku. "Semalam mereka masih hidup di Oratorio!"
"Anak-anak yang engkau lihat di sini," jawabnya, "semua mati di hadapan rahmat Allah. Andai mereka mati sekarang atau berdegil dalam kejahatan mereka, mereka akan binasa. Tetapi, kita ini membuang-buang waktu saja. Ayo kita terus."
Dia membimbingku pergi dan kami turun melalui sebuah koridor masuk ke dalam sebuah gua yang lebih rendah, yang di pintu masuknya aku membaca: "Di situ ulat-ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam" (Yesaya 66:24). "Didatangkan-Nya api dan ulat ke dalam daging mereka dan selama-lamanya mereka menangis kesakitan" (Yudit 16:17).
Di sini orang bisa melihat betapa hebat penyesalan mereka yang dulunya adalah siswa di sekolah kami. Betapa siksaan bagi mereka, mengingat setiap dosa yang tak terampuni dan hukuman yang adil, sarana yang tak terbilang, bahkan luar biasa, yang mereka miliki untuk memperbaiki jalan mereka, bertekun dalam kebajikan, dan mendapatkan firdaus, dan kurangnya tanggapan mereka atas begitu banyak karunia yang dijanjikan dan dianugerahkan oleh Perawan Maria. Betapa menyiksa memikirkan bahwa mereka bisa begitu mudah diselamatkan, namun sekarang mereka binasa tanpa dapat ditebus, mengingat betapa banyak ketetapan hati yang dibuat namun tak pernah dipenuhi. Neraka, sungguh, ditutupi dengan niat-niat baik!
Dalam gua yang lebih rendah ini kembali aku melihat anak-anak Oratorio yang telah jatuh ke dalam tungku api yang menyala-nyala. Sebagian dari mereka adalah muridku sekarang ini; yang lain adalah mantan murid atau bahkan orang-orang asing bagiku. Aku mendekati mereka dan memperhatikan bahwa sekujur tubuh mereka diselimuti oleh ulat-ulat dan serangga-serangga menjijikkan yang menggerogoti alat vital, hati, mata, tangan, kaki, dan seluruh tubuh mereka dengan begitu ganas hingga tak dapat dilukiskan. Tak berdaya dan tak bergerak, mereka menjadi sasaran dari segala jenis siksaan. Berharap dapat berbicara dengan mereka atau mendengar sesuatu dari mereka, aku menghampiri bahkan terlebih dekat namun tiada seorang pun yang berbicara atau bahkan melihatku. Aku kemudian bertanya kepada pemanduku mengapa, dan dia menjelaskan bahwa mereka yang terkutuk sama sekali jauh dari kebebasan. Masing-masing harus sepenuhnya menanggung hukuman atas dirinya, dengan sama sekali tanpa ampun. "Dan sekarang," tambahnya, "engkau juga harus masuk ke gua itu."
"Oh, tidak!" aku menyampaikan keberatan dengan ngeri. "Sebelum ke neraka, orang harus diadili. Aku belum diadili, dan jadi aku tidak akan pergi ke neraka!"
"Dengar," katanya, "mana yang lebih suka engkau lakukan: mengunjungi neraka dan menyelamatkan anak-anakmu, atau tinggal di luar dan meninggalkan mereka dalam siksaan?"
Sejenak aku terkesima tanpa kata. "Tentu saja aku mengasihi anak-anakku dan ingin menyelamatkan mereka semua," jawabku, "tapi tidak adakah jalan lain?"
"Ya, ada," lanjutnya, "asal kau melakukan segala yang dapat kau lakukan."
Aku menghela napas sedikit lebih lega dan segera berkata kepada diri sendiri, aku tidak keberatan bekerja rodi jika aku dapat menyelamatkan anak-anakku terkasih ini dari siksaan-siksaan yang demikian.
"Kalau begitu, masuklah ke dalam," lanjut temanku, "dan lihat betapa Allah kita yang baik dan Mahakuasa dengan penuh kasih menyediakan seribu satu sarana demi menghantar anak-anakmu untuk melakukan penitensi dan menyelamatkan mereka dari kematian kekal."
Dengan membimbing tanganku, dia menghantarku ke dalam gua. Begitu melangkah masuk, aku mendapati diriku sekonyong-konyong dibawa ke dalam sebuah aula yang sangat besar yang pintu-pintu kacanya yang bertirai menyembunyikan lebih banyak pintu.
Di atas salah satunya aku membaca prasasti ini: Perintah Keenam. Menunjuk ke sana, pemanduku berseru, "Pelanggaran dari perintah ini menyebabkan kebinasaan abadi banyak anak."
"Bukankah mereka pergi mengaku dosa?"
"Mereka melakukannya, tetapi entah mereka tidak menyebutkannya atau secara tidak memadai mengakukan dosa-dosa melawan keutamaan kemurnian yang indah ini, misalnya mengatakan bahwa mereka melakukan dosa yang demikian dua atau tiga kali padahal sebenarnya empat atau lima kali. Anak-anak lain mungkin terjerumus ke dalam dosa itu, tapi sekali di masa kecil mereka, dan, karena rasa malu, tidak pernah mengakukan atau mengakukannya secara tidak memadai. Yang lain tidak sungguh menyesal atau tulus dalam tekad mereka untuk menghindarinya di masa mendatang. Bahkan ada beberapa yang, daripada memeriksa batin mereka, menghabiskan waktu mencoba menemukan cara terbaik untuk mengelabui bapa pengakuan mereka. Barangsiapa berada dalam sakrat maut dengan kerangka pikiran ini memilih untuk berada di antara mereka yang terkutuk, dan demikianlah ia dikutuk sepanjang kekekalan masa. Hanya mereka yang meninggal dengan penyesalan sungguh akan selamanya bahagia. Sekarang apakah kau ingin melihat mengapa Allah kita yang Maharahim membawamu ke sini? " Dia mengangkat tirai dan aku melihat sekelompok anak-anak Oratorio - semuanya aku kenal - yang berada di sana karena dosa ini. Di antara mereka ada beberapa yang perilakunya tampak baik.
"Sekarang pastilah engkau mengijinkanku mencatat nama-nama mereka supaya aku dapat memperingatkan mereka secara pribadi," pintaku. "Jadi apa yang engkau sarankan untuk aku katakan kepada mereka?"
"Terus berkhotbah melawan ketidaksopanan. Sebuah peringatan umum akan cukup. Ingatlah bahwa bahkan jika engkau sungguh memperingatkan mereka secara pribadi, mereka akan berjanji, tetapi tidak selalu dengan tulus. Untuk suatu kebulatan hati yang teguh, orang membutuhkan kasih karunia Allah yang tak akan ditolak untuk diberikan kepada anak-anakmu jika mereka berdoa. Allah mewujudnyatakan kuasa-Nya teristimewa dengan berbelas-kasihan dan penuh pengampunan. Dari pihakmu, berdoa dan melakukan korban. Untuk anak-anak, biarkan mereka mendengarkan peringatanmu dan mengkonsultasikan batin mereka. Ini akan membuat mereka tahu apa yang harus dilakukan. "
Kami melewatkan setengah jam berikutnya mendiskusikan persyaratan sebuah pengakuan yang baik. Sesudah itu, pemanduku beberapa kali berseru dengan suara lantang, "Avertere! Avertere!"
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Mengubah hidup!"
Bingung, aku menundukkan kepalaku dan berbuat seolah hendak undur diri, tapi dia menahanku.
"Kau belum melihat semua," jelasnya.
Dia berbalik dan mengangkat sebuah tirai lain dengan prasasti ini: "Mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat " (1 Timotius 6:9) (Catatan: ingin kaya: ingin menjadi kaya, mencari kekayaan, mengarahkan hati dan cinta mereka pada kekayaan.)
"Ini tidak berlaku untuk anak-anaku!" sanggahku," karena mereka miskin seperti aku. Kami tidak kaya dan tidak ingin menjadi kaya. Kami tidak mempedulikannya. "
Akan tetapi, sementara tirai terangkat, aku melihat sekelompok anak laki-laki, semuanya aku kenal. Mereka dalam kesengsaraan, seperti mereka yang aku lihat sebelumnya. Menunjuk kepada mereka, pemanduku berkata, "Seperti yang kau lihat, prasasti itu tidak berlaku untuk anak-anakmu?"
"Tetapi bagaimana?" tanyaku.
"Yah," katanya, "sebagian anak begitu terikat pada harta milik materiil hingga kasih mereka kepada Allah dikalahkan. Demikianlah mereka berdosa terhadap amal kasih, kesalehan dan kelemah-lembutan. Bahkan sekedar keinginan akan kekayaan dapat merusak jiwa, terisimewa jika keinginan macam itu menghantar pada ketidakadilan. Anak-anakmu miskin, tapi ingat bahwa ketamakan dan kemalasan adalah penasehat yang jahat. Salah seorang dari anak-anakmu melakukan pencurian besar di kota asalnya, dan meskipun ia bisa melakukan kompensasi, dia tidak peduli. Ada anak-anak lain yang mencoba masuk ke kamar penyimpanan atau kantor prefect atau kantor bendahara; mereka yang menggeledah di lemari teman-teman mereka demi makanan, uang, atau barang, mereka yang mencuri peralatan tulis dan buku-buku. "
Setelah menyebutkan anak-anak ini dan yang lain juga, ia melanjutkan, "Sebagian berada di sini sebab telah mencuri baju, lenan, selimut, dan mantol dari lemari Oratorio untuk mereka kirim ke rumah ke keluarga mereka; yang lain karena kejahatan yang serius dan disengaja; yang lain, karena tidak mengembalikan apa yang telah mereka pinjam atau karena telah menyimpan sejumlah uang yang seharusnya mereka serahkan kepada superior. Sekarang setelah kau tahu siapa saja anak-anak ini," katanya, "nasihatilah mereka. Katakanlah kepada mereka untuk mengekang semua keinginan yang sia-sia dan membahayakan, untuk mematuhi hukum Allah dan untuk menjaga perilaku mereka dengan seksama supaya jangan ketamakan menghantar mereka pada kemerosotan yang lebih jauh dan membenamkan mereka ke dalam penderitaan, kematian dan kebinasaan. "
Aku tak dapat mengerti mengapa hukuman yang begitu mengerikan harus dijatuhkan untuk pelanggaran-pelanggaran yang menurut anak-anak sepele, tetapi pemanduku membuyarkan pemikiranku dengan mengatakan: "Ingat apa yang dikatakan kepadamu ketika kau melihat anggur-anggur yang rusak." Sembari mengatakan ini ia mengangkat tirai lain yang menyembunyikan banyak dari anak Oratorio kami, semuanya segera aku kenali. Prasasti pada tirai bertuiskan: Akar dari segala kejahatan.
"Apakah kau tahu apa itu artinya?" ia menanyaiku segera. "Dosa apakah yang dimaksud?"
"Kesombongan?"
"Bukan!"
"Meski begitu aku selalu mendengar bahwa kesombongan adalah akar dari segala kejahatan."
"Ya, secara umum, tetapi, secara khusus, tahukah kau apa yang menghantar Adam dan Hawa melakukan dosa pertama yang mengakibatkan mereka dihalau dari firdaus duniawi mereka?"
"Ketidaktaatan?"
"Tepat! Ketidaktaatan adalah akar dari segala kejahatan."
"Apa yang harus kukatakan kepada anak-anak mengenainya?"
"Dengarkan dengan seksama: anak-anak yang kau lihat di sini adalah mereka yang mempersiapkan bagi diri mereka sendiri akhir yang tragis dengan menjadi tidak taat. Ini dan ini dan itu dan itu, siapakah yang menurutmu pergi tidur, lalu meninggalkan asrama larut malam demi menjelajahi tempat bermain, dan, melanggar peraturan, mereka menyimpang ke daerah-daerah berbahaya dan bahkan ke perancah-perancah tinggi, bahkan dengan mempertaruhkan hidup mereka. Yang lain pergi ke gereja, akan tetapi, dengan mengabaikan nasehat-nasehat, mereka berperilaku buruk; bukannya berdoa, mereka malahan mengkhayal atau menyebabkan kekacauan. Ada juga mereka yang membuat diri mereka sendiri nyaman hingga tertidur pada waktu ibadat gereja berlangsung, dan mereka yang hanya berpura-pura pergi ke gereja. Celakalah mereka yang melalaikan doa! Barangsiapa tidak berdoa menjerumuskan dirinya sendiri pada kebinasaan. Sebagian ada di sini, karena, bukannya memadahkan pujian atau mendaraskan Ofisi Santa Perawan Maria, mereka malahan membaca buku-buku tak pantas atau - terlebih parah - buku-buku yang dilarang." Ia lalu melanjutkan dengan menyebutkan pelanggaran-pelanggaran disiplin yang serius lainnya.
Ketika ia selesai, aku sungguh amat tersentuh.
"Bolehkah aku mengatakan segala hal ini kepada anak-anak?" tanyaku, dengan menatap langsung pada matanya.
"Ya, kau dapat mengatakan kepada mereka apa saja yang kau ingat."
"Nasehat apakah yang harus aku sampaikan kepada mereka guna melindungi mereka dari tragedi yang demikian?"
"Terus-menerus katakan kepada mereka bahwa dengan taat kepada Allah, Gereja, orangtua dan superior mereka, bahkan dalam hal-hal kecil, mereka akan diselamatkan."
"Ada yang lain?"
"Peringatkan mereka terhadap kemalasan. Karena kemalasan Daud jatuh ke dalam dosa. Katakan kepada mereka untuk terus menyibukkan diri sepanjang waktu, sebab dengan demikian iblis tak punya kesempatan untuk mencobai mereka."
Aku menganggukkan kepala dan berjanji. Lesu sebab sedih, aku hanya dapat menggumam, "Terima kasih telah begitu baik kepadaku. Sekarang, tolong antarkan aku keluar dari sini."
"Baiklah, kalau begitu, ikut aku." Guna memberi semangat ia menggandeng tanganku dan menopangku sebab aku nyaris tak dapat berdiri di atas kedua kakiku. Meninggalkan ruang itu, sekejap mata kami telah menapaki kembali langkah-langkah kami melalui halaman dan koridor panjang yang mengerikan itu. Akan tetapi, begitu kami melewati portal perunggu terakhir, ia berpaling kepadaku dan mengatakan, "Sekarang, setelah engkau melihat apa yang diderita yang lain, kau juga harus mengalami sentuhan neraka."
"Tidak, tidak!" teriakku ngeri.
Ia mendesak, tapi aku terus menolak.
"Jangan takut," katanya kepadaku; "coba saja. Sentuh tembok ini."
Aku tak dapat menghimpun cukup keberanian dan berupaya melarikan diri, namun ia menahanku. "Cobalah," desaknya. Dengan memegang lenganku erat-erat, ia menarikku ke tembok. "Hanya satu sentuhan,"perintahnya, "supaya engkau dapat mengatakan bahwa engkau melihat dan menyentuh tembok-tembok siksa abadi dan supaya engkau dapat mengerti seperti apa tembok terakhir itu jika yang pertama saja begitu tak tertahankan. Lihat tembok ini!" Aku melihatnya dengan cermat. Tembok itu kelihatan luar biasa tebal. "Ada seribu tembok antara sini dan api neraka sesungguhnya," lanjut pemanduku. "Seribu tembok melingkupinya, masing-masing seribu ukuran tebalnya dan dengan jarak yang sama jauhnya dari tembok berikutnya. Satu ukuran adalah seribu mil. Karenanya tembok ini berjuta-juta mil dari api neraka yang sesungguhnya. Ini adalah pinggiran jauh dari neraka itu sendiri."
Ketika ia mengatakan ini, aku secara insting menarik diri, tetapi ia menangkap tanganku, membuat telapak tanganku terbuka, dan menempelkannya ke yang pertama dari seribu tembok. Sensasinya begitu luar biasa menyiksa hingga aku terloncat sambil menjerit dan mendapati diriku duduk di atas tempat tidur. Tanganku terasa tersengat dan aku terus menggosoknya guna meredakan sakit. Ketika aku bangun pagi ini aku lihat bahwa tanganku bengkak. Sebab telah menempelkan tanganku ke tembok, meski hanya dalam mimpi, aku merasa ini demikian nyata, sesudahnya kulit telapak tanganku mengelupas.
Harap dicamkan bahwa aku tidak bermaksud menakut-nakutimu begitu rupa, sehingga aku tidak menggambarkan hal-hal ini dengan segala kengeriannya sebagaimana aku melihatnya dan sebagaimana hal-hal itu membekas dalam kesanku. Kita tahu bahwa Tuhan kita selalu menggambarkan neraka dalam simbol-simbol sebab, andai Ia menggambarkannya sebagaimana adanya, kita tidak akan mengerti-Nya. Tak ada makhluk fana yang dapat memahami hal-hal ini. Tuhan mengetahuinya dan Ia menyingkapkannya kepada barangsiapa yang dikehendaki-Nya.
Sumber : “The Road to Hell” (Prophetic Dream of St. John Bosco 1868 A.D.)
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”
|