Bab LXII
Malam Kebangkitan ~ 2


Segera sesudahnya, aku melihat makam Tuhan kita. Sekelilingnya sunyi senyap. Ada enam prajurit berjaga; sebagian duduk, sebagian lainnya berdiri di depan pintu; Cassius ada di antara mereka. Cassius bagaikan seorang yang tenggelam dalam meditasi dan dalam pengharapan akan terjadinya suatu peristiwa besar. Tubuh kudus Penebus kita dibungkus dalam balutan kain kafan, dikelilingi cahaya, sementara dua malaikat berlutut dalam sikap sembah sujud, satu di bagian kepala dan yang lain di bagian kaki. Aku melihat mereka dalam sikap yang sama sejak pertama kali Yesus dibaringkan dalam makam. Kedua malaikat ini mengenakan jubah serupa jubah iman. Sikap dan cara mereka menyilangkan tangan di dada, mengingatkanku akan kerubim yang mengelilingi Tabut Perjanjian, hanya saja mereka tanpa sayap; setidaknya aku tidak melihatnya. Keseluruhan makam mengingatkanku akan Tabut Perjanjian pada masa-masa sejarah yang berbeda. Kemungkinan Cassius menyadari kehadiran para malaikat ini, juga cahaya terang yang memenuhi makam, sebab sikapnya bagaikan seorang yang berada dalam kontemplasi mendalam di hadapan Sakramen Mahakudus.

Selanjutnya aku melihat jiwa Tuhan kita, dengan disertai oleh jiwa-jiwa dari antara para patriark yang Ia bebaskan, masuk ke dalam makam melalui batu karang. Ia memperlihatkan kepada mereka luka-luka yang memenuhi sekujur tubuh kudus-Nya; tampak bagiku bahwa kain kafan yang tadinya membungkus tubuh Yesus telah disingkapkan, dan bahwa Ia hendak menunjukkan kepada jiwa-jiwa sengsara dahsyat yang Ia derita demi menebus mereka. Tubuh Tuhan tampak transparan, hingga dalamnya luka-luka yang menembusi daging-Nya dapat terlihat; penglihatan ini memenuhi jiwa-jiwa kudus dengan perasaan hormat yang khidmad, walau perasaan belas kasihan mendalam juga mengharu-birukan mereka hingga airmata mereka bercucuran.

Penglihatanku selanjutnya begitu misterius hingga tak dapat aku menjelaskan atau bahkan mengisahkannya secara jelas. Tampak padaku bahwa jiwa dan tubuh Yesus bersama-sama dibawa keluar dari makam, namun demikian tanpa jiwa-Nya bersatu sepenuhnya dengan tubuh-Nya yang masih tak bernyawa. Aku pikir, aku melihat kedua malaikat yang berlutut dan bersembah sujud di bagian kepala dan kaki tubuh kudus mengangkat jasad-Nya - menjaganya dengan posisi yang tepat sama dengan mana jasad itu terbaring dalam makam - dan membawanya tanpa balutan kain-kain dan rusak oleh sebab luka dan memar, melintasi karang, yang bergoncang sementara mereka lewat. Lalu, tampak olehku Yesus mempersembahkan tubuh-Nya, dengan tanda-tanda stigmata Sengsara, kepada Bapa SurgawiNya, yang duduk di atas sebuah tahta dengan dikelilingi oleh paduan suara para malaikat yang tak terbilang banyaknya, yang dengan penuh sukacita tak henti-hentinya melantunkan madah-madah pujian dan kemuliaan. Halnya mungkin sama dengan ketika, pada saat wafat Tuhan kita, begitu banyak jiwa-jiwa kudus memasuki kembali jasad mereka dan menampakkan diri di Bait Allah dan di berbagai belahan Yerusalem; sebab kemungkinan tubuh-tubuh yang mereka gerakkan itu bukannya sungguh hidup, sebab jika demikian halnya mereka akan harus mati lagi untuk kedua kalinya, padahal mereka kembali ke keadaan mereka yang semula tanpa kesulitan yang berarti; tetapi dapat dianggap bahwa penampakan mereka dalam wujud manusia ini mirip dengan penampakan Tuhan kita saat Ia (jika kita boleh mengatakannya demikian) menyertai tubuh-Nya ke hadapan tahta Bapa Surgawi-Nya.

Saat itu, bukit karang bergoncang begitu hebat, dari puncak teratas hingga ke dasarnya, hingga tiga dari para prajurit di sana terlempar dan jatuh terkapar nyaris tak sadarkan diri. Empat prajurit lainnya sedang tak berada di tempat kala itu; mereka sedang pergi ke kota untuk mengambil sesuatu. Para prajurit yang terlempar hingga terkapar di atas tanah menghubungkan goncangan tiba-tiba itu dengan gempa bumi; tetapi Cassius, walau tak tahu pasti pratanda apakah semua ini, merasakan suatu firasat batin bahwa goncangan itu merupakan pratanda akan terjadinya suatu peristiwa menakjubkan; ia berdiri terpaku dalam pengharapan yang berkobar, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebentar kemudian, para prajurit yang pergi ke Yerusalem kembali.

Lagi, aku melihat para perempuan kudus; mereka telah selesai mempersiapkan rempah-rempah dan sedang beristirahat dalam bilik-bilik mereka; bukan membaringkan diri di atas bantalan panjang, melainkan menyandarkan diri pada kain-kain seprei yang digulungkan pada bantalan. Mereka bermaksud pergi ke makam sebelum matahari terbit, sebab mereka takut berjumpa dengan para musuh Yesus, tetapi Santa Perawan, yang telah sama sekali diperbaharui dan dipenuhi kekuatan baru sejak ia bertemu Putranya, menenangkan mereka serta menyarankan agar mereka tidur barang sejenak, barulah pergi tanpa was-was ke makam, sebab tak akan ada suatu pun yang buruk yang akan menimpa mereka. Mereka segera mematuhi nasehatnya dan berusaha memejamkan mata.

Menjelang pukul sebelas malam ketika Santa Perawan, terdorong oleh perasaan kasih yang tak tertahankan, membungkus tubuhnya dengan sehelai mantol abu-abu dan meninggalkan rumah seorang diri. Ketika aku melihatnya melakukan hal ini, tak dapat tidak aku merasa cemas dan berkata kepada diriku sendiri, “Bagaimana mungkin Bunda yang kudus ini, yang telah terkuras habis tenaganya oleh dukacita dan ngeri, berjalan seorang diri saja menyusuri jalan-jalan saat malam telah demikian larut?” Aku melihat Bunda Maria pertama-tama menuju ke rumah Kayafas, dan lalu ke istana Pilatus, yang sangat jauh jaraknya; aku mengamatinya sepanjang ziarahnya seorang diri menelusuri tempat-tempat yang telah dilalui Putranya dengan memanggul Salib-Nya yang berat. Santa Perawan berhenti di setiap tempat di mana Juruselamat kita menderita suatu sengsara tertentu, atau menerima siksa aniaya keji dari para musuh-Nya yang biadab. Bunda Maria, sementara ia mengayunkan langkah-langkah perlahan, bagaikan seorang yang sedang mencari-cari sesuatu; kerap kali ia membungkuk di atas tanah, menyentuh bebatuan dengan tangan-tangannya, lalu, jika Darah Mahasuci Putranya terkasih tertinggal di sana, ia menghujani batu-batu itu dengan ciuman. Saat itu, Tuhan menganugerahkan kepadanya terang dan rahmat-rahmat istimewa sehingga tanpa kesulitan sedikit pun ia dapat mengenali setiap tempat yang telah dikuduskan dengan sengsara-Nya. Aku menyertainya sepanjang perjalanan panjang ziarahnya yang saleh, dan aku berusaha mengikuti teladannya dengan sekuat tenagaku, mengingat segala kelemahanku.

Bunda Maria kemudian menuju Kalvari; tetapi ketika hampir tiba di sana, sekonyong-konyong ia berhenti, dan aku melihat tubuh dan jiwa kudus Juruselamat kita berdiri di hadapannya. Seorang malaikat berjalan di depan; kedua malaikat yang aku lihat di makam berada di samping-Nya, dan beratus-ratus jiwa-jiwa yang telah ditebus-Nya mengikuti-Nya. Tubuh Tuhan kita cemerlang berkilauan serta menawan, tetapi penampilannya bukan seperti suatu tubuh yang hidup, walau suara keluar daripadanya; aku mendengar Yesus menceriterakan kepada Santa Perawan segala yang telah Ia lakukan di Limbo, dan Ia meyakinkan BundaNya bahwa Ia akan bangkit kembali dengan tubuh-Nya yang telah dimuliakan; bahwa pada saat itu Ia akan menampakkan diri kepadanya, dan bahwa sang Bunda hendaknya menunggu-Nya dekat karang Bukit Kalvari, di tempat di mana ia melihat-Nya jatuh, hingga Ia menampakkan diri. Lalu, Juruselamat kita menuju Yerusalem, dan Santa Perawan, setelah mengenakan kerudungnya kembali, merebahkan diri di tempat yang telah ditunjukkan Putranya. Saat itu, aku pikir, telah lewat tengah malam, sebab ziarah Jalan Salib Bunda Maria setidak-tidaknya menghabiskan waktu satu jam lamanya. Selanjutnya, aku melihat jiwa-jiwa kudus yang telah ditebus oleh Juruselamat kita melakukan Jalan Salib sengsara dan merenung di berbagai tempat di mana Ia menderita sengsara yang begitu dahsyat demi mereka. Para malaikat yang menyertai mereka memungut serta mengumpulkan serpihan-serpihan daging kudus Tuhan kita yang tercabik oleh deraan bertubi yang mengoyakkan tubuh-Nya, mereka juga mengumpulkan percikan-percikan darah yang tercecer di tempat-tempat di mana Ia terjatuh.

Sekali lagi aku melihat tubuh kudus Tuhan kita direntangkan seperti pertama kali aku melihatnya dalam makam; para malaikat sibuk menempelkan kembali serpihan-serpihan daging yang telah mereka kumpulkan; para malaikat memperoleh pertolongan adikodrati dalam melakukan hal ini. Ketika selanjutnya aku merenungkan Tuhan kita, aku melihat-Nya dalam balutan kain kafan, dengan dikelilingi cahaya cemerlang, dengan kedua malaikat yang menyembah di sisi-Nya. Tak dapat aku menjelaskan bagaimana hal-hal ini berlangsung, sebab semuanya jauh di luar pengertian manusiawi kita; dan walau aku memahaminya secara sempurna ketika aku melihatnya, namun demikian semuanya tampak gelap dan misterius apabila aku berusaha menjelaskannya kepada yang lain.

Segera setelah seberkas cahaya samar fajar muncul di ufuk timur, aku melihat Magdalena, Maria puteri Kleopas, Yohana Khuza, dan Salome meninggalkan Senakel dengan tubuh terbalut rapat dengan mantol. Mereka membawa kantong-kantong rempah-rempah; salah seorang dari mereka membawa sebatang lilin menyala di tangan, yang berusaha disembunyikannya di bawah mantolnya. Aku melihat mereka mengarahkan langkah-langkah mereka yang gemetar langsung menuju pintu kecil di rumah Nikodemus.

sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus          previous  Halaman Sebelumnya     Halaman Selanjutnya  next      up  Halaman Utama