374. HARI PERSIAPAN.
SORE HARI.            


3 Februari 1946   

Ketika Yesus memasuki istana, Dia melihat istana itu penuh dengan para pelayan dari Betania yang sibuk membuat persiapan. Lazarus, yang terbaring di sebuah tempat tidur kecil dan sangat menderita, menyapa Guru dengan senyum tipis. Yesus bergegas ke arahnya, membungkuk lembut di atas ranjang kecil itu dan bertanya, "Kau telah sangat menderita, sahabat-Ku, karena goncangan kereta, bukan?"

"Sangat menderita, Guru," jawab Lazarus, begitu payah hingga ingatan akan apa yang dia rasakan membuat air mata menggenang di matanya.

"Karena kesalahan-Ku! Maafkan Aku!"

Lazarus meraih satu tangan Yesus dan membawanya ke wajahnya, mengusapkannya pada pipinya yang kurus, menciumnya dan berbisik, "Oh! Itu bukan kesalahan-Mu, Tuhan! Aku sangat bahagia bahwa Engkau merayakan Paskah bersamaku... Paskah terakhirku!..."

"Dengan kehendak Tuhan, kendati segalanya, kau akan merayakannya lebih banyak lagi, Lazarus. Dan hatimu akan selalu bersama-Ku."

"Oh! Aku orang yang sekarat! Kau menghiburku ... tapi semuanya sudah berakhir. Dan aku menyesal..." Dia menangis.

"Lihat, Tuhan? Lazarus tidak melakukan apa-apa selain menangis," kata Marta penuh kasih sayang. "Katakan padanya jangan menangis. Dia melelahkan dirinya sendiri!"

"Tubuh masih memiliki haknya. Sangat menyakitkan untuk menderita, Marta, dan daging menangis. Dan ia butuh kelegaan. Tapi jiwa pasrah, bukan begitu, sahabat-Ku? Jiwamu yang benar bersedia melakukan kehendak Tuhan..."

"Ya... Tetapi aku menangis karena, karena Engkau begitu teraniaya, Engkau tidak akan bisa menemaniku di saat ajalku... Aku bergidik membayangkan kematian, aku takut mati... Tetapi andai Engkau di sini, aku tidak akan merasa begitu. Aku akan bernaung dalam pelukan-Mu... dan aku akan tertidur seperti itu... Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bisa mati tanpa merasa bahwa aku tidak ingin menaati Kehendak yang mengerikan itu?"

"Semangat! Jangan biarkan itu membuatmu khawatir! Lihat? Kau membuat saudari-saudarimu menangis... Tuhan akan membantumu dengan sangat kebapakan sehingga kau tidak akan takut. Orang-orang berdosa yang harus takut..."

"Tetapi Engkau, jika Kau bisa, maukah Kau datang untukku ketika aku dalam penderitaan hebat? Berjanjilah padaku!"

"Aku berjanji dan bahkan lebih dari itu."

"Selagi mereka bersiap, beritahu aku apa yang telah Engkau lakukan pagi ini..."

Dan Yesus, duduk di pinggir ranjang kecil itu dengan menggenggam salah satu tangan kurus Lazarus dalam tangan-Nya sendiri, menceritakan kepadanya secara rinci apa yang terjadi, hingga Lazarus, yang kelelahan, tertidur. Yesus tidak meninggalkannya bahkan saat itu. Dia tetap diam agar tidak mengganggu tidurnya yang akan menyegarkannya dan membuat isyarat agar yang lainnya sebisa mungkin tidak menimbulkan keributan, sebegitu rupa hingga Marta, sesudah membawakan minuman untuk Yesus, undur diri dengan berjinjit, menarik tirai tebal dan menutup pintu yang kokoh. Kebisingan dari rumah yang sibuk itu dengan demikian diredam hingga menjadi nyaris tak terdengar. Lazarus tidur pulas. Yesus tenggelam dalam doa dan meditasi.

Beberapa jam berlalu demikian, hingga Maria Magdala membawakan sebuah lampu kecil, karena hari mulai gelap dan jendela-jendela ditutup.

"Apakah dia masih tidur?" bisiknya.

"Ya. Dia sangat tenang. Itu akan baik untuknya."

"Dia tidak pernah tidur sebegitu lama selama berbulan-bulan... Aku pikir bahwa takut akan kematian membuatnya gelisah. Dengan Engkau di dekatnya dia tidak takut apa pun... Dia beruntung!"

"Kenapa, Maria?"

"Karena dia akan bisa beroleh kesempatan Engkau ada di sampingnya ketika dia meninggal. Tetapi aku..."

"Kenapa tidak?"

"Karena Engkau mau mati... segera. Dan siapakah yang tahu kapan aku akan mati. Biarkan aku mati sebelum-Mu, Guru!"

"Tidak, kau akan harus melayani Aku untuk waktu yang lama."

"Jadi aku benar mengatakan bahwa Lazarus beruntung!"

"Semua yang terkasih akan seberuntung dia, bahkan lebih lagi..."

"Siapakah mereka? Yang murni, bukan?"

"Mereka yang tahu bagaimana mengasihi secara total. Kau, misalnya, Maria."

"Oh! Guru-ku!" Maria menjatuhkan diri di atas tikar warna-warni yang menutupi lantai ruangan, dan dia tetap di sana, memuja Yesus-nya.

Marta yang sedang mencarinya menjengukkan kepala ke dalam kamar. "Ayo! Kita harus mempersiapkan aula merah untuk perjamuan Tuhan."

"Tidak, Marta. Berikan ruangan itu kepada tamu-tamu yang paling sederhana, misalnya kepada para petani  Yohanan."

"Kenapa, Guru?"

"Karena setiap orang miskin adalah Yesus dan Aku ada dalam mereka semua. Selalu kasihilah orang miskin yang tidak dikasihi siapa pun, jika kau ingin menjadi sempurna. Persiapkanlah untuk-Ku di aula masuk. Jika kau membiarkan pintu-pintu dari banyak ruangan yang berada di atasnya terbuka, setiap orang akan bisa melihat Aku dan Aku akan melihat setiap orang."

Marta, yang tidak terlalu senang, berkeberatan, "Apa? Engkau di aula masuk?... Itu tidak pantas untuk-Mu!..."

"Pergi, lakukanlah seperti yang Aku katakan. Adalah paling pantas untuk melakukan apa yang dinasihatkan Guru."

Marta dan Maria keluar tanpa suara dan Yesus tetap dengan sabar menjaga sahabat-Nya yang sedang beristirahat.




Perjamuan sekarang sudah dimulai, dengan pembagian para tamu, yang dari sudut pandang manusia sangat tidak tepat, tetapi pembagian dari sudut pandang yang lebih mulia yang bertujuan untuk memberikan kehormatan dan kasih kepada mereka yang biasanya diabaikan oleh dunia.

Jadi para petani Yohanan dengan Marjiam, Ishak dan murid-murid lainnya duduk di aula merah yang agung nan megah, yang kubahnya ditopang oleh dua kolom batu porfiri merah; di antara kedua kolom itulah sebuah meja panjang ditempatkan. Di aula di mana mereka makan pada malam sebelumnya, ada lebih banyak murid dari golongan yang paling sederhana. Di aula putih, kemegahan mimpi putih, ada para murid perawan, dan bersama mereka yang hanya berjumlah empat orang, ada kedua saudari Lazarus dan Anastasica dan para perempuan muda lainnya. Tetapi ratu dari pesta itu adalah Maria, Perawan utama. Di ruang sebelah, yang mungkin adalah sebuah perpustakaan karena di sekeliling tembok ada rak-rak buku yang tinggi gelap, yang mungkin memuat gulungan-gulungan kitab, ada para janda dan para istri dan mereka diurus oleh Eliza dari Bet-Zur dan Maria Alfeus. Dan seterusnya.

Namun yang mengejutkan orang adalah melihat Yesus di aula masuk marmer. Memang benar bahwa cita rasa tinggi dari kedua saudari Lazarus sudah mengubah pintu masuk persegi menjadi sebuah aula besar, yang lebih cemerlang, lebih semarak dan indah daripada aula mana pun. Tetapi tetap saja itu adalah pintu masuk! Yesus ada bersama Keduabelas Rasul, dengan Lazarus di samping-Nya. Dan bersama Lazarus ada juga Maximinus.

Perjamuan berlangsung sesuai ritus... dan Yesus bersinar dengan sukacita dan kegembiraan berada di tengah-tengah semua murid-Nya yang setia.

Ketika makan malam usai, cawan terakhir sudah diteguk dan mazmur terakhir sudah dimadahkan, semua orang yang berada di ruangan-ruangan yang berbeda berkerumun di pintu masuk. Namun tidak semua mereka bisa masuk, karena meja-meja memakan banyak tempat.

"Mari kita pergi ke aula merah, Guru. Kami akan mendorong meja ke dinding dan kami semua akan bisa berada di sekeliling-Mu," saran Lazarus yang memberi isyarat kepada para pelayan untuk melakukannya.

Yesus, Yang duduk di tengah, di antara dua kolom yang berharga, di bawah kandelar yang cemerlang, di atas podium tinggi yang dibangun dari dua tempat duduk-tidur yang digunakan untuk makan malam, sekarang benar-benar kelihatan seperti seorang raja di atas singgasana di tengah-tengah para pejabat istana-Nya. Jubah linen-Nya, yang Dia kenakan sebelum makan malam, bercahaya seolah-olah ditenun dengan benang-benang berharga, dan bahkan terlihat lebih putih di tengah dinding merah buram dan kolom-kolom merah cerah. Dan wajah-Nya benar-benar ilahi dan agung saat Dia berbicara atau mendengarkan orang-orang yang di sekeliling-Nya. Bahkan orang-orang yang paling sederhana, yang Dia inginkan berada dekat-Nya, berbicara dengan percaya diri, mengutarakan harapan mereka, kekhawatiran mereka dengan kesederhanaan dan iman, karena mereka merasa bahwa mereka dikasihi seperti saudara oleh mereka yang lain.

Namun yang paling berbahagia di antara begitu banyak orang yang berbahagia adalah kakek Marjiam! Dia tidak terpisah dari cucunya bahkan sekejap pun, dan dia senang menatapnya dan mendengarkannya ... Sesekali, saat dia duduk di samping Marjiam, yang berdiri, dia menyandarkan kepalanya yang sudah berambut putih di dada cucunya, yang membelainya.

Yesus melihat dia melakukan ini beberapa kali dan Dia bertanya kepadanya, "Bapa, apakah hatimu bahagia?"

"Oh! sangat bahagia, Tuhan-ku! Aku tidak percaya bahwa ini benar. Aku hanya punya satu keinginan sekarang..."

"Apakah itu?"

"Yang aku katakan kepada anakku. Tapi dia tidak menyetujuinya."

"Apakah keinginanmu?"

"Aku ingin mati, jika mungkin, dalam kedamaian ini. Setidaknya, segera. Karena aku sudah menerima berkat terbesar. Tidak ada manusia yang bisa mendapatkan lebih di bumi. Aku ingin pergi... tidak lagi menderita... pergi... Betapa tepat Engkau berkata di Bait Allah, Tuhan! 'Mempersembahkan kurban dari harta milik orang miskin adalah sama jahatnya seperti menyembelih seorang putera tepat di depan mata ayahnya.' Hanya ketakutannya kepada-Mu yang mencegah Yohanan bersikap seperti Doras. Dia lupa pada apa yang terjadi pada Doras, sebab ladang-ladangnya subur dan dia menyuburkannya dengan keringat kami. Bukankah keringat adalah harta milik pekerja miskin, dirinya sendiri yang kehabisan tenaga oleh pekerjaan yang melebihi kekuatannya? Dia tidak memukuli kami, dia memberi kami cukup untuk memungkinkan kami bekerja. Tetapi tidakkah dia mengeksploitasi kami lebih dari lembu-lembunya? Maukah kamu mengatakannya pada-Nya, teman-temanku..."

Para petani Yohanan baik yang baru maupun yang lama mengangguk setuju.

"Hm! Aku pikir itu... Ya, bahwa perkataan-Mu sudah membuatnya menjadi vampir yang lebih ganas... menyengsarakan mereka... Mengapa Engkau mengatakannya, Guru?" tanya Petrus.

"Karena dia pantas mendapatkannya. Bagaimana menurutmu, kalian para pekerja ladangnya?"

"Oh! Ya! Bulan-bulan pertama... baik-baik saja. Tapi sekarang... lebih buruk dari sebelumnya," tegas Mikha.

"Ember sumur tertarik ke bawah karena bebannya sendiri," kata Yohanes imam.

"Ya, dan serigala segera bosan kelihatan seperti anak domba," tegas Hermas.

Para perempuan, yang sangat tersentuh hatinya, saling berbisik satu sama lain.

Yesus menatap para petani miskin itu dengan mata terbuka lebar karena iba, dan Dia sedih tidak bisa meringankan derita mereka.

Lazarus berkata, "Aku menawarkan sejumlah uang yang tidak masuk akal demi memiliki ladang-ladang itu dan memberikan kedamaian bagi orang-orang ini. Tapi aku tidak berhasil mendapatkannya. Doras membenciku, dia persis seperti ayahnya."

"Yah... kita akan mati seperti itu. Ini adalah nasib kita. Tapi saat bagi kita untuk beristirahat di pangkuan Abraham pasti akan datang!" seru Saul, seorang petani Yohanan lainnya.

"Di pangkuan Tuhan, nak! Di pangkuan Tuhan. Penebusan akan digenapi, surga akan terbuka dan kau akan pergi ke surga dan..."

Seseorang menggedor pintu utama, yang bergema keras. Para tamu menjadi cemas.

"Siapa itu?"

"Siapa yang berkeliaran pada malam Paskah?"

"Para prajurit?"

"Kaum Farisi?"

"Prajurit Herodes?"

Namun sementara kecemasan menjalar, Lewi, pengurus istana, muncul. "Maafkan aku, Rabbi," katanya, "ada seorang laki-laki yang mencari-Mu. Dia ada di pintu masuk. Dia terlihat sangat galau. Dia sudah tua dan kelihatannya seperti seorang tokoh. Dia ingin segera bertemu dengan-Mu."

"Hei! Ini bukan petang untuk mengerjakan mukjizat! Katakan padanya untuk kembali besok..." kata Petrus.

"Tidak. Setiap petang adalah waktu untuk mukjizat dan belas kasihan," kata Yesus seraya berdiri dan turun dari tempat-Nya untuk menuju aula.

"Apakah Engkau pergi sendirian? Aku akan ikut denganmu," kata Petrus.

"Tidak, kau tetap di sini." Dia pergi bersama Lewi.

Dekat pintu utama yang berat, di ujung lain pintu masuk, yang sekarang setengah gelap karena semua lampu sudah dipadamkan, ada seorang lelaki tua yang sangat kalut. Yesus menghampirinya.

"Berhenti, Guru. Aku mungkin sudah menyentuh mayat dan aku tidak ingin mencemari-Mu. Aku kerabat Samuel, tunangan Annalea. Kami makan malam dan Samuel minum sepanjang waktu... padahal itu tidak benar. Tetapi pemuda itu tampaknya sudah menjadi gila untuk beberapa waktu lamanya. Penyesalan, Tuhan! Dia setengah mabuk dan sembari meneguk minumannya lagi dia berkata: 'Jadi aku tidak ingat apakah aku mengatakan kepada-Nya bahwa aku membenci-Nya. Karena, aku harus memberitahumu bahwa aku mengutuk Rabbi.' Dan dia tampak seperti Kain bagiku, karena dia terus mengulangi: 'Kejahatanku terlalu besar. Aku tidak pantas diampuni! Aku harus minum! Aku harus minum supaya melupakannya. Karena ada tertulis bahwa dia yang mengutuk Tuhan-nya akan menanggung dosanya dan harus mati.' Dia mengoceh seperti itu ketika seorang kerabat dari ibu Annalea datang ke rumah untuk menanyakan penolakan itu. Samuel, yang nyaris mabuk, menjawab dengan kata-kata kasar dan laki-laki itu mengancam akan membawanya ke pengadilan atas aib yang diakibatkannya dengan mencoreng kehormatan keluarga. Samuel menampar wajahnya. Mereka berkelahi ... Aku sudah tua, saudara perempuanku sudah tua, pelayan dan pembantu perempuan kami juga sudah tua. Apa yang bisa dilakukan oleh kami berempat dan kedua gadis itu, saudari-saudari perempuan Samuel? Yang bisa kami lakukan hanyalah berteriak dan mencoba memisahkan mereka! Tidak ada yang lain... Dan Samuel mengambil kapak yang tadinya kami gunakan untuk menyiapkan kayu bakar untuk anak domba dan menghantamkannya ke kepala orang itu... Dia tidak membelah kepalanya, karena dia memukulnya dengan gagangnya dan bukan dengan pisaunya. Laki-laki itu terhuyung-huyung seraya meracau dan roboh... Kami tidak berteriak lagi... karena kami tidak ingin menarik perhatian orang... Kami mengunci pintu ... Kami ketakutan... Kami menuangkan air ke kepala orang itu berharap dia siuman. Tapi dia terus meracau sepanjang waktu. Dia pasti sedang sekarat. Kadang-kadang dia tampak mati. Jadi aku berlari ke sini untuk memanggil-Mu. Para kerabatnya akan mencarinya besok, mungkin lebih awal. Dan mereka akan mendatangi kami, karena mereka tahu pasti bahwa dia datang ke sini. Dan mereka akan menemukannya mati... Dan Samuel, menurut Hukum, akan dibunuh... Tuhan! Tuhan! Aib sudah menimpa kami... Kami tidak menginginkan itu! Demi saudariku, Tuhan, kasihanilah kami! Samuel mengutukmu... Tapi ibunya mengasihi-Mu... Apa yang harus kami lakukan?"

"Tunggu Aku di sini. Aku akan segera datang," dan Yesus kembali ke aula dan dari pintu Dia memanggil, "Yudas Keriot, ikutlah Aku."

"Ke mana, Tuhan?" tanya Yudas yang langsung taat.

"Kau akan lihat. Kalian semua tinggal di sini dalam damai dan kasih. Kami akan segera kembali."

Mereka keluar aula, melewati pintu masuk dan meninggalkan rumah. Melalui jalanan yang gelap dan sepi, mereka segera tiba di rumah tragedi itu.

"Rumah Samuel?! Kenapa?..."

"Diamlah, Yudas. Aku membawamu bersama-Ku, karena aku mengandalkan akal sehatmu."

Laki-laki tua itu muncul. Mereka masuk. Mereka naik ke atas, ke ruang perjamuan, di mana mereka sudah menyeret orang yang terluka itu.

"Orang mati?! Tapi Guru, kita akan terkontaminasi!"

"Dia tidak mati. Kau bisa lihat bahwa dia bernapas dan kau bisa mendengarnya mengerang. Sekarang Aku akan menyembuhkannya..."

"Tapi kepalanya sudah dihantam! Itu kejahatan! Siapa yang melakukannya?... Dan pada hari anak domba!" Yudas merasa ngeri.

"Dia," kata Yesus menunjuk ke arah Samuel yang meringkuk di sebuah pojok, lebih dekat dengan kematian dibandingkan orang sekarat itu, terengah-engah karena teror sementara yang lainnya mengeluarkan suara ngorok di kerongkongannya, dengan sebagian mantelnya di atas kepalanya untuk tidak melihat dan untuk tidak terlihat, dipandang dengan ngeri oleh semua orang, kecuali ibunya yang dengan horor kejahatan itu merasakan siksaan dari seorang anak yang bersalah yang sudah dikutuk oleh hukum Israel yang kaku. "Apa kau lihat ke mana dosa pertama sudah membawamu? Ke sini, Yudas! Dia mulai dengan bersumpah palsu atas si gadis, kemudian atas Tuhan; kemudian dia menjadi pemfitnah, pendusta, penghujat, kemudian dia minum dan sekarang dia seorang pembunuh. Begitulah cara seseorang menjadi budak Iblis, Yudas. Selalu camkan itu dalam benakmu..." Yesus sangat khidmat sementara Dia menunjuk ke arah Samuel dengan tangan-Nya terulur.

Yesus kemudian menatap ibu Samuel, yang berpegangan pada daun jendela nyaris tidak mampu berdiri dan sebab dilanda teror kelihatan seolah sekarat, dan Dia berkata sedih, "Yudas, begitulah para ibu yang malang dibunuh bukan dengan senjata melainkan dengan kejahatan anaknya!... Aku merasa kasihan padanya. Aku merasa kasihan pada para ibu! Aku, Putra, Yang akan melihat tidak ada belas kasihan untuk BundaNya..."

Yesus menangis... Yudas menatap-Nya dengan bingung... Yesus membungkuk di atas orang yang sekarat itu dan meletakkan tangan-Nya di atas kepalanya. Dia berdoa.

Orang itu membuka matanya. Dia terlihat terperanjat dan takjub... tapi segera tersadar. Dia membuat dirinya duduk dengan bantuan lengannya. Dia menatap Yesus dan bertanya, "Siapakah Engkau?"

"Yesus dari Nazaret."

"Yang Kudus! Mengapakah Engkau di sini bersamaku! Di mana aku! Di mana saudara perempuanku dan putrinya? Apa yang telah terjadi?" Dia mencoba mengingat.

"Sobat, kau menyebut-Ku Yang Kudus. Jadi, percayakah kau bahwa Aku demikian?"

"Ya, Tuhan. Aku percaya. Engkau adalah Mesias Tuhan."

"Jadi, apakah sabda-Ku sakral bagimu?"

"Ya, Tuhan, benar."

"Maka..." Yesus berdiri. Dia tampak berwibawa, "Maka Aku, sebagai Guru dan Mesias, memerintahkanmu untuk mengampuni. Kau datang ke sini dan kau dihina..."

"Ah! Samuel! Tentu saja!... Kapak! Aku akan melaporkan..." katanya sembari bangun.

"Tidak. Ampunilah dalam nama Tuhan. Itu sebabnya Aku menyembuhkanmu. Kau mengurus ibu Annalea karena dia menderita. Ibu Samuel akan terlebih menderita. Jadi ampunilah."

Laki-laki itu agak bimbang. Dia menatap pada orang yang melukainya itu dengan perasaan yang jelas tidak suka. Dia menatap pada ibu yang berduka. Dia menatap pada Yesus Yang memerintahkannya... Dia tidak bisa mengambil keputusan.

Yesus merentangkan kedua tangan-Nya ke arahnya, dan menariknya ke dalam pelukan-Nya seraya berkata, "Demi Aku!"

Orang itu mulai menangis... Berada dalam pelukan Mesias seperti itu, merasakan napas-Nya di rambutnya dan ciuman di mana tadinya ada luka!... Dia menangis...

Yesus berkata, "Ya, apakah itu benar? Kau mengampuninya demi Aku? Oh! Diberkatilah yang berbelas kasihan! Menangislah, menangislah di Hati-Ku. Biarkan semua perasaan tidak suka keluar bersama air matamu! Semuanya baru! Semuanya murni! Ya, baik begitu! Jadilah lemah lembut! Oh! lemah lembut, sebab anak Tuhan seharusnya demikian..."

Laki-laki itu menatap dan, masih menangis, berkata, "Ya. Kasih-Mu begitu manis! Annalea benar! Aku sekarang mengerti dia... Perempuan, janganlah menangis lagi! Yang lalu biarlah berlalu. Tidak akan ada seorang pun yang tahu dari mulutku. Sayangi anakmu, asalkan dia bisa memberimu kebahagiaan. Selamat tinggal perempuan. Aku akan pulang ke rumahku," dan dia akan segera pergi.

Yesus berkata kepadanya, "Aku ikut bersamamu, sobat. Selamat tinggal, ibu. Selamat tinggal, Abraham. Selamat tinggal, gadis-gadis." Tidak sepatah kata pun untuk Samuel, yang juga tidak berkata apa pun.

Ibunya merenggut mantel dari kepalanya, dan sebagai akibat dari apa yang dia derita, dia menyerbu putranya, "Berterima-kasihlah kepada Juruselamat-mu, orang yang tidak punya hati! Berterima-kasihlah kepada-Nya, kau orang yang tidak berguna!..."

"Biarkan dia, perempuan. Kata-katanya tidak akan ada gunanya. Anggur membuatnya bodoh dan jiwanya tumpul. Berdoalah untuknya... Selamat tinggal."

Dia turun ke bawah, di jalan Dia bergabung dengan Yudas dan laki-laki lainnya itu, Dia membebaskan diri dari Abraham tua, yang ingin mencium tangan-Nya, dan Dia mulai melangkah di bawah sinar bulan yang datang awal.

"Apakah kau tinggal jauh dari sini?" Dia bertanya pada laki-laki itu.

"Di kaki Moria."

"Kalau begitu kita harus berpisah."

"Tuhan, Engkau telah menyelamatkanku demi anak-anakku, istriku, hidupku. Apa yang harus aku lakukan untuk-Mu?"

"Jadilah baik, ampuni dan diamlah. Jangan pernah, untuk alasan apa pun, kau menceritakan sepatah kata pun tentang apa yang terjadi. Maukah kau berjanji?"

"Aku bersumpah untuk itu demi Bait Suci! Tetapi, aku menyesal aku tidak bisa mengatakan bahwa Engkau telah menyelamatkanku..."

"Jadilah benar, dan Aku akan menyelamatkan jiwamu. Dan kau akan bisa mengatakan itu. Selamat tinggal, sobat. Damai sertamu."

Laki-laki itu berlutut untuk menyalami-Nya. Mereka berpisah.

"Betapa mengerikan!" kata Yudas sesudah mereka sendirian.

"Ya. Mengerikan. Yudas, kau juga jangan bicara."

"Tidak, Tuhan, aku tidak akan bicara. Tetapi mengapa Kau menginginkanku bersama-Mu?"

"Bukankah kau senang mendapatkan kepercayaan dari-Ku?"

"Oh! Sangat! Tetapi..."

"Tetapi karena Aku ingin kau merenungkan apa yang bisa diakibatkan oleh kepalsuan, tamak uang, pesta pora, dan praktik agama yang mati, yang tidak lagi dirasakan dan dipraktikkan secara rohani. Apa makna perjamuan simbolis bagi Samuel? Tidak ada! Minum-minum. Sakrilegi. Dan melalui itu dia menjadi pembunuh. Banyak orang di masa mendatang akan seperti dia, dan dengan kecapan Anak Domba di mulut mereka, bukan anak domba yang lahir dari domba, melainkan Anak Domba ilahi, mereka akan melakukan kejahatan. Mengapa? Bagaimana? Tidakkah kau bertanya mengapa? Bagaimanapun Aku akan memberitahumu: karena mereka akan sudah mempersiapkan saat itu melalui perbuatan-perbuatan sebelumnya yang dilakukan dengan ceroboh pertama-tama, dan kemudian dengan keras kepala. Ingatlah itu, Yudas."

"Ya, Guru. Tapi apakah yang akan kita katakan kepada yang lain-lainnya?"

"Bahwa seseorang sakit parah. Itulah kebenarannya."

Mereka berbelok di sudut jalan dan aku tidak lagi melihat mereka.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 6                 Daftar Istilah                    Halaman Utama