100. YESUS DI RUMAH PAMAN-NYA, ALFEUS, DAN LALU DI RUMAH-NYA SENDIRI   


7 Februari 1945. St. Romualdus

Yesus ada di perbukitan Galilea yang indah bersama para murid-Nya. Guna menghindari matahari yang masih tinggi di langit, meski sudah mulai terbenam, mereka berjalan di bawah pepohonan, yang kebanyakan adalah pohon zaitun.

"Di balik tepian itu adalah Nazaret," kata Yesus. "Kita akan segera tiba di sana. Sekarang Aku katakan kepada kalian bahwa di gerbang masuk kota, kita akan berpisah. Yudas dan Yakobus akan langsung pergi menemui ayah mereka, seperti keinginan hati mereka. Petrus dan Yohanes akan membagikan sedekah kepada orang-orang miskin, yang pasti akan ada dekat sumber mataair. Yang lainnya dan Aku akan pulang ke rumah untuk makan malam dan lalu kita akan berpikir mengenai istirahat."

"Kami akan kembali ke Alfeus yang baik. Kami berjanji kepadanya kali lalu. Tapi aku akan datang hanya untuk mengatakan apa kabar kepadanya. Aku memberikan tempat tidurku kepada Matius yang masih belum terbiasa hidup keras dan berkekurangan," kata Filipus.

"Tidak, bukan kau, kau sudah tua. Aku tidak akan membiarkan itu. Aku sudah mendapatkan tempat tidur yang sangat nyaman selama ini, tapi aku menderita siksa neraka di sana! Percayalah padaku: aku menikmati damai tenang sekarang, bahkan meski aku harus berbaring di atas batu, aku akan merasa beristirahat di atas ranjang bulu. Oh! Adalah batinmu yang membuatmu tidur atau tidak!" jawab Matius.

Kompetisi kebaikan pun dimulai di antara para murid: Tomas, Filipus, Bartolomeus dan Matius yang jelas adalah mereka yang kali lalu tinggal di rumah Alfeus ini (yang pasti bukan ayah Yakobus, sebab Yakobus berbicara kepada Andreas mengatakan: "Pasti akan selalu ada kamar untukmu, seperti kali lalu, bahkan meski kesehatan ayahnya memburuk."

Tomas menang: "Aku yang paling muda dalam kelompok ini. Aku yang memberikan tempat tidurku. Tak apa, Matius. Lama-kelamaan kau akan terbiasa. Apakah kau pikir aku akan masalah? Tidak. Aku seperti seorang pemuda yang sedang jatuh cinta yang mengatakan: 'Aku mungkin terbaring di atas tempat tidur yang keras, tapi aku dekat dengan kekasihku.'" Tomas, yang berusia sekitar tigapuluh delapan tahun, tertawa gembira dan Matius mengalah padanya. Rumah-rumah pertama Nazaret sekarang hanya beberapa yard jauhnya.

"Yesus… kami pergi," kata Yudas.

"Ya, pergilah."

Kedua bersaudara itu nyaris berlari pergi.

"Eh! Ayah adalah ayah," bisik Petrus. "Bahkan meski dia mendongkol terhadap kita, dia selalu sedarah dengan kita, dan darah lebih kental dari air. Bagaimanapun… aku suka sepupu-sepupu-Mu. Mereka sangat baik."

"Ya, mereka sangat baik. Dan mereka rendah hati, sangat rendah hati hingga mereka bahkan tidak berusaha untuk mengetahui betapa rendah hatinya mereka. Mereka selalu berpikir bahwa mereka yang bersalah, sebab mereka melihat yang baik dalam diri setiap orang terkecuali mereka sendiri. Mereka akan pergi jauh…"

Sekarang mereka di Nazaret. Beberapa perempuan melihat Yesus dan menyalami-Nya, juga para lelaki dan anak-anak berlaku serupa. Tapi tidak ada kegairahan bagi sang Mesias sebagaimana di tempat-tempat lain: di sini hanyalah teman-teman yang menyalami seorang teman yang baru saja kembali. Dan mereka menyalami-Nya kurang lebih dengan demonstratif. Dalam banyak orang aku melihat rasa ingin tahu yang ironis sementara mereka mengamati kelompok murid Yesus yang heterogen, yang tentunya bukan serombongan orang terhormat yang agung atau imam yang mulia. Panas, debu, berpakaian sederhana seperti mereka, dengan pengecualian Yudas Iskariot, Matius, Simon dan Bartolomeus - aku menyebut mereka dengan urutan kecerdasan dari atas ke bawah - mereka lebih tampak seperti serombongan orang desa yang pergi ke pasar, daripada pengikut seorang raja. Raja yang dari dirinya sendiri hanya memiliki perawakan tinggi mengesankan dan di atas segalanya wajah-Nya yang mulia.

Mereka berjalan beberapa yard jauhnya, kemudian Petrus dan Yohanes memisahkan diri dan pergi ke arah kanan, sementara Yesus dan yang lainnya melanjutkan perjalanan hingga ke sebuah alun-alun kecil yang dipenuhi anak-anak yang berteriak-teriak sekeliling sebuah tangki penuh air, dari mana para ibu mereka menimba air.

Seorang laki-laki melihat Yesus dan dia memperlihatkan suatu gerakan orang terkejut sekaligus gembira.  Ia berlari menyongsong-Nya dan menyalami-Nya:

"Selamat datang! Aku tidak menyangka Engkau datang begitu cepat! Ini: ciumlah cucu bungsuku. Dia adalah Yusuf kecil. Dia lahir sementara Engkau tidak ada" dan dia menyerahkan kepada-Nya seorang bayi mungil yang digendongnya dalam pelukannya.

"Apakah engkau menamainya Yusuf?"

"Ya. Aku tak dapat melupakan dia yang hampir seperti sanak saudara sendiri, dan bahkan lebih dari sanak saudara, sahabat karibku. Sekarang aku telah memberikan semua nama mereka yang terkasih juga kepada cucu-cucuku: Anna, sahabatku ketika aku masih seorang kanak-kanak, dan Yoakim. Kemudian Maria… oh! betapa perayaan besar ketika Ia dilahirkan! Aku ingat ketika mereka memberikan-Nya kepadaku untuk dicium dan mereka mengatakan kepadaku: "Lihat? Pelangi indah itu adalah jembatan dengan mana Ia turun dari Surga. Para malaikat menggunakan jalan itu di sana" dan Ia sungguh kelihatan seperti seorang malaikat mungil, Ia sangat cantik… Sekarang ini Yusuf. Andai aku tahu kalau Engkau akan datang cepat, aku akan menunggu-Mu untuk penyunatannya."

"Aku berterima kasih kepadamu atas kasihmu untuk kakek nenek-Ku, bapaKu dan BundaKu. Dia ini seorang kanak-kanak yang tampan. Kiranya dia untuk selamanya benar seperti Yosef yang benar." Yesus menjunjung si bayi yang tersenyum kepada-Nya dengan senyum khas bayi.

"Jika Engkau mau menungguku, aku akan pergi bersamamu. Aku sedang menunggu amphora-amphora diisi. Aku tidak ingin putriku, Maria, kelelahan. Tidak, lihat, inilah apa yang hendak aku lakukan. Aku akan memberikan amphora- amphora kepada para murid-Mu, jika mereka mau, dan aku akan berbicara kepada-Mu sebentar, berdua saja."

"Tentu saja kami akan membawanya! Kami bukan raja-raja Asyur," seru Tomas, yang pertama menerima sebuah amphora.

"Baik, lihat. Maria istri Yosef tidak di rumah. Ia di rumah saudara ipar-Nya, kau tahu. Tapi kunci rumah-Nya ada di rumahku. Mintalah mereka untuk memberikannya kepadamu, supaya kau dapat masuk ke dalam rumah, bengkel, maksudku."

"Ya, pergilah. Kau dapat juga masuk ke dalam rumah, Aku akan menyusul belakangan."

Para rasul pergi dan Yesus tinggal bersama Alfeus.

"Aku ingin mengatakan kepada-Mu… aku ini sahabat baik keluarga-Mu… Dan apabila seorang adalah sahabat baik, dan lebih tua, dan berasal dari tempat yang sama, orang dapat berbicara. Aku pikir seseorang harus berbicara… aku… aku tak hendak menasehati-Mu. Kau lebih tahu dari aku. Aku hanya ingin mengingatkan Engkau bahwa… Oh! aku tidak ingin menjadi mata-mata, pula aku tidak ingin menggantikan sanak-saudara-Mu dalam posisi yang tidak menyenangkan. Tapi aku percaya pada-Mu, sang Mesias, dan… dan menyakitkan hatiku mendengar mereka mengatakan bahwa Engkau bukan Dia, yakni Mesias, bahwa Kau tidak waras, bahwa Kau adalah biang rusaknya keluarga, dan sanak-saudara-Mu. Kota… Kau tahu, Alfeus, dihormati dan karenanya orang mendengarkannya juga, dan dia sekarang sakit dan aku merasa kasihan terhadapnya… Juga penderitaan terkadang membuat orang melakukan hal-hal yang salah. Lihat, aku ada di sana sore itu ketika Yudas dan Yakobus mempertahankan Engkau dan kebebasan mereka untuk mengikuti-Mu… Oh! betapa pertikaian yang sengit! Aku tidak tahu bagaimana BundaMu dapat tahan! Dan perempuan malang Maria Alfeus itu? Para perempuan selalu adalah korban dalam situasi-situasi tertentu keluarga."

"Sepupu-sepupu-Ku sekarang ada di rumah ayah mereka…"

"Di rumah ayah mereka? Oh! Aku merasa kasihan terhadap mereka! Orang tua itu hilang ingatan, pastilah karena usia tuanya dan penyakitnya, tapi dia bertingkah seperti seorang gila. Jika dia tidak gila, aku bahkan merasa terlebih lagi kasihan terhadapnya sebab… dia akan menghancurkan jiwanya."

"Apakah menurutmu dia akan memperlakukan putra-putranya dengan buruk?"

"Aku yakin ya. Aku kasihan terhadap mereka dan terhadap para perempuan… Kemanakah Engkau hendak pergi?"

"Ke rumah Alfeus…"

"Jangan Yesus. Jangan biarkan mereka menghina -Mu!"

"Sepupu-sepupu-Ku mengasihi Aku lebih dari diri mereka sendiri dan karenanya adil jika Aku mengganjari mereka dengan kasih yang sama… Ada dua perempuan di sana, yang Aku kasihi. Aku pergi. Janganlah menahan-Ku." Dan Yesus bergegas menuju rumah Alfeus, sementara laki-laki itu tinggal tercenung di jalan.

Yesus melangkah cepat. Di sana Ia, di pintu masuk kebun sayur-mayur dan buah-buahan milik Alfeus. Ia mendengar tangisan seorang perempuan dan teriakan tak pantas seorang laki-laki. Yesus melangkahkan kaki lebih cepat ke beberapa yard yang memisahkan jalanan dari rumah, di seberang  kebun sayur-mayur dan buah-buahan yang asri. Ia nyaris tiba di ambang pintu rumah ketika BundaNya melongok ke pintu dan melihat PutraNya.

"Bunda!"

"Yesus!"

Dua seruan penuh kasih.

Yesus hendak masuk, tapi Maria mengatakan: "Tidak, Nak." Dan Maria berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan-Nya terentang, menghalangi jenang pintu dengan kedua tangan-Nya: penghalang dari tubuh dan kasih, dan Ia mengulang:

"Tidak, Nak. Jangan masuk."

"Biarkan Aku masuk, Bunda. Tak akan ada apa-apa." Yesus sangat tenang, meski wajah Maria yang memucat jelas menyedihkan-Nya. Ia meraih pergelangan tangan Maria yang ramping, menjauhkan tangan-Nya dari jenang pintu dan masuk.

Ada barang-barang berserakan di lantai dapur, yang menjadi genangan lumpur, pecahan-pecahan telur, anggur dan botol madu yang dibawa dari Kana. Dari kamar yang lain terdengar suara marah-marah seorang laki-laki tua yang mengutuk, menuduh, mengeluh dalam salah satu perangai yang cocok seperti orang yang hilang ingatan, yang sangat tidak adil, tanpa dapat berbuat apa-apa dan menyakitkan dilihat, dan sangat menyedihkan ditanggung. "… ini dia, rumahku hancur, kita telah menjadi bahan tertawaan seluruh Nazaret, dan aku di sini, sendirian, tanpa daya, tertusuk hatiku, dalam hal hormat kepadaku, dalam kebutuhan-kebutuhanku!... Inilah apa yang tersisa untukmu, Alfeus, sebab berlaku sebagai seorang percaya yang sejati! Mengapa? Mengapa? Sebab seorang gila. Seorang gila yang telah membuat putra-putraku yang bodoh tidak waras. Ah! Ah! Betapa menyakitkan!" Dan suara Maria Alfeus yang menangis memohon: "Jadilah baik, Alfeus, jadilah baik! Tak dapatkah kau lihat bahwa kau menyakiti dirimu sendiri? Mari, aku bantu kau berbaring… Kau selalu baik, selalu adil… Mengapakah kau bersikap seperti itu terhadap dirimu sendiri? Terhadap aku? Terhadap anak-anak yang malang?..."

"Tidak! Tidak! Jangan sentuh aku! Aku tidak mau kau! Anak-anak baik? Ah! Pastinya! Dua anak laki-laki yang durhaka! Mereka membawakanku madu sesudah mengisiku dengan kepahitan. Mereka membawakanku telur dan anggur, sesudah mengganyang hatiku! Pergi, aku katakan. Enyah! Aku tidak mau kau. Aku mau Maria. Ia tahu bagaimana melakukan hal-hal dengan baik. Di manakah perempuan lemah itu sekarang, yang tak dapat membuat PutraNya taat kepada-Nya?"

Maria Alfeus, berlari keluar, memasuki dapur sementara Yesus hendak masuk ke dalam kamar Alfeus. Dia melihat-Nya dan menjatuhkan diri pada-Nya, dengan menangis putus asa, sementara Maria, sang Perawan, pergi dengan rendah hati dan sabar mendekati laki-laki tua yang marah itu.

"Janganlah menangis, Bibi. Aku akan masuk sekarang."

"Tidak, tidak! Jangan biarkan dia menghina-Mu! Ia kelihatannya sudah gila. Dia membawa tongkat. Tidak, Yesus, tidak. Dia juga menyerang anak-anaknya."

"Dia tidak akan mengapa-apakan Aku" dan Yesus, dengan wibawa, meski lemah-lembut, menggeser bibi-Nya ke samping dan masuk.

"Damai bagimu, Alfeus."

Si laki-laki tua, yang hendak berbaring dengan keluhan dan makian yang tiada hentinya kepada Maria, sebab Ia tidak dapat melakukan apapun dengan baik (sebelumnya dia mengatakan hanya Maria yang tahu bagaimana melakukan hal-hal dengan baik) sekonyong-konyong berbalik. "Kau di sini? Di sini untuk mengejekku? Juga itu?"

"Tidak. Untuk memberimu damai. Mengapa kau begitu marah? Kau membuat kondisimu semakin payah. Bunda, tinggalkan dia. Aku akan mengangkatnya. Aku tidak akan menyakitimu dan kau tidak akan harus mengerahkan tenaga. Bunda, angkat selimut-selimutnya." Dan Yesus dengan hati-hati mendekap tumpukan tulang yang tersengal-sengal, lemah, kejam, menangis dan malang itu dan membaringkannya dengan sangat hati-hati, seolah dia adalah seorang bayi yang baru dilahirkan, di atas pembaringannnya.

"Nah. Seperti Aku biasa melakukannya untuk bapa-Ku. Mari kita angkat bantal ini. Bantal ini akan meninggikanmu dan kau akan bernapas dengan lebih baik. Bunda, taruhlah bantal kecil itu di sana, di bawah punggungnya. Ia akan merasa lebih nyaman. Dan sekarang lampunya seperti ini, agar tidak menyakiti matanya, sekaligus membiarkan udara segar masuk. Nah, begitu. Sekarang… Aku melihat rebusan ramuan obat di atas api. Bawalah kepada-Ku, Bunda. Dan buatlah sangat manis. Kau sepenuhnya berkeringat dan kau kedinginan. Ini akan membuatmu lebih baik."

Maria pergi keluar dengan patuh.

"Tapi aku… tapi aku… Mengapakah Kau baik kepadaku?

"Sebab Aku mengasihimu, kau tahu itu."

"Sebelumnya aku mengasihi-Mu juga,… tapi sekarang…"

"Sekarang kau tak lagi mengasihi Aku. Aku tahu. Tapi Aku mengasihimu, dan itu sudah cukup bagi-Ku. Sesudahnya… kau akan mengasihi Aku…"

"Baik jadi… Ah, ah… betapa menyakitkan! jadi jika benar bahwa Kau mengasihi aku, mengapa Kau memberiku penghinaan pada rambutku yang beruban?"

"Aku tidak menghinamu, Alfeus, sama sekali. Aku menghormatimu."

"Menghormatiku? Aku ini bahan tertawaan di Nazaret."

"Mengapa kau katakan begitu, Alfeus? Dengan cara bagaimana Aku telah membuatmu menjadi bahan tertawaan?"

"Sehubungan dengan putra-putraku. Mengapa mereka memberontak? Karena Kau. Mengapa aku diejek? Karena Kau."

"Katakan pada-Ku: jika Nazaret memujimu karena takdir putra-putramu, apakah kau akan merasakan sakit yang sama?"

"Jika demikian, tidak! Tapi Nazaret tidak memujiku. Mereka akan memujiku jika Kau adalah penakluk. Tapi mereka meninggalkanku karena seorang yang tak lebih dari seorang tak waras yang menjelajahi dunia, mendatangkan atas dirinya kebencian dan cemoohan, seorang yang malang di antara mereka yang malang! Ah! Siapakah yang tidak akan tertawa? Leluhurku yang malang! Betapa akhir bagimu, keturunan Daud yang malang! Dan aku hidup cukup lama untuk melihat kemalangan ini? Untuk melihat Engkau, tunas terakhir dari keluarga yang mulia, menjadi rusak dengan kegilaan! Ah! Kemalangan telah menimpa kami sejak hari saudaraku yang berhati lemah setuju untuk dipersatukan dengan perempuan membosankan namun sok kuasa yang memegang kendali penuh atas dirinya. Waktu itu aku katakan: "Yosef tidak cocok untuk perkawinan. Ia tidak akan bahagia." Dan memang. Ia tahu seperti apa itu, dan dia tidak pernah ingin berurusan dengan perkawinan. Terkutuklah Hukum ahli waris perempuan yatim. Terkutuklah takdir. Terkutuklah perkawinan itu."

Sang "Perawan ahli waris" telah kembali dengan rebusan ramuan obat tepat pada waktunya untuk mendengar keluh-kesah saudara ipar-Nya. Ia bahkan menjadi terlebih pucat. Tapi kesabaran-Nya tidak membuatnya marah. Ia mendekati Alfeus dan dengan seulas senyum lembut membantunya untuk minum.

"Kau tidak adil, Alfeus. Tapi kau sakit parah, sehingga kau diampuni untuk semuanya," kata Yesus, Yang menyangga kepalanya.

"Oh! Ya! Sakit parah! Kau katakan bahwa Kau adalah Mesias! Kau mengerjakan mukjizat-mukjizat. Begitu kata mereka. Jika setidaknya Kau sembuhkan aku, sebagai ganti rugi kepadaku atas putra-putra yang Kau ambil. Sembuhkan aku… dan aku akan mengampuni-Mu."

"Ampunilah putra-putramu. Berusahalah untuk memahami jiwa mereka, dan Aku akan memberimu kelegaan. Jika kau masih memendam amarah terhadap mereka, Aku tak dapat berbuat apa-apa."

"Mengampuni mereka?" Laki-laki tua itu meledak dalam murka, yang, tentu saja, memperhebat rasa sakitnya dan itu membuatnya semakin bertambah murka lagi.

"Mengampuni mereka? Tidak pernah! Pergi! Enyah, jika itu adalah apa yang hendak Kau katakan kepadaku! Pergi! Aku ingin mati tanpa direpoti lagi."

Yesus membuat gerakan undur diri. "Selamat tinggal, Alfeus, Aku akan pergi… Sungguhkah Aku harus pergi? Paman… sungguhkah Aku harus pergi?"

"Jika Kau tak akan memuaskanku, ya, pergilah. Dan katakan kepada kedua ular itu bahwa ayah mereka yang tua meregang nyawa dengan murka terhadap mereka."

"Tidak. Jangan lakukan itu. Jangan kehilangan jiwamu. Jangan mengasihi Aku, jika itu maumu. Jangan percaya bahwa Aku adalah Mesias. Tapi janganlah mendengki. Janganlah mendengki, Alfeus. Cacilah Aku. Sebut Aku gila. Tapi jangan mendengki."

"Tapi mengapa Kau mengasihi aku, jika aku menghina-Mu?"

"Sebab Aku adalah Ia Yang tak hendak kau akui. Aku adalah Kasih. Bunda, Aku pulang."

"Ya, PutraKu. Aku tidak akan lama."

"Aku tinggalkan damai-Ku bagimu Alfeus. Jika kau menginginkan Aku, panggillah Aku, kapan saja, dan Aku akan datang." Yesus keluar, setenang seolah tak suatu pun terjadi. Ia hanya kelihatan lebih pucat.

"Oh! Yesus, Yesus, ampunilah dia," erang Maria Alfeus.

"Tentu saja, Maria. Bahkan tak ada perlunya mengampuni dia. Barangsiapa menderita, diampuni semuanya. Sekarang dia sudah lebih tenang. Rahmat bekerja juga tanpa diketahui hati orang. Dan lalu ada airmatamu, dan tentunya penderitaan Yudas dan Yakobus, dan kesetiaan mereka pada panggilan mereka. Kiranya damai tinggal dalam hatimu yang berduka, Bibi." Ia menciumnya dan pergi keluar ke kebun sayur-mayur dan buah-buahan untuk pulang ke rumah.

Ketika Ia hendak menjejakkan kaki di jalan, Petrus datang, dan di belakangnya Yohanes, terengah-engah seolah mereka baru saja berlari. "Oh! Guru! Ada apa? Yakobus mengatakan kepadaku: 'Larilah ke rumahku. Aku khawatir bagaimana Yesus akan diperlakukan!' Tidak, aku tidak salah. Alfeus datang, orang yang dari sumber mataair itu, dan dia mengatakan kepada Yudas: 'Yesus ada di rumahmu' dan lalu Yakobus mengatakan begitu. Sepupu-sepupu-Mu sedih. Aku tidak mengerti ada apa ini. Tapi aku melihat-Mu… dan aku berbesar hati."

"Tidak ada apa-apa, Petrus. Seorang sakit yang malang, yang dibuat tidak bertoleransi karena sakitnya. Sekarang semuanya sudah berakhir."

"Oh! Aku senang! Dan mengapa kau di sini?" Petrus bertanya kepada Iskariot, yang bergegas ke sana juga, dan nada suaranya tidak ramah.

"Kau di sini juga, ya kan?"

"Aku diminta datang dan aku datang."

"Aku datang juga. Jika Mesias dalam bahaya, dan di tanah kelahiran-Nya sendiri, aku, yang telah membela-Nya di Yudea, dapat membela-Nya juga di Galilea."

"Kami juga cukup mampu untuk itu. Tapi itu tidak perlu di Galilea."

"Ha! Ha! Ha! Sungguh! Tanah kelahiran-Nya memuntahkan-Nya seperti makanan yang keras. Baik. Aku senang untukmu, yang dihebohkan skandal oleh insiden kecil, yang terjadi di Yudea, di mana Ia tidak dikenal. Tapi sebaliknya, di sini!..." dan Yudas mengakhiri perkataannya dengan menyiulkan nada yang adalah mahakarya sebuah sindiran.

"Dengar, bocah. Aku tidak sedang mood untuk berpekara denganmu. Karenanya, hentikan … jika… sesuatu masih kau sayangi. Guru, apakah mereka menyakiti-Mu?"

"Tidak, Petrus-Ku terkasih. Aku dapat pastikan itu. Marilah kita berjalan lebih cepat untuk menghibur sepupu-sepupu-Ku."

Mereka pergi dan memasuki bengkel yang besar. Yudas dan Yakobus ada dekat bangku tukang kayu yang besar. Yakobus berdiri, Yudas duduk di sebuah kursi tanpa sandaran, dengan sikunya bertumpu pada bangku, kepalanya beristirahat di atas tangannya. Yesus menghampiri mereka, tersenyum, untuk meyakinkan mereka segera bahwa hati-Nya mengasihi mereka: "Alfeus sudah lebih tenang sekarang. Sakitnya mereda dan semuanya damai kembali. Kalian harus tenang, juga."

"Apakah Kau menemuinya? Dan ibu?"

"Aku menemui semua orang."

Yudas bertanya: "Juga saudara-saudara kami?"

"Tidak, mereka tidak ada."

"Mereka ada di sana. Mereka tidak ingin terlihat oleh-Mu. Tapi dengan kami! Oh! Andai kami melakukan suatu kejahatan, kami tidak akan diperlakukan seperti itu. Dan kami melesat dari Kana demi sukacita bertemu dengannya lagi dan membawakannya apa yang dia suka! Kami mengasihinya… tapi dia tidak lagi mengerti kami… dia tidak lagi mempercayai kami." Yudas melipat tangannya dan menangis, kepalanya beristirahat pada bangku. Yakobus lebih kuat. Tapi siksa batinnya dapat terbaca pada wajahnya.

"Janganlah menangis, Yudas. Dan kau… janganlah bersedih."

"Oh! Yesus! Kami adalah anak-anaknya… dan dia mengutuki kami. Tapi bahkan meski itu mengoyakkan hati kami, tidak, kami tidak akan kembali! Kami milik-Mu dan kami akan tetap milik-Mu, bahkan meski mereka mengancam kami dengan kematian demi memisahkan kami dari-Mu!" seru Yakobus.

"Dan kau katakan bahwa kau tak dapat berlaku sebagai pahlawan? Aku tahu. Tapi kau sendiri yang telah mengatakannya. Sungguh, kau akan setia juga dalam menghadapi kematian. Dan kau, juga" Yesus membelai mereka. Tapi mereka sangat menderita. Kubah batu itu bergema dengan tangisan Yudas.

Dan itu memungkinku untuk mengenal lebih baik jiwa para murid.

Petrus, yang wajah jujurnya bersedih, berseru: "Ya! Itu menyakitkan… Situasi yang menyedihkan. Tapi, bocah-bocahku terkasih (dan dia menepuk-nepuk mereka penuh kasih) tidak semua orang pantas mendapatkan perkaaan seperti itu… aku… aku sadar bahwa aku beruntung dalam panggilanku. Perempuan baik itu, istriku, selalu mengatakan kepadaku: 'Seolah aku ditolak, sebab kau bukan lagi milikku. Tapi aku katakan: "Oh! penolakan yang membahagiakan!'" Kau hendaknya mengatakan itu juga. Kalian kehilangan ayahmu tapi kalian mendapatkan Allah.

Gembala Yusuf, seorang yatim, yang sama sekali tak memiliki pengalaman hidup dalam keluargga sungguh terperanjat bahwa seorang ayah dapat menyebabkan begitu banyak airmata, dan berkata: "Aku pikir aku adalah yang paling tidak bahagia dari semua orang, sebab aku tanpa ayah. Tapi aku lihat adalah lebih baik meratapi kematiannya daripada meratapinya sebagai musuh."

Yohanes mencium dan membelai kedua temannya.

Andreas menghela napas panjang dan diam. Dia ingin berbicara tapi rasa malu menyumbat mulutnya.

Tomas, Filipus, Matius dan Natanael berbicara dengan suara lirih di suatu pojok, demi hormat terhadap realita duka.

Yakobus Zebedeus berdoa, mudah dimengerti, agar kiranya Allah menganugerahkan damai.

Simon Zelot, oh! betapa aku sangat menyukai geraknya! Dia meninggalkan pojoknya dan datang menghampiri kedua orang yang bersedih hati, dia menumpangkan satu tangan di atas kepala Yudas dan dengan tangan yang lain dia memeluk pinggang Yakobus dan berkata: "Janganlah menangis, Nak. Yesus sungguh mengatakannya kepada kita, kepada kalian dan kepadaku: 'Aku mempersatukan kalian: kalian yang kehilangan ayah kalian karena Aku, dan kau yang punya hati seorang ayah, tanpa memiliki anak.' Dan kita tidak mengerti betapa banyak nubuat yang ada dalam perkataan-Nya. Tapi Ia tahu. Sekarang: aku mohon pada kalian. Aku ini tua dan aku selalu memimpikan dipanggil 'ayah'. Terimalah aku sebagai ayah, dan aku, sebagai seorang ayah, akan membekati kalian setiap pagi dan petang. Sudi terimalah aku seperti itu."

Kedua saudara itu mengangguk tanda stuju dan menangis terlebih keras. Maria masuk dan bergegas menghampiri kedua pemuda yang berduka. Dia membelai kepala Yudas yang berambut gelap dan pipi Yakobus. Maria tampak sepucat bunga lily. Yudas meraih tangan Maria, menciumnya dan bertanya: "Apakah yang dilakukannya?"

"Dia tidur, Nak. Ibumu mengirimkan ciumannya untukmu" dan Ia mencium mereka berdua.

Suara Petrus menggelegar: "Dengarkanlah, kemarilah sebentar, aku ingin memberitahumu sesuatu" dan aku melihat Petrus mencengkeram lengan Iskariot dengan tangannya yang kuat dan membawanya keluar ke jalanan. Dan lalu dia kembali seorang diri.

"Kemanakah kau membawanya?" tanya Yesus.

"Kemana? Untuk mendapatkan angin segar, atau aku yang pada akhirnya harus memberinya sendiri, tapi dengan cara lain… dan aku tidak melakukannya hanya karena Engkau. Oh! Aku merasa lebih baik sekarang. Barangsiapa tertawa di hadapan dukacita adalah seekor ular berbisa, dan aku meremukkan ular-ular. Kau di sini… dan aku hanya mengeluarkannya di bawah terang bulan. Mungkin saja… tapi aku akan dapat menjadi bahkan seorang ahli taurat, suatu perubahan yang hanya Allah saja yang dapat melakukannya pada diriku, tapi dia… dia tidak akan menjadi baik, bahkan dengan pertolongan Allah. Simon anak Yohanes dapat meyakinkan Engkau, dan aku tidak salah. Tidak. Jangan khawatir! Dia tidak dapat percaya bahwa dia melarikan diri dari suatu situasi yang menyedihkan. Dia itu lebih kering dari batu geretan di bawah terik matahari bulan Agustus. Ayo, anak-anak! Ada seorang Bunda di sini yang bahkan Surga pun tak memiliki yang terlebih manis. Ada Guru di sini Yang lebih terkasih dari Firdaus, dan ada begitu banyak hati yang dengan tulus mengasihi kalian. Badai membawa banyak kebaikan: badai menghalau pergi debu. Esok hari kalian akan lebih segar dari bunga-bunga, lebih lincah dari burung-burung, untuk mengikuti Yesus kita."

Dan semuanya pun berakhir dengan kata-kata bijak sederhana Petrus.




Kemudian Yesus bersabda:

"Sesudah penglihatan ini kau tempatkan penglihatan yang Aku berikan padamu musim semi 1944, di mana Aku menanyai BundaKu mengenai kesan-Nya terhadap para rasul. Sekarang karakter moral mereka sudah cukup jelas untuk memungkinkan penglihatan itu ditempatkan di sini tanpa menimbulkan skandal bagi siapa pun. Aku tidak membutuhkan nasehat siapa pun. Tapi apabila kami sendirian, dan para murid tersebar di antara keluarga-keluarga yang bersahabat atau di desa-desa terdekat, ketika Aku singgah di Nazaret, betapa menyenangkan berbicara dan meminta nasehat dari SahabatKu yang baik hati: BundaKu, dan mendapatkan peneguhan dari bibir-bibir bijak-Nya yang lemah lembut atas apa yang telah Aku lihat. Aku tidak pernah menjadi siapapun selain "PutraNya" terhadap-Nya. Dan dari antara mereka yang dilahirkan dari seorang perempuan tidak pernah ada ibu yang lebih "ibu" dari Dia, dalam segala kesempurnaan manusiawi dan keutamaan-keutamaan moral keibuan, pun tidak pernah ada anak yang lebih "anak" dari Aku sehubungan dengan hormat, kepercayaan dan kasih.

Dan sekarang sesudah kau juga punya setidaknya sedikit pengetahuan akan Keduabelas rasul, keutamaan-keutamaan, kesalahan-kesalahan, karakter, pergulatan-pergulatan mereka, masih adakah seorang yang percaya bahwa adalah suatu tugas yang mudah bagi-Ku untuk mempersatukan mereka, meninggikan dan menyempurnakan mereka? Dan masih adakah seorang yang berpikiran bahwa hidup seorang rasul itu hendaknya mudah, dan bahwa menjadi seorang rasul atau, seperti yang kerap terjadi, menganggap diri seorang rasul, orang berhak atas hidup yang mulus, bebas dari kesedihan, pertentangan, kekalahan? Masih adakah seorang yang, hanya kerena dia melayani Aku, mengharapkan Aku untuk menjadi pelayannya dan mengerjakan mukjizat-mukjizat tanpa henti demi kepentingannya, menjadikan hidupnya seindah karpet penuh bunga, mudah dan mulia dari sudut pandang manusia? Jalan-ku, karya-Ku, pelayanan-Ku adalah salib, dukacita, penyangkalan, kurban. Aku melakukan itu. Biarlah mereka yang mengatakan bahwa mereka sahabat-"Ku" melakukan yang sama. Yang di atas bukan untuk Yohanes-Yohanes, tapi untuk para alim ulama yang sulit dan tidak puas. Dan juga untuk para alim ulama yang suka mengajukan keberatan dan cerewet Aku katakan bahwa Aku menggunakan kata-kata: paman dan bibi, yang tak lazim dalam bahasa Palestina, demi menjelaskan dan menyelesaikan suatu pertanyaan tidak hormat sehubungan dengan kondisi-Ku sebagai Putra tunggal Maria dan Keperawanan BundaKu prae -dan postpartum [= sebelum dan sesudah melahirkan]; Ia sesungguhnya memiliki Aku melalui persatuan ilahi rohani, dan biar Aku ulangi sekali lagi, Ia tidak mengenal persatuan yang lain, pun Ia tidak pernah melahirkan anak-anak yang lain: Daging yang tak Bercela, yang bahkan Aku tidak mengoyaknya, menutupi misteri suatu tabernakel-rahim, takhta dari Trinitas dan dari Inkarnasi Sabda."  
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 2                     Daftar Istilah                      Halaman Utama