Bab 11
Ayub


Ayah Ayub, seorang pemimpin besar bangsa-bangsa, adalah saudara Peleg, putera Eber. Menjelang masanya terjadilah penyebaran manusia pada masa pembangunan Menara Babilonia. Ayub adalah yang termuda dari tigabelas putera. Mereka tinggal di sebelah utara Laut Hitam dekat suatu barisan gunung yang hangat di satu sisi, sementara sisi lainnya dingin dan berselimutkan es. Ayub adalah leluhur Abraham. Ibu Abraham adalah cicit Ayub yang menikah dan masuk ke dalam keluarga Eber. Ayub kemungkinan masih hidup pada waktu Abraham dilahirkan. Ia tinggal di tempat-tempat yang berbeda, dan kemalangan turun atasnya di tiga tempat kediaman yang berbeda. Antara malapetaka yang pertama dan kedua ada rentang waktu sembilan tahun kemakmuran; antara malapetaka yang kedua dan yang ketiga, tujuh tahun; dan sesudah yang ketiga, duabelas tahun. Penderitaan senantiasa menimpanya di tempat kediaman yang berbeda. Tetapi ia tak pernah sama sekali terpuruk hingga tak ada suatu pun yang tersisa; ia hanya menjadi lebih miskin dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Selalu ada cukup tersisa untuk membayar semua hutang-hutangnya.

Ayub tak dapat tinggal di rumah orangtuanya. Gagasan-gagasan dan kecondongan hatinya tidak selaras dengan yang lain. Ayub menyembah Allah yang Mahaesa, teristimewa dalam bintang-bintang dan dalam perubahan dari siang menjadi malam. Ia kerap berbicara mengenai karya-karya Allah yang mengagumkan, dan mempersembahkan kepada-Nya suatu penyembahan yang lebih murni dibandingkan mereka sekelilingnya. Ia bersama para pengikutnya pindah ke arah utara dari Caucasus ke suatu wilayah berpaya-paya yang sangat menyedihkan. Aku pikir sekarang wilayah itu didiami oleh suatu bagnsa yang penduduknya berhidung pesek, bertulang pipi tinggi dan bermata sipit. Di sinilah Ayub pertama-tama menetap, dan segalanya berjalan baik. Ia mengumpulkan sekelilingnya segala macam makhluk yang malang dan terbuang yang tinggal dalam gua-gua dan semak-semak, dan yang hidup semata-mata dari daging mentah burung-burung dan binatang hasil buruan. Ayub adalah yang pertama mengajarkan kepada mereka bagaimana memasak makanan. Dengan bantuan mereka, Ayub menggali dan mengolah tanah. Ia dan orang-orangnya pada waktu itu mengenakan hanya secarik kain dan mereka tinggal dalam kemah-kemah. Ayub segera mendapati dirinya sebagai pemilik dari kawanan ternak yang begitu besar jumlahnya di tempat ini, di antaranya ada keledai-keledai yang bergaris-garis dan binatang-binatang yang bertotol-totol. Suatu ketika tiga bayi kembar laki-laki dilahirkan baginya, dan di lain waktu tiga bayi kembar perempuan. Ia masih belum mempunyai kota di sini, akan tetapi ia pergi berkeliling di antara ladang-ladangnya yang meluas hingga suatu jarak duapuluh satu mil. Tak ada biji-bijian ditanam di wilayah yang berawa itu, tetapi mereka menanam sedge [= tanaman rumput-rumputan] besar, yang tumbuh juga di air, dan yang sarinya dimakan setelah direbus atau dipanggang. Mereka mengeringkan daging dalam lubang-lubang yang digali dalam tanah dan terpanggang matahari, hingga Ayub mengajarkan kepada mereka bagaimana memasaknya. Mereka menanam beragam macam labu sebagai makanan.

Ayub luarbiasa lembut, ramah, adil dan baik hati. Ia memberikan pertolongan kepada mereka semua yang membutuhkannya. Ia juga luarbiasa murni dan bergaul akrab dengan Allah yang berkomunikasi dengannya melalui seorang malaikat, atau “manusia putih”,  sebagaimana orang-orang pada masa itu menyebutnya. Penampakan-penampakan malaikat ini serupa pemuda-pemuda bercahaya, namun tanpa jenggot, berpakaian putih panjang yang jatuh terjuntai dalam lipatan-lipatan atau garis-garis sekeliling mereka, aku tak dapat membedakan yang mana. Mereka mengenakan ikat pinggang, dan mereka makan dan minum. Allah menghibur Ayub dalam penderitaannya dengan penampakan-penampakan ini, dan mereka menjatuhkan hukuman pada teman-temannya, kemenakan-kemenakannya dan sanak saudaranya yang lain. Ayub tidak menyembah berhala-berhala seperti bagnsa-bangsa sekelilingnya. Mereka membuat bagi diri mereka sendiri patung-patung berupa segala macam binatang dan menyembahnya. Tetapi Ayub membuat bagi dirinya sendiri gambaran Allah yang Mahakuasa, figur seorang kanak-kanak bermahkotakan cahaya. Tangan yang satu di atas yang lain, dan di atas satu tangan terdapat sebuah bola di atas mana digambarkan sebuah kapal kecil sedang berlayar di atas gelombang. Aku pikir itu untuk menggambarkan Air Bah, juga kebijaksanaan dan kerahiman Allah; yang sering dibicarakan Ayub kepada kedua hamba kepercayaannya. Patung itu mudah dibawa dan berkilau bagai logam. Ayub berdoa di hadapannya dan membakar biji-bijian di depannya sebagai suatu kurban. Asap membubung dari atasnya seolah melalui sebuah cerobong. Di tempat inilah malapetaka pertama Ayub menimpanya. Rentang waktu antara kemalangan-kemalangan yang berbeda yang tertulis mengenainya, bukanlah merupakan suatu masa damai baginya. Ayub senantiasa harus bergulat dan bertempur melawan suku-suku bangsa jahat yang mengelilinginya. Setelah kemalangan pertama, ia pindah lebih tinggi ke jajaran gunung, Caucasus, di mana ia memulai lagi dari awal dan di mana kemakmuran menyertainya kembali. Ia dan para pengikutnya sekarang mulai mengenakan pakaian lebih lengkap dan gaya hidup mereka menunjukkan kemajuan.

Dari sini, kediamannya yang kedua, Ayub pergi, dengan disertai banyak rombongan pengikut, ke Mesir di mana pada waktu itu orang-orang asing yang disebut para raja gembala, dan yang dari negeri asalnya sendiri, menguasai sebagian wilayah. Para raja gembala ini sesudahnya dihalau oleh seorang raja Mesir. Tugas Ayub ke Mesir adalah untuk menghantarkan ke sana salah seorang sanaknya sendiri, yang akan menjadi mempelai dari salah seorang raja gembala. Ayub membawa bersamanya banyak hadiah, sekitar tigapuluh unta, dan banyak hamba. Ketika aku melihatnya di Mesir, Ayub adalah seorang yang besar, gagah dan berpenampilan simpatik; kulitnya berwana coklat kekuningan dan rambut kemerahan. Abraham lebih terang kulitnya. Orang-orang Mesir kulitnya berwarna coklat dekil. Ayub tak merasa senang di Mesir. Aku biasa melihatnya menengok penuh rindu ke belakang ke arah timur, ke arah negerinya yang terbentang lebih ke selatan dari negeri yang paling jauh Tiga Raja. Aku mendengarnya mengeluh dengan sedih kepada para pelayannya, mengatakan bahwa ia lebih suka hidup bersama binatang-binatang liar daripada bersama orang-orang Mesir. Pemujaan berhala yang ngeri yang dilakukan di mana-mana di negeri itu menyedihkannya. Orang-orang Mesir menyembah sebuah berhala mengerikan dengan kepala terangkat, seperti rupa sapi, dan rahang-rahangnya terbuka lebar. Mereka memanaskannya begitu hebat dan menempatkan anak-anak yang hidup di lengan-lengannya yang membara sebagai persembahan.

Raja gembala, yang puteranya akan menjadi mempelai dari pengantin yang dihantarkan Ayub ke Mesir, sia-sia menahannya di sana, dan ia memberikan kepada Ayub wilayah Matarea sebagai tempat kediamannya. Matarea pada masa itu amat berbeda dari masa sesudahnya ketika Keluarga Kudus singgah di sana. Lagi aku melihat bahwa Ayub tinggal di tempat yang sesudahnya ditempati oleh Keluarga Kudus, dan bahwa Sumber mataair Maria telah diperlihatkan kepadanya oleh Allah. Ketika Maria menemukan sumur ini, sumur telah dipinggiri dengan bebatuan, meski masih tertutup. Ayub mempergunakan bebatuan dekat sumur untuk beribadat. Dengan doa ia membebaskan wilayah sekeliling kediamannya dari binatang-binatang liar dan buas. Penglihatan-penglihatan mengenai keselaman manusia dinyatakan kepadanya di sini, dan ia melihat juga, pencobaan-pencobaan yang menantinya. Dengan semangat bernyala-nyala ia berseru menentang praktek-praktek keji kaum Mesir dan kurban-kurban manusia. Aku pikir, kurban-kurban manusia ini akhirnya dihapuskan.

Ketika Ayub kembali ke daerah asalnya, kemalangan kedua menimpa; dan kemudian, setelah duabelas tahun masa damai, kemalangan ketiga datang atasnya, ia tinggal lebih ke arah selatan dan sebelah timur langsung Yerikho. Aku pikir wilayah ini diberikan kepadanya sesudah kemalangannya yang kedua, sebab ia di mana-mana amat dihormati dan dikasihi oleh sebab keadilannya, pengetahuannya, dan takutnya akan Allah yang mengagumkan. Wilayah ini merupakan suatu dataran yang rata, dan di sini Ayub mulai dari awal. Di suatu puncak, yang amat subur, beragam binatang yang elok berlarian, juga unta-unta liar. Mereka menangkap hesan-hewan itu dengan cara yang sama seperti kita menangkap kuda-kuda liar di padang.

Ayub menetap di puncak ini. Di sini ia mengalami kemakmuran, menjadi kaya raya dan membangun sebuah kota. Pondasi-pondasinya dari batu; tempat-tempat kediamannya adalah kemah-kemah. Dalam masa kemakmuran besar inilah malapetaka barah yang busuk menimpanya. Sesudah menanggung kemalangan ini dengan kebijaksanaan dan kesabaran yang luar biasa, ia sepenuhnya pulih, dan lagi menjadi bapa dari banyak putera dan puteri. Aku pikir Ayub tidak wafat hingga lama sesudahnya, ketika suatu bangsa lain menyerbu masuk ke dalam wilayahnya.

Meski dalam Kitab Ayub kisah ini disampaikan secara amat berbeda, namun banyak dari kata-kata Ayub sendiri dicatat di dalamnya. Aku pikir aku dapat membedakan semuanya. Di mana kisah mengatakan bahwa para hamba datang susul-menyusul kepada Ayub dengan berita kemalangan, patut dicatat bahwa kata-kata: “Sementara orang itu berbicara,” mengandung arti, “Dan sementara malapetaka terakhir masih belum hilang dari ingatan orang,” dan sebagainya.

Setan menghadirkan diri di hadapan Allah bersama anak-anak Allah dan bertindak melawan Ayub; dikatakan demikian hanya demi ringkasnya cerita. Pada masa itu ada banyak komunikasi antara roh-roh jahat dan para pemuja berhala, kepada siapa roh-roh jahat menampakkan diri dalam rupa malaikat. Dengan cara ini, setan menghasut orang-orangnya yang jahat melawan Ayub, dan mereka memfitnahnya. Mereka mengatakan bahwa ia tidak melayani Allah dengan sepantasnya, bahwa ia memiliki harta kekayaan yang berlimpah ruah, dan bahwa sangat mudah baginya untuk menjadi baik. Kemudian Allah memutuskan untuk menunjukkan bahwa kemalangan-kemalangan kerap kali hanyalah pencobaan, dan sebagainya.

Para sahabat yang berbicara sekeliling Ayub melambangkan refleksi sesama saudara atas nasibnya. Akan tetapi Ayub dengan penuh rindu menantikan Juruselamat. Ayub adalah salah seorang leluhur ras Daud. Ayub dengan Abraham, melalui ibu Abraham (yang adalah salah satu keturunan Ayub), adalah seperti leluhur Anna dengan Maria.

Sejarah Ayub dan percakapannya dengan Allah, secara detail ditulis oleh dua pelayannya yang paling terpercaya yang tampaknya adalah pengurus rumah tangganya. Mereka menuliskannya di atas kulit kayu dan dari dikte Ayub sendiri. Nama kedua pelayan ini adalah Hai dan Uis, atau Ois. Kisah ini dianggap amat sakral oleh keturunan Ayub. Mereka mewariskannya dari generasi ke generasi hingga ke Abraham. Di sekolah Ribka kaum Kanaan diajari mengenainya sehubungan dengan pelajaran penyerahan diri dalam pencobaan-pencobaan yang dari Allah yang mereka tanamkan.

Melalui Yakub dan Yusuf, catatan itu diwariskan kepada anak-anak Israel di Mesir. Musa menyimpan dan menyusunnya secara berbeda untuk kepentingan bangsa Israel selama perbudakan di Mesir dan pengembaraan yang menyengsarakan di padang gurun; sebab di sana tercantum banyak detail yang mungkin belum dipahami, dan yang mungkin tak berguna pada masanya. Tetapi, Salomo menyusun kembali secara keseluruhan, membuang banyak hal dan menyisipkan banyak hal lain dari dirinya sendiri. Jadi, yang dulunya adalah sejarah otentik, sekarang menjadi sebuah kitab sakral yang berisi kebijaksanaan Ayub, Musa dan Salomo. Sekarang orang hanya dapat dengan susah payah menelusuri sejarah asli, sebab nama-nama kota dan bangsa-bangsa dicampur dengan nama-nama kota dan bangsa-bangsa Kanaan, di mana Ayub dianggap sebagai seorang Edom.        


sumber : “The Lowly Life And Bitter Passion Of Our Lord Jesus Christ And His Blessed Mother Together With The Mysteries Of The Old Testament: from the visions of Blessed Anne Catherine Emmerich”

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Dosa dan Konsekwensinya        previous  Halaman Sebelumnya     Halaman Selanjutnya  next      up  Halaman Utama