BAGIAN SATU
PENJELASAN MENGENAI SALVE REGINA
Banyak dan berlimpah rahmat yang disalurkan oleh Bunda Allah atas mereka yang saleh yang dibelanya.
BAB I
Salve Regina, Mater misericordiae!
MARIA, RATU KITA, BUNDA KITA
I. Betapa besar sepatutnya kepercayaan kita kepada Maria, yang adalah Ratu Kerahiman.
Sebab Perawan Maria yang mulia telah ditinggikan ke martabat Bunda dari Raja segala raja, bukan tanpa alasan Gereja menghormatinya dan menghendakinya dihormati oleh semua orang dengan gelar mulia Ratu.
“Jika sang Putra adalah seorang raja,” kata St Athanasius, “maka Bunda yang melahirkannya adalah tepat dan benar dipandang sebagai seorang Ratu dan Penguasa.” “Tak lama setelah Maria menyatakan kesediaannya untuk menjadi Bunda dari Sabda yang Kekal,” kata St Bernardine dari Sienna, “maka oleh kesediaannya ini ia dijadikan Ratu dunia dan Ratu segala makhluk.” “Sebab daging Maria,” demikian Abbas Arnold dari Chartres, “tiada berbeda dari daging Yesus, bagaimanakah mungkin martabat rajawi sang Putra tidak dikenakan pada Bunda?” “Dengan demikian kita patut beranggapan bahwa kemuliaan Putra, bukan hanya sudah sewajarnya bagi Bundanya, melainkan satu dengannya.”
Dan jika Yesus adalah Raja semesta alam, Maria adalah juga Ratu semesta alam. “Dan sebagai Ratu,” kata Abbas Rupert, “ia memiliki kuasa, berdasarkan hak, atas seluruh kerajaan Putranya.” Demikianlah St Bernardine dari Sienna menyimpulkan bahwa “sebanyak makhluk yang melayani Allah, demikian pula banyaknya mereka yang melayani Maria; sebab sebagaimana para malaikat dan manusia, dan segala yang ada di surga dan di bumi, tunduk pada kerajaan Allah, demikianlah pula mereka tunduk di bawah kuasa Maria!” Abbas Guerricus, mengarahkan perhatiannya pada Bunda ilahi mengenai hal ini, mengatakan, “Teruslah, Maria, teruslah menyelenggarakan dengan keyakinan akan kekayaan Putramu; bertindaklah sebagai Ratu, Bunda dan Mempelai sang Raja: sebab padamu ada wewenang dan kuasa atas segala makhluk!”
Jadi, Maria adalah seorang Ratu: tetapi demi penghiburan kita bersama, ketahuilah bahwa ia adalah seorang Ratu yang begitu manis, lemah-lembut, dan begitu sedia menolong kita dalam kemalangan-kemalangan kita, hingga Gereja yang kudus menghendaki agar kita menyalaminya dalam doa ini di bawah gelar Ratu Kerahiman.
“Gelar Ratu,” kata Beato Albertus Agung, “berbeda dari Kaisar Wanita, yang menyiratkan kekakuan dan kekerasan, dalam menyatakan belas kasihan dan cinta kasih kepada mereka yang malang.” “Kebesaran para raja dan ratu,” kata Seneca, “terletak dalam melegakan mereka yang tertindas,” dan sementara tirani, ketika berkuasa, memikirkan hanya kepentingannya sendiri, raja wajib memikirkan rakyatnya dalam batinnya. Oleh karena alasan inilah, pada saat penobatannya, kepala raja diurapi dengan minyak, yang adalah simbol belas kasihan, guna menunjukkan bahwa, sebagai raja, di atas segalanya, ia wajib memelihara dalam hatinya perasaan belas kasihan dan kebaikan hati terhadap rakyatnya.
Jadi, raja hendaknya menyibukkan diri terutama dalam karya-karya belas kasihan, akan tetapi dengan tidak melupakan hukuman yang adil yang perlu dijatuhkan atas mereka yang bersalah. Tidaklah demikian halnya dengan Maria, yang, meski seorang Ratu, bukanlah seorang ratu keadilan, bertujuan menghukum yang jahat, melainkan ratu kerahiman, bertujuan hanya berbelas-kasihan dan mengampuni yang berdosa. Dan inilah alasan Gereja menghendaki kita secara istimewa menyebutnya “Ratu Kerahiman.” Konselor Paris yang agung, John Gerson, dalam ulasannya mengenai kata-kata Daud: “Dua hal yang aku dengar: bahwa kuasa dari Allah asalnya, dan dari pada-Mu juga kasih setia, ya Tuhan” (Mazmur 62:11-12), mengatakan bahwa Kerajaan Allah, terdiri atas keadilan dan kerahiman, dibagi oleh Tuhan kita: kerajaan keadilan yang diperuntukkan-Nya bagi DiriNya Sendiri, dan kerajaan kerahiman yang diserahkan-Nya kepada Maria, pada saat yang sama menetapkan bahwa segala belas kasihan yang disalurkan kepada umat manusia haruslah melalui tangan-tangan Maria, dan dibagi-bagikan olehnya menurut kehendaknya. Inilah kata-kata Gerson sendiri: “Kerajaan Allah terdiri atas kuasa dan kerahiman; kekuasaan diperuntukkan bagi DiriNya Sendiri, dan Ia, dengan suatu cara, menyerahkan kerajaan kerahiman kepada BundaNya.” Ini dipertegas oleh St Thomas, dalam prefasinya untuk Epistula Kanonik, dengan mengatakan, “bahwa ketika Santa Perawan mengandung Sabda Kekal dalam rahimnya, dan melahirkan-Nya, ia mendapatkan separuh dari kerajaan Allah; sehingga ia adalah Ratu Kerahiman, sebagaimana Yesus adalah Raja Keadilan.”
Bapa yang Kekal menjadikan Yesus Kristus Raja Keadilan, dan dengan dengan demikian Hakim semesta dunia: dan karenanya sang raja sekaligus nabi menubuatkan: “Berikanlah hukum-Mu kepada raja dan keadilan-Mu kepada putera raja!” (Mazmur 72:1). Di sini seorang penafsir yang terpelajar membahas ayat tersebut dengan mengatakan: “Ya Allah, Engkau telah memberikan keadilan kepada PutraMu, sebab Engkau telah memberikan kerahiman kepada Bunda sang Raja.” Dan, mengenai hal ini, St Bonaventura, mengucapkan kata-kata Daud dengan cara lain dan menafsirkannya demikian: “Berikanlah hukum-Mu kepada raja dan kerahiman-Mu kepada Ratu Bunda-Nya.” Ernest, Uskup Agung Prague, juga mengomentari, “bahwa Bapa yang Kekal memberikan tugas hakim dan penuntut keadilan kepada Putra, dan tugas menunjukkan belas kasihan dan melegakan mereka yang membutuhkan kepada Bunda.” Ini telah dinubuatkan oleh Nabi Daud sendiri, sebab ia mengatakan bahwa Allah (demikianlah) mengkonsekrasikan Maria sebagai Ratu Kerahiman, mengurapinya dengan minyak kesukaan: “Allahmu, telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan” (Mazmur 45:7). Agar kita, anak-anak Adam yang malang, dapat besukacita, mengingat bahwa di surga kita mempunyai Ratu agung ini, yang berlimpah urapan kerahiman dan belas kasihan terhadap kita; dan dengan demikian kita dapat mengatakan bersama St Bonaventura, “Ya Maria, engkau penuh urapan kerahiman dan minyak belas kasihan”; sebab Allah telah mengurapimu dengan minyak kesukaan.
Dan bagaimana tidak indah Beato Albertus Agung pada subyek ini menggunakan sejarah Ratu Ester, yang adalah tipe agung dari Ratu Maria kita!
Kita membaca dalam bab ketiga Kitab Ester bahwa dalam pemerintahan Ahasyweros sebuah titah diterbitkan, memaklumkan bahwa semua orang Yahudi harus dibinasakan. Mordekhai, salah seorang dari yang harus dibinasakan, menghadap dan berbicara kepada Ester agar Ester dapat menjadi penengah di hadapan Ahasyweros dan mendapatkan pembatalan titah, dan dengan demikian menjadi keselamatan bagi semua orang. Pada mulanya Ester menolak tugas itu, takut kalau-kalau permintaan yang demikian semakin membangkitkan murka raja; akan tetapi Mordekhai mencelanya, mengatakan bahwa hendaknya ia tidak berpikir hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja, sebab Allah telah menempatkannya di atas tahta demi mendapatkan keselamatan bagi segenap bangsa Yahudi: “Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi” (Ester 4:13). Demikianlah Mordekhai berbicara kepada Ratu Esteer. Demikian pula kita para pendosa yang malang dapat berkata kepada Ratu Maria kita, andai ia memperlihatkan keengganan untuk memperolehkan dari Allah pembebasan kita dari hukuman yang memang pantas bagi kita: “Ya Bunda, janganlah kiranya berpikir bahwa Allah telah meninggikan engkau ke martabat Ratu dunia, hanya untuk memberikan yang baik bagi dirimu; tetapi agar, karena begitu luhur, engkau dapat terlebih lagi berbelas-kasihan dan menolong kami para makhluk yang malang.”
Begitu Ahasyweros melihat Ester berdiri di hadapannya, ia bertanya, penuh cinta, apa yang diinginkannya. Apakah permintaanmu! Ratu menjawab, “Ya raja, jikalau hamba mendapat kasih raja dan jikalau baik pada pemandangan raja, karuniakanlah kiranya kepada hamba nyawa hamba atas permintaan hamba, dan bangsa hamba atas keinginan hamba”(Ester 7:3). Ahasyweros mengabulkan permintaannya, dan segera memerintahkan pembatalan titah. Dan sekarang, jika Ahasyweros, karena cintanya kepada Ester, memberikan, atas permintaannya, keselamatan kepada bangsa Yahudi, bagaimanakah Allah dapat menolak doa-doa Maria, yang begitu amat berkenan di hadapan-Nya, ketika ia berdoa bagi para pendosa yang malang, yang mempercayakan diri mereka padanya, dan mengatakan kepada-Nya, “Ya Rajaku dan Allahku, jikalau hamba mendapat kasih-Mu” (meski Bunda ilahi tahu benar bahwa ia yang diberkati, yang kudus, satu-satunya dari antara umat manusia yang mendapatkan rahmat yang dihilangkan oleh segenap umat manusia; pun ia tahu benar bahwa ia yang paling dikasihi oleh Tuhannya, dikasihi melampaui segenap para kudus dan malaikat sekaligus), karuniakanlah kiranya kepada hamba bangsa hamba atas keinginan hamba. Jika Engkau mengasihi aku, katanya, “Berikanlah kepadaku, ya Tuhan, para pendosa ini, bagi siapa aku mohon kepada-Mu.” Adakah mungkin Allah menolaknya? Dan siapakah gerangan yang tak tahu-menahu akan kuasa doa-doa Maria kepada Allah? “Pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya” (Amsal 31:26). Setiap doanya, seolah, adalah suatu pengajaran bagi Tuhan kita, bahwa hendaknya Ia menunjukkan kerahiman kepada semua bagi siapa Maria menjadi perantara. St Bernardus mengajukan pertanyaan mengapa Gereja menyebut Maria “Ratu Kerahiman”? Dan ia menjawab, bahwa “sebab kita percaya bahwa ia membuka jurang-jurang kerahiman Allah kepada barangsiapa yang ia kehendaki, bilamana ia kehendaki, dan sebagaimana ia kehendaki; hingga tak ada seorang pendosa pun, betapa jahatnya, yang hilang apabila Maria melindunginya.”
Akan tetapi mungkin kita takut bahwa Maria tidak berkenan menjadi penengah untuk sebagian pendosa, sebab mereka begitu bergelimang dalam kejahatan? Atau mungkin kita harus hormat bercampur takut atas kebesaran dan kekudusan Ratu agung ini? “Tidak,” kata St Gregorius VII, “sebab semakin tinggi dan semakin kudus ia, semakin terlebih lagi kemanisan dan belas kasihannya terhadap para pendosa yang mohon pertolongannya dengan kerinduan untuk mengubah hidup mereka.” Para raja dan ratu, dengan semarak kebesaran mereka, membangkitkan teror, dan menyebabkan rakyat mereka takut untuk menghampiri mereka: akan tetapi takut apakah, kata St Bernardus, yang dapat ada dalam mereka yang malang untuk menghampiri Ratu Kerahiman ini, sebab ia tidak membangkitkan teror, dan tidak memperlihatkan kekerasan, kepada mereka yang datang kepadanya, melainkan semuanya adalah kemanisan dan kelemah-lembutan. “Mengapakah kerapuhan manusia takut untuk datang kepada Maria? Pada Maria tak ada kekerasan, tak ada yang mengerikan: ia adalah segala kemanisan, yang menawarkan susu dan wool kepada semua orang.” Maria tak hanya suka memberi, melainkan ia sendiri menawarkan susu dan wool kepada semua: susu kerahiman untuk menggerakkan kepercayaan kita, dan wool perlindungannya melawan halilintar keadilan ilahi.
Suetonius mengisahkan Kaisar Titus bahwa ia tidak pernah dapat menolak untuk bermurah hati, begitu rupa hingga terkadang ia menjanjikan lebih dari yang dapat ia berikan, dan ketika ditegur mengenai ini ia menjawab bahwa seorang pangeran tidak pernah boleh membiarkan siapapun yang diijinkannya menghadap, pergi dengan kecewa. Titus berbicara demikian, namun dalam kenyataannya ia kerap harus menipu atau tak dapat memenuhi janji-janjinya. Ratu kita tidak menipu, dan ia bisa mendapatkan segala yang ia kehendaki bagi mereka yang dibelanya. Lagipula, “Tuhan kita telah memberinya hati yang begitu lemah-lembut dan penuh belas kasihan,” kata Lanspergius, “hingga ia tak dapat membiarkan siapapun yang berdoa kepadanya pergi dengan kecewa.” Akan tetapi bagaimanakah, menggunakan kata-kata St Bonaventura, engkau ya Maria, yang adalah Ratu Kerahiman, menolak untuk menolong mereka yang malang? Dan “siapakah,” tanya orang kudus kita, “yang adalah subyek belas kasihan, jika bukan mereka yang malang? Dan sebab engkau adalah Ratu Kerahiman,” lanjutnya, “dan aku adalah yang paling malang dari antara pendosa, maka aku adalah subyekmu yang utama. Jadi, bagaimanakah, ya Bunda, engkau dapat melakukan yang sebaliknya dan bukannya mengamalkan belas kasihanmu kepadaku?” Jadi, kasihanilah kami, ya Ratu Kerahiman, dan jaminlah keselamatan kami.
“Jangan katakan, ya Perawan Tersuci,” seru St Gregorius dari Nicomedia, “bahwa engkau tiada dapat menolong kami oleh sebab banyaknya dosa-dosa kami, sebab kuasamu dan belas kasihanmu begitu rupa, hingga tak ada dosa, betapapun besarnya, dapat melampauinya. Tiada suatupun yang dapat melawan kuasamu, sebab Pencipta kami, menghormatimu sebagai BundaNya, menganggap kemuliaanmu sebagai kemuliaan-Nya Sendiri dan Putra, “bersukaria di dalamnya, memenuhi permintaan-permintaanmu seolah Ia tengah membayar hutang”; artinya, Maria ada di bawah suatu tanggung jawab tak terhingga memberi Yesus kemanusiaan-Nya; dan karenanya Yesus, untuk membayar seolah hutang-Nya kepada Maria, dan dimuliakan dalam kemuliaannya, menghormatinya dengan suatu cara yang istimewa dengan mendengarkan dan mengabulkan segala permintaannya.
Jadi, betapa besar sepatutnya kepercayaan kita kepada Ratu ini, mengetahui kuasanya yang luar biasa di hadapan Allah, dan bahwa ia begitu kaya dan penuh belas kasihan, hingga tak ada satu makhluk pun yang hidup di bumi yang tidak menerima belas kasihan dan kemurahan hatinya. Hal ini disingkapkan oleh Bunda Maria sendiri kepada St Brigita, dengan mengatakan, “Aku adalah Ratu Surga dan Bunda Kerahiman; aku adalah sukacita orang-orang benar, dan pintu melalui mana para pendosa dihantar kepada Allah. Tak ada seorang pendosa pun di dunia yang begitu terkutuk hingga dijauhkan dari kerahimanku; sebab semua, jika mereka tidak menerima apapun lainnya melalui perantaraanku, menerima rahmat diringankan dari pencobaan iblis dari yang seharusnya mereka dapatkan.” “Tak seorang pun,” tambahnya, “terkecuali hukuman yang tak dapat dibatalkan telah dimaklumkan” (yakni, yang dimaklumkan pada mereka yang binasa), “yang begitu dibuang oleh Allah hingga ia tidak kembali kepada-Nya, dan menikmati kerahiman-Nya, jika ia memohon pertolonganku.” “Aku disebut oleh semua orang Bunda Kerahiman, dan sungguh kerahiman Putraku terhadap manusia telah menjadikanku demikian penuh belas kasihan terhadap mereka”; dan Bunda Maria mengakhiri dengan mengatakan, “dan karenanya betapa malangnya dia, dan betapa malang dia sepanjang kekekalan masa, dia, yang dalam hidup ini, kendati dapat memohon kepadaku - yang begitu penuh belas kasihan kepada semua orang, dan begitu rindu menolong para pendosa -, namun begitu malang untuk tidak memohon kepadaku, dan dengan demikian binasa.”
Jadi, marilah kita, memohon pertolongan, dan senantiasa memohon pertolongan, pada Ratu yang termanis ini, jika kita ingin keselamatan kita terjamin; dan jika kita takut dan berkecil hati melihat dosa-dosa kita, marilah kita ingat bahwa demi menyelamatkan para pendosa yang terbesar dan paling terbuang, yang mempercayakan diri padanya, Maria dijadikan Ratu Kerahiman. Itulah yang menjadi mahkotanya di surga; seturut perkataan yang disampaikan kepadanya oleh Mempelai Ilahinya: “Turunlah kepadaku dari gunung Libanon, pengantinku, datanglah kepadaku dari gunung Libanon, ... dari liang-liang singa, dari pegunungan tempat macan tutul!” (Kidung Agung 4:8). Dan apakah liang-liang binatang buas ini, selain dari para pendosa yang malang, yang jiwanya telah menjadi liang dosa, monster paling mengerikan yang dapat ditemukan. “Dengan jiwa-jiwa yang demikian,” kata Abbas Rupert, membicarakan Bunda Maria, “diselamatkan olehmu, ya Ratu Maria yang agung, engkau akan dimahkotai di surga; sebab keselamatan mereka akan membentuk sebuah mahkota, dan engkau sungguh pantas menjadi Ratu Kerahiman.” Mengenai ini bacalah yang berikut.
Teladan
Kita baca dalam riwayat Suster Katarina dari St Agustinus bahwa di tempat di mana ia tinggal adalah seorang perempuan bernama Maria, yang di masa mudanya adalah seorang pendosa dan di masa tuanya terus berdegil dalam kejahatan hingga ia diusir keluar dari kota dan harus hidup dalam sebuah gua terpencil; di sanalah ia mati, dengan sebagian tubuhnya digerogoti penyakit, tanpa menyambut sakramen-sakramen; mati di padang seperti binatang liar. Suster Katarina, yang selalu mendoakan jiwa-jiwa mereka yang meninggalkan dunia ini dengan permohonan yang sungguh kepada Allah, kendati mendengar akhir hidup yang tragis dari perempuan tua yang sungguh malang ini, tak pernah berpikir untuk mendoakannya, dan ia menganggap perempuan itu (seperti juga anggapan yang lain) sudah pasti binasa. Suatu hari, empat tahun kemudian, suatu jiwa menderita menampakkan diri kepada Suster Katarina dan berseru: “Betapa malang nasibku, Suster Katarina! Engkau mendoakan jiwa-jiwa semua orang yang meninggal kepada Allah; hanya bagi jiwaku saja engkau tidak berbelas-kasihan.” “Dan siapakah engkau?” tanya Katarina. “Aku,” jawabnya, “adalah Maria malang yang mati dalam gua.” “Adakah engkau selamat?' tanya Katarina. “Ya,” jawabnya, “dengan belas kasihan Santa Perawan Maria.” “Bagaimana itu terjadi?” “Ketika aku melihat diriku di ambang maut, bergelimang dosa dan ditinggalkan oleh semua orang, dengan sangat aku mohon pertolongan Bunda Allah dengan mengatakan, “Bunda, engkau adalah pengungsian bagi makhluk-makhluk terbuang; lihatlah aku, pada saat ini, yang ditinggalkan oleh semua; engkau satu-satunya pengharapanku; engkau seorang yang dapat menolongku: kasihanilah aku.” Santa Perawan memperolehkan bagiku rahmat tobat sejati. Aku mati dan diselamatkan; dan di samping itu, Ratuku memperolehkan bagiku rahmat lain, yakni bahwa masa tinggalku di purgatorium diperpendek, dengan menanggung, dalam kedahsyatan, apa yang jika tidak akan berlangsung selama bertahun-tahun. Sekarang aku membutuhkan hanya beberapa misa agar sepenuhnya dibebaskan; aku memohon kepadamu untuk meminta misa dipersembahkan; dan dari pihakku, aku berjanji untuk selalu mendoakanmu kepada Allah dan kepada Maria.” Suster Katarina segera meminta intensi misa bagi jiwanya; dan beberapa hari saja jiwa itu sudah menampakkan diri kembali kepadanya, bercahaya bagai matahari, dan mengatakan: “Aku berterima kasih kepadamu, Katarina: lihatlah, aku pergi ke surga, untuk memadahkan kerahiman Allah-ku, dan untuk mendoakanmu.”
Doa
Ya Bunda Allah-ku dan Bundaku Maria; bagai seorang pengemis, yang sekujur tubuhnya terluka dan berbilur-bilur, menghadirkan diri di hadapan seorang ratu agung, demikianlah aku menghadirkan diri di hadapanmu, yang adalah Ratu surga dan bumi. Dari kemegahan tahta di mana engkau duduk, janganlah memandang sebelah mata, aku mohon kepadamu, melainkan arahkan matamu padaku, seorang pendosa yang malang. Allah telah menjadikanmu begitu kaya agar engkau dapat menolong mereka yang malang, dan telah menetapkanmu sebagai Ratu Kerahiman agar engkau dapat melegakan mereka yang menderita. Jadi, pandanglah aku dan berbelas-kasihanlah kepadaku; pandanglah aku dan janganlah buang aku dari hadapanmu, hingga engkau melihatku berubah dari seorang pendosa menjadi seorang kudus. Aku tahu benar bahwa aku tak berjasa apapun, malahan, aku layak, karena kedurhakaanku, dijauhkan dari rahmat-rahmat yang, melalui perantaraanmu, telah aku terima dari Allah. Tetapi, engkau adalah Ratu Kerahiman, yang tidak melihat jasa melainkan kemalangan, demi menolong mereka yang membutuhkan. Akan tetapi siapakah yang terlebih membutuhkan pertolongan selain dari aku? Ya, Perawan mulia, aku tahu benar bahwa engkau, yang adalah ratu semesta, sudah menjadi ratuku; meski demikian aku memutuskan untuk terlebih lagi secara istimewa membaktikan diriku demi melayanimu, agar engkau dapat berbuat atasku sekehendakmu. Sebab itu aku berbicara kepadamu dalam kata-kata St Bonaventura: “Sudilah kuasai aku, ya Ratuku, dan janganlah biarkan aku menguasai diriku sendiri. Perintahlah aku; pergunakanlah aku sebagaimana engkau kehendaki, dan hukumlah aku apabila aku tidak taat; sebab penghukuman yang datang dari tangan-tanganmu akan menjadi janji keselamatan bagiku. Aku lebih suka menjadi pelayanmu daripada menjadi penguasa bumi. Aku milikmu; selamatkanlah aku. Terimalah aku, ya Maria, sebagai milikmu sendiri; dan sebagai milikmu, peliharalah keselamatanku. Aku bukan lagi milikku; kepadamu aku mempersembahkan diriku. Jika, di masa lalu aku tidak melayanimu dengan baik dan kehilangan begitu banyak kesempatan untuk menghormatimu, di masa mendatang aku akan menjadi salah seorang dari para hambamu yang terkasih dan paling setia. Aku berbulat hati bahwa sejak dari hari ini dan seterusnya tak seorang pun boleh mengungguliku dalam menghormati dan mengasihimu, ya Ratuku yang paling patut dikasihi. Ini janjiku; dan ini, dengan pertolonganmu, berharap aku laksanakan. Amin.
II. Betapa kepercayaan kita kepada Maria sepatutnya semakin bertambah-tambah sebab ia adalah Bunda kita.
Betapa besar sepantasnya kita menempatkan kepercayaan kita kepada Bunda Maria, sebab ia adalah bunda kita.
Bukan tanpa arti, ataupun kebetulan belaka, bahwa mereka yang dibela Maria menyebutnya Bunda; dan sungguh mereka tampaknya tak dapat berseru kepadanya dengan sapaan yang lain, dan tiada pernah bosan menyebutnya Bunda. Bunda, ya! Sebab ia sungguh bunda kita; bukan sungguh menurut jasmani, melainkan rohani, dari jiwa kita dan dari keselamatan kita.
Dosa, dengan menghilangkan rahmat ilahi dari jiwa kita, juga menghilangkan hidup darinya. Yesus, Penebus kita, dengan kerahiman dan kasih yang tak terhingga, datang untuk memulihkan hidup ini dengan wafat-Nya Sendiri di salib, sebagaimana Ia Sendiri maklumkan, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10). Ia katakan dalam segala kelimpahan; sebab, menurut para teolog, jasa penebusan-Nya jauh mengungguli luka yang diakibatkan oleh dosa Adam. Jadi dengan mendamaikan kembali kita dengan Allah, Yesus menjadikan Diri-Nya Bapa bagi jiwa-jiwa dalam hukum rahmat, seperti dinubuatkan nabi Yesaya, “Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yesaya 9:6). Tetapi jika Yesus adalah Bapa bagi jiwa-jiwa kita, maka Maria adalah juga Bunda dari jiwa-jiwa kita, sebab Maria, dengan memberikan Yesus kepada kita, memberikan hidup sejati kepada kita; dan sesudahnya, dengan mempersembahkan hidup Putranya di Bukit Kalvari demi keselamatan kita, ia melahirkan kita ke dalam hidup rahmat.
Jadi, dalam dua peristiwa, menurut para Bapa yang kudus, Maria menjadi Bunda rohani kita.
Pertama, menurut Beato Albertus Agung, adalah ketika Maria didapati layak untuk mengandung Putra Allah dalam rahimnya yang perawan. St Bernardine dari Siena mengatakan hal yang sama dengan lebih jelas, ketika ia mengatakan, “Ketika pada waktu Kabar Sukacita Santa Perawan Tersuci menyatakan kesediaannya sebagaimana diharapkan oleh Sabda yang Kekal sebelum menjadi Putranya, ia sejak dari saat itu memohonkan keselamatan kita kepada Allah dengan semangat yang sungguh, dan menempatkannya dalam hati begitu rupa, hingga sejak dari saat itu, bagai seorang bunda yang paling penuh kasih sayang, ia mengandung kita dalam rahimnya.
Dalam bab kedua Injil St Lukas, Penginjil, berbicara mengenai kelahiran Penebus kita, mengatakan bahwa Maria melahirkan anaknya yang sulung (Lukas 2:7). Jadi, komentar seorang penulis, “sebab Penginjil menegaskan bahwa dalam peristiwa ini Perawan Tersuci melahirkan anaknya yang sulung, haruskah kita beranggapan bahwa sesudahnya Maria mempunyai anak-anak lain?” Tetapi, kemudian ia menjawab pertanyaannya sendiri, mengatakan, “bahwa sebagaimana menurut iman Maria tidak mempunyai anak-anak lain menurut daging selain Yesus, maka pastilah ia mempunyai anak-anak rohani yang lain, dan kitalah anak-anak itu.” Ini diwahyukan oleh Tuhan kita kepada St Gertrude, yang suatu hari tengah membaca teks di atas, dan bingung serta tak dapat mengerti bagaimana Maria, yang adalah Bunda Yesus anaknya yang tunggal, dapat dikatakan melahirkan anaknya yang sulung. Tuhan menjelaskan kepadanya, mengatakan bahwa Yesus adalah anaknya yang sulung menurut daging, tetapi segenap umat manusia adalah anaknya yang berikut menurut roh.
Dari apa yang telah dikatakan, kita dapat mengerti akan ayat dalam Kidung Agung: “Perutmu timbunan gandum, berpagar bunga-bunga bakung” (7:2), yang dikenakan kepada Maria. Dan ini dijelaskan St Ambrosius yang mengatakan, “Bahwa meski dalam rahim Maria yang termurni hanya ada satu biji gandum, yang adalah Yesus Kristus, namun disebut timbunan gandum, sebab semua yang terpilih sebenarnya terkandung di dalamnya;” dan sebagaimana Maria juga akan menjadi Bunda mereka dalam melahirkan Yesus, Ia sungguh dan disebut sebagai yang sulung dari banyak saudara.” Dan Abbas St William menulis dalam makna yang sama, mengatakan, “ bahwa Maria ketika melahirkan Yesus, Juruselamat kita dan hidup kita, melahirkan banyak anak ke dalam keselamatan; dan dengan melahirkan ke dalam kehidupan itu sendiri, ia memberi kehidupan kepada banyak anak.”
Peristiwa kedua di mana Maria menjadi Bunda rohani kita dan melahirkan kita ke dalam hidup rahmat adalah ketika ia mempersembahkan kepada Bapa yang Kekal hidup Putranya terkasih di Bukit Kalvari dengan dukacita dan penderitaan yang teramat getir. Oleh sebab itu St Agustinus memaklumkan bahwa “sebagaimana ia pada waktu itu berperan-serta melalui kasihnya dalam kelahiran umat beriman ke hidup rahmat, ia menjadi Bunda rohani dari mereka semua yang adalah anggota-anggota dari satu Kepala, Yesus Kristus.” Kita dibuat mengerti oleh ayat berikut dari Kidung Agung, yang mengacu pada Santa Perawan Tersuci: “Aku dijadikan mereka penjaga kebun-kebun anggur; kebun anggurku sendiri tak kujaga” (1:6). St William mengatakan, bahwa “Maria, agar supaya ia dapat menyelamatkan banyak jiwa-jiwa, meresikokan dirinya sendiri pada maut”; artinya, demi meyelamatkan jiwa kita, ia mengurbankan hidup Putranya. Dan siapakah Yesus bagi jiwa Maria? Yesus adalah hidupnya, dan segenap kasihnya. Sebab itu Nabi Simeon menubuatkan bahwa sebilah pedang dukacita suatu hari kelak akan menembusi jiwanya sendiri yang paling diberkati. Dan tepat sebilah tombak menembusi lambung Yesus, yang adalah jiwa Maria. Kemudian, Santa Perawan Tersuci inilah yang melahirkan kita melalui dukacitanya ke hidup yang kekal: dan demikianlah kita semua dapat menyebut diri sebagai anak-anak dari dukacita Maria. Bunda kita yang terkasih senantiasa, dan sepenuhnya, bersatu dengan kehendak Allah. “Dan karenanya,” kata St Bonaventura, “ketika ia melihat kasih Bapa yang Kekal terhadap manusia begitu tak terhingga, dan demi menyelamatkan mereka Bapa menghendaki wafat PutraNya; dan, sebaliknya, melihat kasih Putra yang menghendaki wafat bagi kita; maka demi memadukan diri pada kasih tak terhingga Bapa dan Putra terhadap umat manusia, ia juga dengan segenap kehendaknya mempersembahkan dan menyetujui wafat Putranya agar kita dapat diselamatkan.”
Memang benar bahwa, menurut nubuat Yesaya, Yesus, dalam wafatnya demi penebusan umat manusia, memilih untuk seorang diri: “Aku seorang dirilah yang melakukan pengirikan” (Yesaya 63:3); akan tetapi, melihat kerinduan yang berkobar dalam diri Maria untuk ikut ambil bagian dalam keselamatan manusia, Ia menetapkan agar ia, melalui kurban dan persembahan hidup Yesusnya, ikut berperan-serta dalam keselamatan kita, dan dengan demikian menjadi Bunda dari jiwa-jiwa kita. Ini dinyatakan Juruselamat ketika, menjelang wafat, dari atas salib Ia memandang ke bawah pada BundaNya dan pada murid-Nya St Yohanes, yang berdiri di kaki salib, dan, pertama-tama kepada Maria, Ia bersabda: “Lihatlah anakmu” (Yohanes 19:26); seolah mengatakan: Lihatlah, seluruh umat manusia, yang oleh hidup-Ku yang engkau persembahkan demi keselamatan semua orang, bahkan sekarang dilahirkan ke dalam hidup rahmat. Lalu, berpaling kepada murid-Nya, Ia bersabda: “Lihatlah Bundamu” (Yohanes 19:26). “Dengan perkataan ini,” kata St Bernardine dari Sienna, “Maria, karena kasihnya terhadap mereka, menjadi Bunda, tak hanya bagi St Yohanes, melainkan bagi segenap umat manusia.” Dan Silveira menjelaskan bahwa St Yohanes sendiri, dalam mencatat fakta ini dalam Injilnya, mengatakan, “Kemudian Ia mengatakan kepada murid-Nya: Lihatlah Bundamu.” Di sini ia mencermati dengan baik bahwa Yesus Kristus tidak mengatakan kepada Yohanes, melainkan mengatakan kepada murid-Nya, guna menunjukkan bahwa saat itu Ia memberikan Maria kepada semua orang yang adalah murid-murid-Nya, yakni, kepada segenap umat Kristiani, agar ia menhadi Bunda mereka. “Yohanes adalah nama seorang murid, sementara kata murid dapat dikenakan kepada semua; karenanya Tuhan kita menggunakan sebutan yang umum bagi semua orang, guna menunjukkan bahwa Maria diberikan sebagai Bunda bagi kita.”
Gereja mengenakan kepada Maria kata-kata dari Kidung Agung ini: Aku adalah Bunda kasih sejati (“Ego mater pulchrae dilectionis.” -Ecclus. xxiv. 24); dan seorang komentator menjelaskannya dengan mengatakan bahwa kasih Santa Perawan menjadikan jiwa kita indah di hadapan Allah, dan juga menjadikan Maria sebagai seorang bunda yang paling penuh kasih sayang yang menerima kita sebagai anak-anaknya, “Ia menjadi segenap kasih terhadap mereka yang ia angkat sebagai anak.” Dan ibu mana, seru St Bonaventura, yang mengasihi anak-anaknya, dan memelihara kesejahteraan mereka, sebagaimana engkau mengasihi kami dan memelihara kami, yang Ratu yang termanis!” “Sebab bukankah engkau mengasihi kami dan mengupayakan kesejahteraan kami jauh melampaui dan tanpa tertandingi ibu duniawi manapun?”
Wahai diberkatilah mereka yang hidup di bawah perlindungan seorang ibunda yang begitu mengasihi dan berkuasa! Nabi Daud, meski Maria belumlah lahir, mencari keselamtan dari Allah dengan mempersembahkan diri sebagai putera Maria, dan berdoa demikian: “Selamatkanlah anak laki-laki hamba-Mu perempuan!” (Mazmur 86:16). “Dan hamba perempuan yang mana?” tanya St Agustinus; dan ia menjawab, “Hamba perempuan yang mengatakan: Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan.” “Dan siapakah gerangan,” tanya Kardinal Bellarminus, “yang akan pernah berani merenggut anak-anak ini dari dekapan Maria, apabila mereka telah menjadikannya tempat pengungsian? Kuasa neraka manakah, atau pencobaan apakah, yang dapat menguasai anak-anak ini, jika mereka menempatkan kepercayaan mereka dalam perlindungan Bunda yang agung ini, Bunda Allah, dan Bunda mereka?” Ada yang mengatakan bahwa seekor ikan paus ketika melihat anaknya dalam bahaya, entah karena badai atau pemburunya, ia membuka mulut dan melahap anaknya. Tepat inilah yang dinyatakan Novarinus mengenai Maria: “Ketika badai pencobaan mendera, Bunda kaum beriman, yang paling penuh belas kasih dengan kelembutan keibuan, melindungi anak-anaknya seolah dalam dekapannya sendiri hingga ia membawa mereka ke pelabuhan keselamatan.”
Ya Bunda yang paling penuh kasih sayang! Ya Bunda yang paling penuh belas kasihan! Diberkatilah engkau senantiasa dan senantiasa diberkati oleh Allah, yang telah memberikan engkau kepada kami sebagai Bunda kami, dan sebagai pengungsian aman dalam menghadapi segala mara bahaya hidup ini. Bunda Maria sendiri, dalam suatu penglihatan, menyampaikan kata-kata ini kepada St Brigitta: “Seperti seorang ibunda, yang melihat anaknya di tengah hunusan pedang para musuh, akan mengupayakan segala daya demi menyelamatkannya, begitu pula aku dan apa yang akan aku lakukan bagi semua pendosa yang memohon belas kasihanku.” Demikianlah bahwa dalam setiap pergumulan dengan kuasa-kuasa neraka, kita pasti akan selalu menang dengan pertolongan Bunda Allah, yang adalah juga Bunda kita, dengan mengatakan dan mengulang lagi dan lagi: “Kami terbang ke dalam perlindunganmu, ya Bunda Allah yang kudus; kami terbang ke dalam perlingunganmu, ya Bunda Allah yang kudus.” Oh, betapa banyak kemenangan yang diperoleh umat beriman atas neraka dengan memohon pertolongan kepada Maria melalui doa yang singkat namun ampuh ini! Demikianlah abdi Allah yang agung, Suster Maria Tesalib dari Ordo St Benediktin, selalu menang atas roh-roh jahat.
Jadi, bersukahatilah, kalian semua anak-anak Maria. Ingatlah bahwa ia menerima sebagai anak-anaknya mereka semua yang memilih demikian. Bersukacitalah! Mengapakah kalian takut tersesat apabila Bunda yang demikian membela dan melindungi kalian? “Maka, katakanlah, wahai jiwaku, dengan penuh kepercayaan: aku akan bersukacita dan bergembira; sebab apapun penghakiman yang mungkin dijatuhkan atasku, itu tergantung pada dan harus berasal dari Saudara-ku dan Bunda-ku.” “Demikianlah,” kata St Bonaventura, “siapa pun yang mengasihi Bunda yang baik ini, dan mengandalkan perlindungannya, hendaknya disemangati dalam kepercayaan, mengingat bahwa Yesus adalah Saudara kita dan Maria adalah Bunda kita.” Pemikiran yang sama membuat St Anselmus berseru dalam sukacita dan membesarkan hati kita, dengan mengatakan: “Oh, kepercayaan yang menggembirakan! Oh, pengungsian yang aman! Bunda Allah adalah Bundaku. Jadi, betapa teguh sepatutnya kepercayaan kita, sebab keselamatan kita tergantung pada penghakiman seorang Saudara yang baik dan seorang Bunda yang lemah-lembut!” Bunda kitalah yang memanggil kita, dan mengatakan, dalam kata-kata Kitab Amsal ini: “Ia yang kecil, datanglah kepadaku” (Amsal 9:4). Kata “Mama,” senantiasa ada dalam bibir anak-anak, dan dalam segala ketakutan, dalam segala bahaya, mereka serta-merta berteriak: Mama! Mama! Ah, Maria yang termanis! Ah, Bunda yang paling penuh kasih sayang! Tepatnya inilah yang engkau rindukan: bahwa kami menjadi anak-anak, dan berseru kepadamu dalam segala bahaya, dan dari waktu ke waktu mohon pertolongan darimu, sebab engkau rindu menolong dan menyelamatkan kami, sebagaimana engkau telah menyelamatkan semua yang memohon pertolonganmu.
Teladan
Dalam sejarah pendirian Serikat Yesus di Kerajaan Naples, kita baca kisah berikut mengenai seorang bangsawan muda Skotlandia bernama William Elphinstone. Ia berkerabat dengan Raja James, dan hidup beberapa waktu lamanya dalam bidaah di mana ia dilahirkan. Diterangi oleh rahmat ilahi, ia mulai menyadari kesalahan-kesalahannya. Ia pergi ke Perancis; dengan pertolongan seorang Pater Yesuit yang saleh, yang juga adalah seorang Skotlandia, dan terlebih lagi melalui perantaraan Santa Perawan, ia akhirnya menemukan kebenaran, meninggalkan bidaah dan menjadi seorang Katolik. Dari Perancis ia pergi ke Roma, dan di sana seorang teman, yang mendapatinya suatu hari menangis dalam duka yang hebat, menanyakan penyebab kepedihan hatinya. Ia menjawab bahwa malam itu ibunya, yang sesat, menampakkan diri kepadanya dan berkata, “Adalah baik bagimu, nak, bahwa engkau telah masuk ke dalam Gereja yang benar; sebab aku mati dalam kesesatan dan aku binasa.” Sejak dari saat itu ia menggandakan devosinya kepada Maria, memilihnya sebagai satu-satunya Bundanya, dan oleh Maria ia diilhami dengan pikiran untuk memeluk hidup religius, dan ia mengikatkan diri untuk melakukannya dengan suatu ikrar. Sebab kesehatannya rapuh, ia pergi ke Naples untuk perubahan udara, dan di sanalah menurut kehendak Allah ia akan mati, dan mati sebagai seorang religius; sebab tak lama sesudah kedatangannya, mendapati diri di ambang ajal, dengan doa-doa dan airmata ia menggerakkan Superior untuk menerimanya, dan di hadapan Sakramen Mahakudus, ketika ia menyambutnya sebagai viaticum, ia mengucapkan kaul-kaulnya, dan dimaklumkan sebagai anggota Serikat Yesus. Sesudah itu sungguh teramat menyentuh hati mendengar betapa dengan kehalusan budi ia berterima kasih kepada Bundanya Maria sebab telah merenggutnya dari bidaah, dan membimbingnya untuk mati dalam Gereja yang benar, dan dalam rumah Allah, dengan dikelilingi oleh saudara-saudara religius. Ini membuatnya berseru: “Oh, betapa mulianya mati di tengah begitu banyak malaikat!” Ketika didesak untuk beristirahat sebentar, “Ah,” jawabnya, “ini bukan waktunya untuk beristirahat, sebab sekarang aku ada di ambang akhir hidupku.” Sebelum wafat, ia berkata kepada mereka yang mengelilinginya: “Saudara-saudara, tidakkah kalian lihat para malaikat surgawi yang menolongku hadir di sini?” Salah seorang religius yang mendengarnya menggumamkan sesuatu, bertanya kepadanya apakah yang ia katakan. Ia menjawab bahwa malaikat pelindungnya telah menyingkapkan kepadanya bahwa ia akan tinggal sangat singkat saja waktunya di purgatorium, dan bahwa ia akan segera menuju surga. Lalu ia bercakap dengan Bunda Marianya yang termanis; dan bagai seorang kanak-kanak yang menjatuhkan diri untuk beristirahat dalam ribaan bundanya, ia berseru, “Bunda, Bunda!” dan wafat dengan manis. Tak lama kemudian seorang religius yang saleh mendapat tahu dari suatu penglihatan bahwa ia telah berada di surga.
Doa
Ya Bunda Maria Tersuci, bagaimana mungkin bahwa aku, yang mempunyai seorang bunda yang begitu kudus, adalah seorang yang begitu jahat? Seorang bunda yang sepenuhnya berkobar dengan cinta kepada Allah, dan aku mencintai ciptaan; seorang bunda yang begitu kaya dalam kebajikan, dan aku begitu miskin? Ah, Bunda yang menawan, benar bahwa aku tak lagi layak menjadi anakmu, sebab dengan hidupku yang jahat aku telah menjadikan diriku tak layak akan kehormatan yang begitu luhur. Aku sudah puas andai engkau menerimaku sebagai hambamu; dan demi diterima dalam bilangan yang paling rendah dari para hambamu, aku bersedia mengingkari segala kerajaan dunia. Ya, aku akan puas. Akan tetapi janganlah kiranya engkau melarangku untuk memanggilmu Bunda. Nama ini menghibur dan memenuhiku dengan kasih sayang, dan mengingatkanku akan kewajibanku untuk mengasihimu. Nama ini membangkitkan kepercayaan besar dalam diriku kepadamu. Ketika dosa-dosaku dan keadilan ilahi menguasaiku dengan ketakutan, aku sepenuhnya terhibur dengan pemikiran bahwa engkau adalah Bundaku. Jadi, ijinkanlah aku memanggilmu Bunda, Bundaku yang paling menawan. Begitulah aku memanggilmu, dan begitulah aku akan selalu memanggilmu. Engkau, sesudah Allah, akan menjadi pengharapanku, pengungsianku, kasihku dalam lembah airmata ini. Begitulah aku berharap untuk mati, menghembuskan jiwaku ke dalam tangan-tanganmu yang kudus, sembari mengatakan, Bundaku, Bundaku Maria, tolonglah aku, kasihanilah aku! Amin.
III. Besarnya kasih Bunda Maria kepada kita.
Sebab Maria adalah Bunda kita, kita dapat merenungkan betapa besar kasihnya kepada kita; kasih kepada anak-anak kita adalah suatu kodrat naluri mendasar; dan St Thomas mengatakan bahwa inilah alasan mengapa hukum ilahi mengenakan kepada anak-anak kewajiban untuk mengasihi orangtua mereka; namun tidak menyuratkan perintah agar orangtua mengasihi anak-anak mereka, sebab kodrat sendiri telah begitu kuat menanamkannya dalam segenap makhluk, hingga, seperti dikatakan St Ambrosius, “kita tahu bahwa seorang ibu akan mempertaruhkan nyawanya sendiri demi anaknya,” dan bahkan binatang yang paling buas sekalipun tak dapat melakukan yang sebaliknya selain dari mengasihi anak-anak mereka yang masih kecil. Dikatakan bahwa bahkan harimau, mendengar raungan anak-anak kecil mereka yang ditangkap para pemburu, akan segera terjun ke dalam laut dan berenang hingga mereka mencapai kapal di mana anak-anaknya dikurung. Harimau saja, kata Bunda Maria kita yang terkasih, tak dapat melupakan anak-anaknya yang kecil, bagaimanakah aku dapat lupa untuk mengasihi kalian, anak-anakku? Dan bahkan, tambahnya, andai mungkin terjadi bahwa seorang ibu lupa mengasihi anaknya, adalah tidak mungkin bagiku untuk berhenti mengasihi suatu jiwa yang telah menjadi anakku: Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, hingga tidak berbelas-kasih kepada anak yang dari rahimnya? Dan andai ia melupakan bayinya, aku tidak akan melupakan engkau.”
Maria adalah Bunda kita, bukan, sebagaimana telah kita mengerti, karena daging, melainkan karena kasih; Aku adalah Bunda kasih sejati; karena itu hanya kasihnya kepada kita yang menjadikannya bunda kita, dan karenanya seorang berkomentar, “bahwa ia bersukacita menjadi seorang bunda kasih, sebab ia sepenuhnya kasih kepada kita yang telah ia angkat sebagai anak-anaknya.” Dan siapakah gerangan yang pernah dapat mengatakan besarnya kasih Maria kepada kita makhluk-makhluk yang malang? Arnold dari Chartres mengatakan bahwa “di saat wafat Yesus Kristus, ia dengan kerinduan yang berkobar menghendaki untuk mati bersama Putranya, demi kasih kepada kita; begitu rupa, tambah St Ambrosius, hingga sementara “Putranya tergantung di salib, Maria mempersembahkan dirinya kepada para algojo” untuk memberikan nyawanya bagi kita.
Tetapi marilah kita merenungkan alasan dari kasih ini; sebab dengan demikian kita akan lebih dapat memahami betapa bunda yang baik ini mengasihi kita.
Alasan pertama besarnya kasih Maria kepada manusia adalah besarnya kasihnya kepada Allah; kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama ada dalam perintah yang sama, sebagaimana dinyatakan St Yohanes, “Perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya” (1 Yohanes 4:21); sehingga jika yang satu bertambah yang lain juga bertambah. Apakah yang tidak dilakukan para kudus bagi sesama sebagai konsekuensi dari kasih mereka kepada Allah! Bacalah kisah karya misioner St Fransiskus Xaverius di India, di mana, demi menolong jiwa-jiwa kaum barbar yang malang ini dan menghantar mereka kepada Allah, ia mempertaruhkan nyawa menghadapi ribuan mara-bahaya, mendaki pegunungan dan mencari makhluk-makhluk malang ini dalam gua-gua di mana mereka tinggal bagai binatang-binatang liar. Lihatlah St Fransiskus de Sales, yang, demi mempertobatkan kaum bidaah dari propinsi Chablais, mempertaruhkan hidup setiap pagi, sepanjang satu tahun penuh, merangkak dengan kedua tangan dan kaki di atas balok beku, agar ia dapat berkhotbah kepada mereka yang ada di sisi seberang sungai; St Paulinus, yang menyerahkan dirinya sebagai budak belian, agar ia dapat memperolehkan kebebasan bagi putera seorang janda malang; St Fidelis, yang, demi menarik kaum bidaah di suatu tempat kepada Allah, tekun pergi berkhotbah kepada mereka, kendati ia tahu itu membahayakan nyawanya. Jadi, para kudus, sebab mereka sangat mengasihi Allah, berbuat banyak demi sesama; akan tetapi siapakah gerangan yang pernah mengasihi Allah sebesar Maria. Maria terlebih mengasihi Allah sejak dari saat pertama kehadirannya dibandingkan segenap para kudus dan para malaikat pernah mengasihinya, atau akan pernah mengasihinya; tetapi ini akan kami jelaskan panjang lebar ketika membahas keutamaan-keutamaannya. Bunda Maria sendiri menyingkapkan kepada Suster Maria Tersalib bahwa api kasih kepada Allah yang membakarnya adalah begitu rupa, hingga andai surga dan bumi di tempatkan di dalamnya, maka keduanya akan serta merta terbakar; hingga semangat serafim, dibandingkan dengannya, hanyalah sekedar bagai angin sepoi-sepoi. Dan sebagaimana di antara segenap roh-roh terberkati tak ada satupun yang mengasihi Allah lebih dari Maria, demikian pula tidak ada atau tidak pernah dapat ada seseorang yang, sesudah Allah, mengasihi kita sebesar Bunda yang paling penuh kasih sayang ini; dan jika kita menghimpun segenap kasih para ibu kepada anak-anaknya, kasih para suami dan para isteri kepada pasangannya, semua kasih para malaikat dan para kudus kepada mereka yang dibelanya, maka itu pun tak setara dengan kasih Maria terhadap suatu jiwa tunggal. Pater Nieremberg mengatakan bahwa kasih yang pernah ada dari segenap para ibu untuk anak-anaknya hanyalah sekedar bayangan dibandingkan kasih Maria kepada masing-masing kita; dan ia menambahkan, bahwa Maria saja yang mengasihi kita lebih dari kasih segenap para malaikat dan para kudus dihimpun menjadi satu.
Di samping itu, Bunda kita sungguh mengasihi kita, sebab kita dihantarkan kepadanya oleh Yesusnya terkasih, ketika Ia sebelum wafat mengatakan kepadanya: Perempuan, lihatlah anakmu! sebab kita semua diwakili dalam pribadi St Yohanes, sebagaimana telah kita bicarakan. Inilah kata-kata terakhir-Nya; dan perkataan terakhir yang diucapkan sebelum meninggal oleh orang yang kita kasihi selalu dijunjung tinggi dan tak pernah dilupakan.
Tetapi lagi, kita sungguh amat terkasih bagi Maria sebab penderitaan yang kita timbulkan atasnya. Para ibu pada umumnya terlebih mengasihi anak-anak yang kelangsungan hidupnya mengakibatkan paling banyak penderitaan dan kekhawatiran; kita adalah anak-anak yang demikian bagi siapa Maria, demi mendapatkan bagi kita hidup rahmat, harus menanggung dukacita pahit mempersembahkan Yesusnya yang terkasih untuk mati secara keji, dan juga harus melihat-Nya mati di hadapan matanya sendiri di tengah siksa aniaya yang paling keji seperti yang belum pernah dan tidak akan pernah ada lagi. Pada waktu itulah dengan persembahan luar biasa Maria ini kita dilahirkan kepada hidup rahmat; karenanya kita adalah anak-anaknya yang sungguh terkasih, sebab kita mengakibatkan dukacita yang begitu dahsyat atasnya. Dan demikianlah, sebagaimana ditulis mengenai kasih Bapa yang Kekal kepada manusia dalam menyerahkan Putranya Sendiri pada kematian bagi kita: “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal” (Yohanes 3:16). “Demikian juga,” kata St Bonaventura, “dapat kita katakan mengenai Maria, bahwa begitu besar kasihnya kepada kita sehingga ia telah mengaruniakan Anaknya yang tunggal.” Dan bilamanakah ia menyerahkan-Nya? Maria menyerahkannya, kata Pater Nieremberg, ketika ia memberi-Nya persetujuan untuk memberikan Diri-Nya sampai mati; ia memberikan-Nya kepada kita, ketika, sementara yang lain tidak melakukannya, entah karena dengki atau karena takut, ia sendiri dapat saja memohonkan pengampunan bagi nyawa Putranya di hadapan para hakim. Nah, dapat diandaikan bahwa perkataan dari seorang bunda yang begitu bijaksana dan penuh kasih sayang akan memberikan pengaruh besar, setidaknya pada Pilatus, dan dapat mencegahnya menjatuhkan hukuman mati kepada Orang yang ia tahu dan telah maklumkan sebagai tak bersalah. Akan tetapi, tidak, Maria tak hendak mengatakan sepatah kata pun demi membela Putranya, sebab jangan-jangan ia dapat mencegah kematian di mana keselamatan kita tergantung. Pada akhirnya, ia memberikan Yesus kepada kita beribu-ribu kali, sepanjang tiga jam sakrat maut yang mendahului ajal-Nya, dan yang dilewatkannya di kaki salib; sebab sepanjang waktu itu ia tiada henti mempersembahkan, dengan dukacita yang dahsyat dan kasih yang hebat, hidup Putranya demi kita, dan ini dilakukan dengan ketegaran hati begitu rupa, hingga St Anselmus dan St Antonius mengatakan, bahwa andai para algojo menghendaki, ia sendiri yang akan menyalibkan-Nya, demi mentaati Bapa yang Kekal yang menghendaki kematian-Nya demi keselamatan kita. Jika Abraham memiliki keberanian yang begitu ksatria hingga siap untuk mengurbankan hidup puteranya dengan tangannya sendiri, maka dengan keberanian yang jauh lebih ksatria Maria (yang jauh lebih kudus dan taat dibandingkan Abraham) akan mengurbankan hidup Putranya. Tetapi marilah kita kembali ke permenungan akan hutang syukur terima kasih kita kepada Maria, atas tindak kasih yang begitu agung luhur pula dukacita pahit dalam mengurbankan hidup Putranya, yang ia lakukan demi memperolehkan keselamatan kekal bagi kita semua. Allah dengan berlimpah mengganjari Abraham atas kurban yang ia persiapkan atas Ishak puteranya; akan tetapi kita, balasan apakah gerangan yang dapat kita berikan kepada Maria atas hidup Yesusnya, Putra yang jauh lebih agung dan terkasih dibandingkan putera Abraham? “Kasih Maria ini,” kata St Bonaventura, “sungguh mewajibkan kita untuk mengasihinya; sebab kita lihat bahwa ia mengungguli semua yang lain dalam kasih kepada kita, sebab ia telah memberikan Putra tunggalnya, yang ia kasihi lebih dari nyawanya sendiri, bagi kita.”
Dari sini muncul suatu alasan lain dari kasih Maria kepada kita; sebab dalam kita ia melihat apa yang telah ditebus dengan harga wafat Yesus Kristus. Jika seorang ibu tahu bahwa seorang hamba telah ditebus oleh seorang putera terkasih dengan harga duapuluh tahun penjara dan penderitaan, betapa ia akan menghargai hamba itu hanya demi alasan ini! Maria tahu benar bahwa Putranya datang ke dalam dunia hanya demi menyelamatkan kita makhluk-makhluk malang, seperti yang Ia Sendiri maklumkan: “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Lukas 19:10). Dan demi menyelamatkan kita, Ia suka hati bahkan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita, “Telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati” (Filipi 2:8). Jadi, andai kasih Maria kepada kita hanya sedikit saja, maka itu menunjukkan bahwa ia sedikit saja menghargai darah Putranya, yang adalah harga keselamatan kita. Kepada St Elizabeth dari Hungaria diwahyukan bahwa Maria, sejak dari saat ia tinggal di Bait Allah, tiada melakukan yang lain selain dari berdoa bagi kita, memohon agar Allah bersegera dalam mengutus PutraNya ke dalam dunia demi menyelamatkan kita. Dan betapa terlebih lagi kita patut berpikir bahwa ia mengasihi kita, sekarang setelah ia melihat bahwa kita dihargai sedemikian tinggi oleh Putranya, hingga Ia tidak memandang rendah untuk menebus kita dengan harga yang sedemikian.
Sebab segenap umat manusia telah ditebus oleh Yesus, maka Maria mengasihi dan melindungi mereka semua. Maria-lah yang dilihat St Yohanes dalam Wahyu, berselubungkan matahari: “Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari” (Wahyu 12:1). Dikatakan bahwa ia berselubungkan matahari, sebab sebagaimana tak ada suatu pun di bumi yang terlindung dari panas matahari - “Tidak ada yang terlindung dari panas sinarnya” (Mazmur 19:6). Demikianlah, tak ada satupun yang hidup yang dapat terasing dari kasih Maria. Dari panas sinarnya, yakni, seperti kata Beato Raymond Jordano, “dari kasih Maria”. “Dan siapakah gerangan,” seru St Antoninus, “dapat pernah menyampaikan suatu gambaran akan kelemah-lembutan dengan mana bunda yang paling penuh kasih sayang ini memelihara kita semua, mempersembahkan dan mencurahkan belas kasihannya kepada tiap-tiap orang”; sebab Bunda kita yang baik menghendaki keselamatan semua orang, dan berperan-serta dalam memperolehkannya. “Jelas” kata St Bernardus, “bahwa ia peduli terhadap segenap umat manusia”. Demikianlah kebiasaan dari sebagian orang yang dibela Maria, seperti dikatakan Cornelius a Lapide, yang terdiri dari memohon kepada Tuhan kita untuk menganugerahkan kepada mereka rahmat-rahmat yang dimohonkan Bunda Maria bagi mereka, sungguh berhasil dengan berdaya-guna. Mereka katakan, Tuhan, anugerahilah aku apa yang dimohonkan Santa Perawan Maria bagiku. “Dan tak heran,” tambah penulis yang sama, “sebab Bunda kita menginginkan bagi kita hal-hal yang terlebih baik dari yang mungkin dapat kita inginkan bagi diri kita sendiri”. Bernardine de Bustis yang saleh mengatakan bahwa Maria “suka melakukan yang baik bagi kita, dan mencurahkan rahmat-rahmat kepada kita jauh lebih berlimpah dari yang dapat kita harap menerimanya”. Mengenai ini Beato Albertus Agung mengenakan kepada Maria kata-kata dari Kitab kebijaksanaan: “Ia sendiri berkeliling mencari orang yang patut baginya, dan dengan rela memperlihatkan diri kepada mereka” (6:16). Maria mendahului mereka yang datang memohon pertolongannya dengan membuat mereka menemukannya sebelum mereka sendiri mencarinya. “Kasih Bunda yang baik ini kepada kita begitu hebat,” kata Richard dari St Laurentius, “hingga begitu ia mengetahui kerinduan kita, ia datang untuk menolong kita. Ia datang sebelum dipanggil.”
Dan sekarang, jika Maria begitu baik kepada semua orang, bahkan kepada yang durhaka dan acuh tak acuh, yang sedikit saja mengasihinya dan jarang datang memohon pertolongannya, betapa terlebih lagi kasihnya kepada mereka yang mengasihinya dan kerap berseru kepadanya! Ia mudah ditemukan oleh mereka yang mencarinya (bdk Kebijaksanaan Salomo 6:12). “Oh, betapa mudah,” tambah Beato Albertus, “bagi mereka yang mengasihi Maria untuk menemukannya, dan untuk mendapatkan kepenuhan belas kasihan dan cintanya!” Dalam kata-kata Kitab Amsal: “Aku mengasihi orang yang mengasihi aku” (8:17), ia menyatakan bahwa ia tak dapat melakukan yang lain selain dari mengasihi mereka yang mengasihinya. Dan meski Bunda yang paling penuh kasih sayang ini mengasihi segenap umat manusia sebagai anak-anaknya, namun, kata St Bernardus, “ia mengakui dan mengasihi,” yakni bahwa ia mengasihi daengan suatu cara yang terlebih istimewa, mereka yang mengasihinya dengan terlebih sungguh. Beato Raymond Jordano menegaskan bahwa para kekasih Maria yang berbahagia ini tak hanya dikasihi melainkan bahkan dilayani olehnya, sebab ia mengatakan bahwa mereka yang mendapatkan Santa Perawan Maria, mendapatkan segalanya; sebab ia mengasihi mereka yang mengasihinya, terlebih lagi, ia melayani mereka yang melayaninya.
Dalam catatan Ordo St Dominikus dikisahkan bahwa seorang dari para biarawan bernama Leonardus biasa mempersembahkan diri duaratus kali sehari kepada Bunda Kerahiman ini, dan ketika ia diserang penyakitnya yang terakhir, ia melihat seorang ratu yang teramat cantik di sampingnya, yang berkata kepadanya: “Leonardus, adakah engkau akan mati, dan datang dan tinggal bersama Putraku dan bersamaku?” “Dan siapakah engkau?” tanyanya. “Aku,” katanya yang ternyata adalah Santa Perawan, “Aku adalah Bunda Kerahiman. Engkau telah berulang kali berseru kepadaku, lihatlah, aku sekarang datang untuk menjemputmu; marilah kita pergi bersama ke Firdaus.” Pada hari yang sama Leonardus wafat, dan, sebagaimana kita percaya, mengikutinya ke kerajaan mereka yang terberkati.
“Ah, Maria yang termanis!” seru Venerabilis Yohanes Berchmans dari Serikat Yesus, “diberkatilah dia yang mengasihi engkau! Apabila aku mengasihi Maria, aku yakin akan keteguhan hati, dan akan mendapatkan apapun yang aku inginkan dari Allah.” Sebab itu pemuda saleh ini tiada kenal lelah memperbaharui tekadnya dan seringkali mengulang kepada dirinya sendiri: “Aku akan mengasihi Maria; aku akan mengasihi Maria.”
O, betapa kasih dari Bunda yang baik ini jauh mengungguli kasih dari segenap anak-anaknya! Biarlah mereka mengasihinya sebanyak yang mereka kehendaki; di antara para kekasih Maria senantiasa yang paling penuh kasih, kata St Ignatius Martir.
Biarlah mereka mengasihinya seperti St Stanislaus Kostka yang mengasihi bunda terkasih ini dengan begitu sungguh, hingga apabila berbicara mengenainya, ia menggerakkan semua yang mendengar untuk mengasihi Maria. Ia menciptakan kata-kata baru dan gelar-gelar baru untuk menghormati namanya. Ia tiada pernah melakukan sesuatu tanpa terlebih dahulu mengarahkan pandangannya pada Santa Perawan untuk memohon berkatnya. Apabila ia mendaraskan ofisi, Rosario, atau doa-doa lain, ia melakukannya dengan tanda-tanda kasih lahiriah yang sama sebagaimana akan ia lakukan apabila ia berbicara dari muka ke muka dengan Maria; apabila Salve Regina dimadahkan, seluruh jiwanya, dan bahkan seluruh wajahnya, sepenuhnya bercahaya karena kasih. Suatu hari ia ditanya oleh Pater Serikat yang sedang pergi bersamanya untuk mengunjungi sebuah lukisan Santa Perawan, betapa banyak ia mengasihi Maria, - “Pater,” jawabnya, “apalah lagi yang dapat aku katakan? Ia adalah Bundaku.” “Tetapi,” tambah sang Pater, “pemuda kudus ini mengucapkan kata-katanya dengan kasih sayang begitu rupa dalam suaranya, dengan ekspresi wajah begitu rupa, dan sekaligus perkataannya sepenuhnya berasal dari lubuk hatinya, hingga tak lagi tampak seorang pemuda, melainkan seorang malaikat yang sedang berbicara mengenai mengasihi Maria.”
Marilah kita mengasihi Maria seperti Beato Herman mengasihinya. Ia menyebut Maria sebagai Mempelai kasihnya, sebab ia dihormati oleh Maria sendiri dengan sebutan yang sama. Marilah kita mengasihi Maria seperti St Filipus Neri, yang dipenuhi penghiburan begitu memikirkan Maria, dan karenanya menyebut Maria sebagai sukacitanya. Marilah kita mengasihi Maria seperti St Bonaventura, yang menyebut Maria tidak saja Ratunya dan Bundanya, melainkan demi menunjukkan kedalaman kasih sayangnya, bahkan menyebutnya sebagai hati dan jiwanya: “Salam, Ratuku, Bundaku; terlebih lagi, hatiku, jiwaku!”
Marilah kita mengasihi Maria seperti pencinta agung Maria, St Bernardus, yang mengasihi Bunda yang termanis ini begitu rupa hingga ia menyebut Maria sebagai penawan hati; dan untuk mengungkapkan kasihnya yang berkobar kepadanya, menambahkan “sebab bukankah engkau telah menawan hatiku, ya Ratu?”
Marilah kita menyebut Maria sebagai yang terkasih, seperti St Bernardine dari Sienna, yang setiap hari pergi mengunjungi sebuah lukisan devosi Maria, dan di sana, dalam percakapan penuh kasih sayang dengan Ratunya, menyatakan kasihnya; dan ketika ditanya kemanakah ia pergi setiap hari, ia menjawab bahwa ia pergi untuk mengunjungi kekasih hatinya.
Marilah kita mengasihi Maria seperti St Aloysius Gonzaga, yang kasihnya kepada Maria bernyala-nyala tiada henti, hingga bilamana ia mendengar nama manis Bundanya disebut, hatinya serta-merta berkobar, dan wajahnya menyala dengan api yang terlihat oleh semua orang.
Marilah kita mengasihi Maria sedalam St Fransiskus Solano yang, begitu gila (tetapi dengan kegilaan kudus), karena kasih kepada Maria, akan menyanyi di hadapan lukisannya, dan dengan mengiringi dirinya dengan alat musik, mengatakan bahwa, seperti para kekasih duniawi, ia menyanyi untuk Ratunya yang termanis.
Akhirnya, marilah kita mengasihi Maria seperti begitu banyak abdinya mengasihinya, yang tiada pernah dapat merasa cukup melakukan sesuatu untuk menunjukkan kasih mereka. Pater Yohanes dari Trexo, dari Serikat Yesus, bersukacita dalam nama hamba sahaja Maria; dan sebagai tanda pengabdiannya, kerap pergi mengunjungi Maria di beberapa gereja yang dipersembahkan demi menghormati Maria. Setibanya di gereja ia mencurahkan banjir air mata kasih sayang dan cinta kepada Maria; lalu, prostratio, ia menjilati dan menyapu lantai dengan lidah dan wajahnya, menciuminya beribu kali sebab itu adalah rumah Bundanya terkasih. Pater James Martinez dari Serikat Yesus, yang karena devosinya kepada Bunda Maria pada perayaan-perayaan Maria dibawa oleh para malaikat ke surga untuk melihat bagaimana mereka merayakannya di sana, biasa mengatakan, “Bilakah aku memiliki hati segenap para malaikat dan para kudus, untuk mengasihi Maria sebagaimana mereka mengasihinya - bilakah aku memiliki hidup segenap manusia, untuk menyerahkan semuanya demi kasih kepadanya!”
Wahai yang lain akan datang mengasihi Maria seperti Charles, putera St Brigitta, yang mengatakan bahwa tiada suatupun di dunia yang dapat menghiburnya begitu rupa seperti pengertian bahwa Maria begitu dikasihi oleh Allah. Dan ia menambahkan, bahwa ia akan lebih suka dan rela menanggung setiap aniaya daripada membiarkan Maria kehilangan barang sedikit pun tingkat kemuliaannya, andai hal yang demikian mungkin; dan andai kemuliaan Maria adalah miliknya, maka ia akan mengingkarinya demi Maria, sebab ia jauh dari layak untuk itu.
Lebih lagi, marilah kita rindu menyerahkan hidup kita sebagai suatu kesaksian akan kasih kita kepada Maria, seperti yang rindu dilakukan Alfonsus Rodriguez. Marilah kita mengasihi Maria seperti mereka yang bahkan menorehkan nama terkasih Maria pada dada mereka dengan peralatan tajam, seperti yang dilakukan Francis Binanzio dan Radagundis, isteri Raja Clothaire, atau seperti mereka yang dapat menuliskan nama terkasih ini pada daging mereka dengan besi panas, agar nama itu dapat tinggal lebih nyata selamanya; seperti yang dilakukan para abdi Maria yang saleh Baptist Archinto dan Augustine d'Espinosa, keduanya dari Serikat Yesus, yang didorong melakukannya oleh kasih mereka yang berkobar-kobar.
Singkat kata, marilah kita melakukan atau rindu melakukan semua yang mungkin dilakukan seorang kekasih yang bermaksud membuat cinta kasihnya diketahui oleh orang yang dikasihinya. Sebab yakinlah bahwa para kekasih Maria tidak akan pernah dapat menyamai Maria dalam kasih. “Aku tahu, ya Bunda,” kata St Petrus Damianus, “bahwa engkau yang paling penuh kasih sayang, dan bahwa engkau mengasihi kami dengan kasih yang tak tertandingi.” Aku tahu, Bundaku, bahwa di antara mereka yang mengasihimu, engkau yang paling mengasihi, dan bahwa engkau mengasihi kami dengan kasih yang tak pernah dapat diungguli siapapun.
Beato Alfonsus Rodriguez dari Serikat Yesus suatu hari prostratio di hadapan sebuah patung Maria, merasakan hatinya terbakar dengan kasih terhadap Santa Perawan tersuci ini, ia meledak dalam seruan berikut: “Bundaku terkasih, aku tahu bahwa engkau mengasihiku, tetapi engkau tidak mengasihiku sebanyak aku mengasihimu.” Maria, seolah tersinggung, segera menjawab dari patung: “Apakah yang engkau katakan, Alfonsus - apakah yang engkau katakan? O, betapa jauh lebih dahsyat kasihku kepadamu dibandingkan kasih apapun yang dapat engkau berikan kepadaku! Ketahuilah bahwa beda jarak antara surga dan bumi tidaklah sebesar beda antara kasihku dan kasihmu.”
Jadi, St Bonaventura benar ketika ia berseru: Terberkatilah mereka yang memiliki kemujuran menjadi para abdi setia dan kekasih dari Bunda yang paling penuh kasih sayang ini. “Terberkatilah hati mereka yang mengasihi Maria; terberkatilah mereka yang dengan penuh kasih sayang berdevosi kepadanya.” Ya; sebab “dalam upaya ini Ratu kita yang paling lembut hati tiada pernah membiarkan mereka yang dibelanya mengalahkannya dalam hal kasih. Ia membalas kasih dan penghormatan kita, dan senantiasa meningkatkan rahmat-rahmatnya yang sudah-sudah dengan rahmat-rahmat yang baru.” Maria, meneladani Penebus kita yang paling penuh kasih sayang Yesus Kristus, membalas berlipat ganda kepada mereka yang mengasihinya dengan rahmat dan berkat.
Maka aku akan berseru bersama St Anselmus yang tergila-gila, “Kiranya hatiku memudar dan jiwaku meleleh dan dilahap habis oleh kasihmu, ya Juruselamatku terkasih Yesus dan Bundaku tersayang Maria! Tetapi, sebab tanpa rahmat-Mu aku tiada dapat mengasihi-Mu, maka anugerahilah aku, ya Yesus dan Maria, anugerahilah jiwaku, dengan jasa-jasamu dan bukan jasa-jasaku, rahmat untuk mengasihimu sebagaimana Engkau patut dikasihi. Ya Allah, Kekasih sejati manusia, Engkau berkenan mengasihi manusia yang berdosa bahkan hingga mati. Dan dapatkah Engkau mengingkari kasih-Mu dan kasih BundaMu kepada mereka yang memohonnya?”
Teladan
Pater Auriemma mengisahkan bahwa adalah seorang gadis penggembala miskin, yang satu-satunya kesukaan hatinya adalah pergi ke sebuah kapel kecil Bunda Maria yang terletak di sebuah bukit, dan di sana, sementara kawanan ternaknya merumput, ia bercakap-cakap dengan Bundanya terkasih dan menyampaikan hormat kepadanya. Melihat sebuah patung kecil Maria (yang diukirkan dalam sebuah relief) tanpa hiasan, ia mulai bekerja untuk membuatkan sebuah mantol bagi Maria. Suatu hari, setelah mengumpulkan bunga-bungaan di padang, ia membuat sebuah karangan bunga, memanjat altar kapel kecil itu dan menempatkan karangan bunga di atas kepala patung sembari mengatakan, “Bundaku, aku ingin menempatkan sebuah mahkota dari emas dan batu-batu berharga di atas kepalamu, tetapi, karena aku miskin, terimalah mahkota bunga ini dan terimalah sebagai tanda kasihku kepadamu.” Dengan kata-kata ini dan tindak hormat lainnya, gadis saleh ini selalu berupaya melayani dan menghormati Bunda kita terkasih. Sekarang marilah kita lihat bagaimana Bunda yang baik dari pihaknya mengganjari kunjungan-kunjungan dan kasih sayang puterinya ini. Si gadis gembala jatuh sakit dan di ambang ajal. Terjadilah bahwa dua orang religius sedang lewat di sana dan, leith karena perjalanan jauh, duduk di bawah sebuah pohon untuk beristirahat: yang seorang tertidur sementara yang lain tetap terjaga; tetapi keduanya mendapatkan penglihatan yang sama. Mereka melihat suatu himpunan besar perempuan-perempuan yang teramat cantik, dan di antara mereka ada seorang yang kecantikan dan keagungannya jauh melebihi yang lain. Salah seorang religius bertanya kepadanya: “Nona, siapakah engkau, dan ke manakah engkau hendak pergi melewati jalanan yang sulit ini?” “Aku,” jawabnya, “adalah Bunda Allah, dan aku bersama para perawan kudus ini sedang dalam perjalanan ke sebuah gubuk dekat sini untuk mengunjungi seorang gadis gembala yang sedang di ambang ajal yang telah begitu sering mengunjungiku.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, semuanya lenyap. Seketika itu juga kedua abdi Allah yang saleh ini berkata, “Marilah kita pergi juga untuk menjenguknya.” Mereka segera berangkat dan setelah menemukan gubuk sang perawan yang sekarat itu, mereka masuk dan mendapatinya terbaring di atas sebuah tikar jerami kecil. Mereka menyalaminya dan ia berkata, “Saudara-saudara, mohonlah kepada Tuhan kita untuk mengijinkan kalian melihat rombongan yang membantuku.” Segera mereka berlutut dan melihat Maria di samping gadis penggembala, dengan sebuah mahkota di tangannya dan menghiburnya. Serentak para perawan mulai menyanyi dan begitu mendengar madah merdu ini jiwa terberkati gadis kecil itu meninggalkan tubuhnya. Maria menempatkan mahkota di atas kepalanya, membawa jiwanya, membimbingnya bersamanya menuju Firdaus. (Kisah ini amat mirip dengan riwayat hidup dan wafat St Germaine Cousin, wafat pada tahun 1601 di Pibrac, dekat Toulouse, dalam usia duapuluh dua tahun, dibeatifikasi pada tanggal 7 Mei 1854 dan dikanonisasi pada tanggal 29 Juni 1867.-ED.)
Doa
Ya Bunda, ya pemikat hati! Aku hendak berseru bersama St Bonaventura: “Bunda, yang dengan kasih dan rahmat yang engkau tunjukkan kepada para abdimu telah memikat hati mereka, pikatlah juga hatiku yang malang, yang kerinduannya yang membara adalah mengasihimu. Engkau, Bundaku, telah memikat Allah dengan kecantikanmu, dan menarik-Nya turun dari surga ke dalam rahimmu yang perawan; dan haruskah aku hidup tanpa mengasihimu? Tidak, akan aku katakan kepadamu bersama salah seorang dari puteramu yang paling terkasih, Yohanes Berchmans dari Serikat Yesus, bahwa aku tiada akan pernah beristirahat hingga aku yakin telah mendapatkan kasihmu; tetapi kasih yang teguh dan lemah-lembut terhadapmu, Bundaku, yang telah mengasihiku dengan begitu berlimpah kasih sayang, bahkan ketika aku masih tak tahu berterima kasih kepadamu. Dan apalah jadinya aku sekarang, ya Maria, andai engkau tidak memperolehkan begitu banyak belas kasihan bagiku? Jadi, sebab engkau telah mengasihiku begitu hebat ketika aku tidak mengasihimu, betapa sekarang aku dapat jauh lebih berharap darimu, sekarang setelah aku mengasihimu? Aku sungguh mengasihimu, ya Bundaku, dan aku ingin memiliki hati untuk mengasihimu sebagai ganti semua makhluk malang yang tidak mengasihimu. Aku ingin aku dapat berbicara dengan seribu lidah, agar semua orang tahu kebesaranmu, kekudusanmu, kerahimanmu, dan kasih dengan mana engkau mengasihi semua yang mengasihimu. Andai aku kaya-raya, aku akan mengupah mereka semua untuk menghormatimu. Andai aku mempunyai rakyat, aku akan membuat mereka semua menjadi kekasihmu. Singkat kata, andai ada kesempatan aku rela menyerahkan nyawaku demi kemuliaanmu. Aku mengasihimu, ya Bundaku; akan tetapi sekaligus aku takut bahwa aku tidak mengasihimu seperti yang sepantasnya; sebab aku mendengar bahwa kasih menjadikan kekasih seperti orang yang dikasihinya. Jadi, jika aku melihat diriku begitu jauh dari serupa denganmu, itu adalah tanda bahwa aku tidak cukup mengasihimu. Engkau begitu murni, sementara aku cemar dengan banyak dosa; engkau begitu rendah hati, sementara aku begitu angkuh; engkau begitu kudus, sementara aku begitu jahat. Jadi, inilah yang perlu engkau lakukan ya Maria; sebab engkau mengasihiku, jadikan aku serupa denganmu. Engkau memiliki segala kuasa untuk mengubah hati; jadi, ambillah hatiku dan ubahlah. Tunjukkan kepada dunia apa yang dapat engkau dapat lakukan bagi mereka yang mengasihimu. Jadikan aku seorang kudus; jadikan aku anakmu yang pantas. Inilah pengharapanku.
IV. Maria adalah Bunda para pendosa yang bertobat
Bunda Maria mengatakan kepada St Brigitta bahwa ia adalah Bunda bukan saja bagi mereka yang adil dan benar, melainkan juga bagi para pendosa, asalkan mereka bersedia bertobat. Oh, betapa segera seorang pendosa (yang rindu untuk berubah, dan yang tersungkur di hadapan kakinya) mendapati Bunda yang baik ini memeluk dan menolong mereka, jauh terlebih penuh kasih mesra dibandingkan ibu duniawi manapun! St Gregorius VII menulis mengenai hal ini kepada Puteri Matilda, mengatakan: “Berbulat-hatilah untuk tidak berbuat dosa lagi, dan aku berani janjikan bahwa tak diragukan lagi engkau akan mendapati Maria terlebih siap untuk mengasihimu dibandingkan ibu duniawi manapun.”
Akan tetapi barangsiapa rindu menjadi anak dari Bunda yang agung ini, haruslah pertama-tama meninggalkan dosa, dan baru dapat berharap untuk diterima sebagai anak. Richard dari St Laurentius, menggunakan kata-kata Amsal, “Anak-anaknya bangun” (Amsal 31:28), menyatakan bahwa kata “anak-anak” dan “bangun” menunjukkan bahwa tak seorang pun dapat menjadi anak Maria tanpa terlebih dahulu berupaya bangun dari kesalahan ke dalam mana ia telah terjerumus; sebab ia yang ada dalam dosa berat tidak layak disebut anak dari Bunda yang demikian. Dan St Petrus Chrysologus mengatakan bahwa ia yang bertindak dengan cara yang berbeda dari Maria, dengan tindakannya itu ia menyatakan bahwa ia tak hendak menjadi anaknya. “Ia yang tak meneladani bundanya, mengingkari keturunannya.” Maria rendah hati, sementara ia angkuh; Maria murni, sementara ia jahat; Maria penuh kasih sayang, sementara ia menaruh dengki pada sesama. Dengan demikian ia membuktikan bahwa ia bukan, dan tak hendak menjadi, anak dari Bunda Tersuci ini. Anak-anak Maria, kata Richard dari St Laurentius, mengikuti teladannya, dan ini terutama dalam tiga hal: dalam “kemurnian, cinta kasih, dan kerendahan hati; dan juga dalam kelemah-lembutan, belas kasihan, dan hal-hal semacam itu.”
Sementara menyakiti hatinya dengan mengamalkan hidup yang jahat, siapakah yang berani berharap untuk menjadi anak Maria? Seroang pendosa suatu ketika mengatakan kepada Maria, “Tunjukkanlah dirimu sebagai seorang Bunda;” tetapi Santa Perawan menjawab, “Tunjukkanlah dirimu sebagai seorang anak.” Yang lain berseru kepada Bunda Allah, menyebutnya Bunda Kerahiman, dan Maria menjawab: “Kalian para pendosa, saat membutuhkan pertolonganku, kalian menyebutku Bunda Kerahiman, tetapi pada saat yang sama kalian tidak berhenti menjadikanku Bunda Dukacita dan Derita dengan dosa-dosa kalian.” Terkutuklah oleh Tuhan orang yang menyusahkan ibunya (Sirakh 3:16); “Dan itu adalah Maria,” kata Richard dari St Laurentius. Tuhan mengutuk mereka yang dengan hidup mereka yang jahat, dan terlebih lagi dengan kedegilan mereka dalam dosa, menyengsarakan Bunda yang penuh kasih sayang ini.
Aku katakan, dengan kedegilan mereka; sebab jika seorang pendosa, meski ia belum meninggalkan dosa, tetapi berupaya melakukannya, dan untuk ini memohon pertolongan Maria, maka Bunda yang baik ini pasti akan menolongnya, dan membuat rahmat Allah pulih dalam dirinya. Dan tepat inilah yang didengar St Brigitta suatu hari dari bibir Yesus Kristus, yang, berbicara kepada BundaNya, mengatakan, “Engkau menolong barangsiapa yang berupaya kembali kepada Allah, dan penghiburanmu tiada pernah berkekurangan bagi siapapun.” Jadi, sepanjang seorang pendosa bertegar hati, Maria tak dapat mengasihinya; tetapi jika ia (mendapati diri dibelenggu oleh hasrat nafsu yang menjadikannya budak neraka) berserah diri pada Santa Perawan, dan memohon kepadanya, dengan penuh kepercayaan dan keteguhan hati, untuk menariknya dari keadaan dosa di mana ia berada, tak diragukan lagi bahwa Bunda yang baik ini akan mengulurkan tangannya yang berdaya kuasa kepadanya, akan membebaskannya dari belenggu, dan menghantarnya ke keselamatan.
Ajaran bahwa semua doa dan karya yang dilakukan dalam keadaan dosa adalah dosa, dikutuk sebagai sesat oleh Konsili suci Trente. St Bernardus mengatakan bahwa kendati doa dari mulut seorang pendosa tiada memiliki keindahan, sebab tidak disertai cinta kasih, namun tetap berguna dan mendatangkan rahmat untuk meninggalkan dosa; sebab, sebagaimana diajarkan St Thomas, doa seorang pendosa, meski tak layak, merupakan suatu tindakan yang mendatangkan rahmat pengampunan, sebab kuasa permohonan didasarkan bukan pada kelayakan orang yang memintanya, melainkan pada kebajikan ilahi, dan jasa-jasa serta janji-janji Yesus Kristus yang bersabda, “Setiap orang yang meminta, menerima” (Lukas 11:10). Hal yang sama berlaku pada doa-doa yang dipanjatkan kepada Bunda Allah. “Jika ia yang berdoa,” kata St Anselmus, “tak layak didengarkan, maka kelayakan Bunda, kepada siapa ia menyerahkan dirinya, akan menjadi perantara yang ampuh.”
Oleh sebab itu, St Bernardus mendesak segenap pendosa untuk memohon pertolongan kepada Maria, berseru kepadanya dengan penuh kepercayaan; sebab meski pendosa sendiri tiada layak mendapatkan rahmat yang ia mohonkan, namun ia menerimanya juga, sebab Santa Perawan memohonkannya dan mendapatkannya dari Allah, karena kelayakannya. Inilah kata-katanya kepada seorang pendosa: “Sebab engkau sendiri tiada layak mendapatkan rahmat, maka rahmat diberikan kepada Maria, agar, melalui Maria, engkau dapat menerima semuanya.” “Jika seorang ibunda,” lanjut santo yang sama, “tahu bahwa kedua anaknya saling memendam dengki satu sama lain, dan bahwa satu sama lain menuntut nyawa saudaranya, maka tidakkah ia mengerahkan segala daya upaya demi mendamaikan mereka? Inilah tugas kewajiban seorang ibunda yang baik. “Dan demikianlah,” lanjut sang santo, “Maria bertindak; sebab ia adalah Bunda Yesus dan Bunda manusia. Apabila ia melihat seorang pendosa bersikap memusuhi Yesus Kristus, ia tak dapat tahan, dan melakukan segala daya upaya dalam kuasanya untuk mendamaikan keduanya. Ya Maria yang berbahagia, engkau adalah Bunda sang kriminal, dan Bunda sang hakim; dan sebagai Bunda dari keduanya, sebab mereka adalah anak-anakmu, engkau tiada dapat tahan akan permusuhan di antara mereka.”
Bunda yang paling lembut hati ini hanya meminta agar si pendosa berserah diri kepadanya dan berketetapan hati untuk berubah. Apabila Maria melihat seorang pendosa tersungkur di hadapan kakinya, memohon belas kasihannya, ia tiada mengingat-ingat kejahatan yang membebani si pendosa, melainkan niat dengan mana si pendosa datang; dan jika niat ini baik, bahkan meski si pendosa telah melakukan segala dosa yang mungkin, Bunda yang paling penuh kasih sayang ini akan memeluknya, dan tiada enggan menyembuhkan luka-luka jiwa si pendosa; sebab Maria tak hanya disebut Bunda Kerahiman, melainkan sungguh dan benar, dan membuktikan diri demikian adanya lewat segenap kasih dan kelembutan dengan mana ia menolong kita semua. Dan tepat inilah yang oleh Santa Perawan sendiri dikatakan kepada St Brigitta: “Betapa dahsyat seorang berdosa, aku siap untuk segera menyambutnya apabila ia bertobat; pula aku tiada mempedulikan banyaknya dosanya, melainkan peduli hanya pada niat dengan mana ia datang. Aku tiada enggan mengurapi dan menyembuhkan luka-lukanya; sebab aku disebut, dan sungguh, aku adalah Bunda Kerahiman.”
Maria adalah Bunda para pendosa yang rindu bertobat, dan sebagai bunda ia tiada dapat melakukan yang lain selain dari berbelas-kasihan kepada mereka; terlebih lagi, ia tampaknya merasakan kemalangan dari anak-anaknya yang malang seolah kemalangan itu adalah kemalangannya sendiri. Ketika perempuan Kanaan memohon Tuhan kita untuk membebaskan puterinya dari setan yang merasukinya, ia mengatakan “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita” (Matius 15:22). Tetapi karena puterinya, dan bukan si ibu, yang menderita, sebenarnya lebih tepat jika ia mengatakan, “Kasihanilah anakku perempuan, ya Tuhan” dan bukan “Kasihanilah aku, ya Tuhan”; tetapi tidak, ia mengatakan, “Kasihanilah aku, ya Tuhan,” dan ia benar; sebab penderitaan anak-anak dirasakan oleh ibu mereka seolah penderitaan si ibu sendiri. Dan jadi tepatlah demikian, kata Richard dari St Laurentius, bagaimana Maria berdoa kepada Allah ketika ia mempersembahkan seorang pendosa yang berserah diri kepadanya kepada Allah; Maria memohon demi jiwa yang berdosa ini, “Kasihanilah aku!” “Tuhan-ku,” demikian agaknya ia berkata, “jiwa malang yang berdosa ini adalah puteriku, dan karenanya, kasihanilah dia sebagaimana Engkau mengasihani aku, yang adalah Bundanya.”
Andai segenap pendosa memohon pertolongan kepada Bunda Termanis ini! sebab dengan demikian pastilah semuanya akan diampuni oleh Allah. “Ya Maria,” seru St Bonaventura dalam ketakjuban penuh sukacita, “engkau memeluk dengan kasih sayang keibuan seorang pendosa yang dipandang sebelah mata oleh seluruh dunia, pula engkau tiada meninggalkannya hingga engkau telah mendamaikan makhluk malang ini dengan Hakim-nya”; artinya bahwa si pendosa, sementara dalam keadaan dosa, dibenci dan dipandang hina oleh semua orang, bahkan oleh ciptaan yang tidak hidup; api, udara, dan bumi akan menghukumnya, dan menuntus balas atas kehormatan Allah mereka yang murka. Akan tetapi jika makhluk malang ini terbang kepada Maria, akankah Maria menolaknya? O, tidak: asalkan ia pergi kepada Maria untuk memohon pertolongan, dan untuk berubah, maka Maria akan memeluknya dengan kasih sayang seorang ibunda, dan tidak akan membiarkannya pergi, hingga, dengan perantaraannya yang berdaya kuasa, Maria mendamaikan kembali si pendosa dengan Allah, dan memulihkan kembali rahmat dalam diri si pendosa.
Dalam Kitab Kedua Samuel (14:5), kita membaca bagaimana seorang perempuan bijaksana bernama Tekoa menyampaikan kepada Raja Daud kata-kata berikut: “Tuanku, hambamu ini mempunyai dua orang anak laki-laki; dan betapa malang aku, anak yang satu membunuh yang lain, sehingga sekarang aku telah kehilangan seorang anak, sementara keadilan menuntut anak yang lain, satu-satunya yang masih tersisa. Kasihanilah ibu yang malang ini, dan janganlah kiranya membiarkan aku kehilangan keduanya.” Daud, tergerak oleh belas kasihan terhadap sang ibu, memaklumkan bahwa anak yang bersalah hendaknya dibebaskan dan diserahkan kepada ibunya. Maria tampaknya mengatakan hal yang sama ketika Allah murka terhadap seorang pendosa yang telah menyerahkan hidupnya kepada Maria. “Allahku,” katanya, “Aku mempunyai dua orang anak laki-laki, Yesus dan manusia; manusia mencabut nyawa Yesusku di salib, dan sekarang keadilan-Mu menuntut hukuman bagi yang bersalah. Ya Allah, Yesusku telah wafat, kasihanilah aku, dan jika aku telah kehilangan yang satu, jangan biarkan aku kehilangan yang lain juga.”
Sudah pasti Allah tak akan menghukum para pendosa yang memohon pertolongan Maria, dan bagi siapa Maria berdoa, sebab Ia Sendiri yang menyerahkan mereka kepada Maria sebagai anak-anaknya. Lanspergius yang saleh berasumsi Tuhan kita berbicara dalam perkataan berikut: “Aku menyerahkan semua, tetapi teristimewa para pendosa, kepada Maria, sebagai anak-anaknya, dan karenanya ia begitu giat dan begitu cermat dalam melaksanakan tugasnya, tak hendak membiarkan seorang pun dari mereka yang dipercayakan ke dalam tanggung jawabnya, dan khususnya mereka yang berseru kepadanya, binasa; melainkan sejauh yang dapat ia lakukan, membawa semuanya kepada-Ku.” “Dan siapakah gerangan yang dapat pernah mengatakan,” kata Blosius yang saleh, “kebaikan, kerahiman, belas kasihan, cinta kasih, kelemah-lembutan, pengampunan, kesetiaan, kemurahan hati, kasih sayang, dari Bunda Perawan ini kepada manusia? Begitu rupa hingga tiada kata-kata dapat mengungkapkannya.”
“Jadi,” kata St Bernardus, “marilah kita tersungkur di kaki Bunda yang baik ini, dan memeluknya, dan janganlah kita pergi hingga ia memberkati kita, dan dengan demikian menerima kita sebagai anak-anaknya.” Dan siapakah yang dapat pernah meragukan belas kasihan Bunda ini? St Bonaventura biasa mengatakan, “Bahkan andai ia mengambil naywaku, aku masih akan tetap berharap padanya; dan penuh kepercayaan, berharap untuk mati di hadapan patungnya, dan menjadi yakin akan keselamtan.” Dan beginilah hendaknya tiap-tiap pendosa menyapanya apabila ia datang memohon pertolongan kepada Bunda yang penuh belas kasihan ini; hendaknya ia mengatakan:
“Ratuku dan Bundaku, oleh sebab dosa-dosaku, adalah pantas bagiku jika engkau menolakku, dan bahkan sepatutnya engkau sendiri menghukumku seturut pelanggaran-pelanggaranku; tetapi andaipun engkau menolakku, atau bahkan mengambil nyawaku, aku akan tetap menempatkan kepercayaanku padamu, dan berharap dengan pengharapan yang teguh bahwa engkau akan menyelamatkanku. Dalam engkaulah segala kepercayaanku; hanya anugerahilah aku penghiburan untuk mati di hadapan lukisanmu, untuk menyerahkan diriku pada belas kasihanmu, maka aku akan yakin bahwa aku tidak akan binasa, melainkan aku akan pergi dan memuliakan engkau di surga, bersama dengan begitu banyak para abdimu yang meninggalkan dunia ini dengan memohon pertolonganmu, dan yang kesemuanya telah diselamatkan oleh perantaraanmu yang berdaya kuasa.” Bacalah teladan berikut, dan lalu katakan adakah barang seorang pendosa pun yang dapat meragukan kerahiman dan cinta kasih dari Bunda yang baik ini.
Teladan
Seorang pemuda bangsawan bernama Eskil dikirim oleh pangeran, ayahnya, ke Hildesheim, sebuah kota di Saxony, untuk menuntut ilmu; tetapi ia menyia-nyiakannya dengan hidup kacau. Sesudahnya ia sakit parah hingga ia menyambut Sakramen Terakhir. Semetnara dalam keadaan ini ia mendapatkan sebuah penglihatan: ia mendapati dirinya terkurung dalam sebuah tungku api yang bernyala-nyala, dan ia percaya ia telah berada di neraka; tetapi kemudian tampaknya ia berhasil meloloskan diri dari tungku lewat sebuah lubang, dan ia menyembunyikan diri di sebuah istana yang agung, dalam sebuah apartemen di mana ia melihat Santa Perawan Maria, yang mengatakan kepadanya: “Betapa lancang, engkau berani menampakkan diri di hadapanku? Menyingkirlah, dan pergilah ke api itu yang pantas bagimu.” Sang pemuda memohon kepada Santa Perawan untuk berbelas-kasihan kepadanya; dan kemudian ia berbicara kepada beberapa orang yang ada di sana, membujuk mereka untuk menyerahkannya kepada Maria. Mereka melakukannya, dan Bunda ilahi menjawab, “Tetapi kalian tidak tahu betapa ia telah melewatkan hidupnya dengan jahat, dan bahkan ia tidak berkenan menyalamiku dengan sebuah Salam Maria.” Para pembelanya menjawab: “Tetapi, Bunda, ia akan mengubah hidupnya”; dan pemuda itu menambahkan, “Ya, aku berjanji setulus hati untuk berubah, dan aku akan menjadi anakmu yang saleh.” Amarah Santa Perawan pun reda, dan ia berkata kepadanya, “Baiklah, aku terima janjimu; setialah kepadaku, dan sementara itu, dengan berkatku, engkau dibebaskan dari maut dan neraka.” Dengan kata-kata ini penglihatan pun lenyap. Eskil sadar kembali dan, dengan berkat kepada Maria, ia menceritakan kepada mereka yang lain rahmat yang telah ia terima: dan sejak dari saat itu ia mengamalkan hidup yang kudus, senantiasa memelihara devosi mendalam kepada Bunda Maria. Ia menjadi Uskup Agung Lunden di Swedia, di mana ia mempertobatkan banyak orang. Di akhir hidupnya, mengingat usianya, ia meninggalkan jabatan uskup agung dan menjadi seorang biarawan di Clairvaux, di mana ia hidup selama empat tahun dan wafat dengan kudus. Demikianlah ia dimasukkan oleh sebagian penulis ke dalam bilangan para kudus Cistercian.
Doa
Ya Ratuku yang berkuasa dan Bunda Allahku, Maria yang Tersuci; aku melihat diriku, sebagaimana adanya, begitu nista dan terbeban dengan begitu banyak dosa, sesungguhnya tiada pantas aku menyebutmu Bunda, atau bahkan berani datang menghampirimu; meski demikian aku tidak akan membiarkan kemalanganku menjauhkanku dari penghiburan dan kepercayaan yang aku rasakan dalam menyebutmu Bunda; aku tahu benar bahwa pantas bagiku jika engkau menolakku; tetapi aku mohon dengan sangat kepadamu untuk mengingat semua yang telah ditanggung Putramu Yesus bagiku, dan lalu tolaklah aku jika engkau mau. Aku seorang pendosa celaka, yang, lebih dari semua yang lain, telah menghinakan kemuliaan Allah yang tak terhingga: tetapi kejahatan telah berlalu. Kepadamulah aku memohon pertolongan; engkau dapat menolongku; ya Bundaku, tolonglah aku. Jangan katakan bahwa engkau tiada dapat melakukannya; sebab aku tahu bahwa engkau berdaya kuasa, dan bahwa engkau mendapatkan apa saja yang engkau kehendaki dari Allah; dan jika engkau katakan bahwa engkau tak hendak menolongku, katakan kepadaku setidak-tidaknya kepada siapakah aku dapat bertaut dalam kemalanganku yang dahsyat ini. “Berbelas-kasihanilah kepadaku,” akan aku katakan bersama St Anselmus yang saleh, “ya Yesusku, dan ampunilah aku, dan berbelas-kasihanilah kepadaku, Bundaku Maria, dengan menjadi perantaraku, atau setidaknya katakan kepadaku kepada siapakah aku dapat memohon pertolongan, yang lebih berbelas-kasihan, atau kepada siapakah aku dapat menaruh kepercayaan yang lebih besar selain dari kepadamu.”
sumber : “The Glories of Mary by St. Alphonsus de Liguori”
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”