Katekese tentang Misa Kudus
![]() oleh Paus Fransiskus
![]() ![]() ![]() VII. "Madah Kemuliaan"
X. sedang diterjemahkan
XI. sedang diterjemahkan
XII. sedang diterjemahkan
XIII. sedang diterjemahkan
XIV. sedang diterjemahkan
XV. sedang diterjemahkan
(Audiensi Umum 8 November 2017)
Saudara dan saudari terkasih, Selamat pagi!
Hari ini kita memulai rangkaian katekese baru yang akan mengarahkan pandangan kita ke "jantung" Gereja, yaitu Ekaristi. Sangatlah mendasar bahwa kita umat Kristen memahami dengan jelas nilai dan pentingnya Misa Kudus, untuk semakin lebih lagi menghayati hubungan kita dengan Allah.
Kita tidak bisa melupakan sejumlah besar orang Kristen yang, di seluruh dunia, dalam 2.000 tahun sejarah, telah mati demi membela Ekaristi; dan berapa banyak yang, sampai hari ini, mempertaruhkan nyawa mereka untuk ikut ambil bagian dalam Misa Minggu. Pada tahun 304, selama Penganiayaan Diokletianus, sekelompok orang Kristen dari Afrika Utara dikejutkan saat mereka sedang merayakan Misa di sebuah rumah, dan ditangkap. Dalam interogasi, Prokonsul Romawi bertanya kepada mereka mengapa mereka melakukannya, meskipun sudah mengetahui bahwa itu sama sekali dilarang. Mereka menjawab: "Tanpa hari Minggu kami tidak bisa hidup," yang berarti: jika kita tidak bisa merayakan Ekaristi, kita tidak bisa hidup; kehidupan Kristiani kita akan mati.
Sesungguhnya, Yesus berkata kepada murid-muridnya: "Jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman" (Yoh 6:53-54).
Orang-orang Kristen dari Afrika Utara itu dibunuh karena mereka merayakan Ekaristi. Mereka memberi kesaksian bahwa orang bisa meninggalkan kehidupan duniawi demi Ekaristi, karena Ekaristi memberi kita kehidupan kekal, menjadikan kita peserta dalam kemenangan Kristus atas kematian. Kesaksian ini menantang kita semua dan meminta tanggapan kita tentang apa arti bagi kita masing-masing ambil bagian dalam Kurban Misa dan menghampiri Meja Tuhan. Apakah kita sedang mencari mataair itu yang "memancarkan air hidup" untuk hidup yang kekal?; yang menjadikan hidup kita sebagai kurban rohani pujian dan syukur dan menjadikan kita satu tubuh dalam Kristus? Inilah makna terdalam dari Ekaristi Kudus, yang berarti "ucapan syukur": ucapan syukur kepada Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus, yang melibatkan kita dan mengubah kita dalam persekutuan kasih-Nya.
Dalam katekese-katakese yang akan datang saya ingin menjawab beberapa pertanyaan penting tentang Ekaristi dan Misa, untuk menemukan kembali, atau menemukan, bagaimana kasih Allah bersinar melalui misteri iman ini.
Konsili Vatikan II sangat diilhami oleh kerinduan untuk menghantar umat Kristiani untuk memahami keagungan iman dan keindahan perjumpaan dengan Kristus. Untuk alasan ini, pertama-tama perlu untuk menerapkan, dengan bimbingan Roh Kudus, pembaharuan Liturgi yang tepat, karena Gereja terus-menerus hidup darinya dan memperbaharui dirinya berkat itu.
Tema sentral yang ditekankan oleh para Bapa Konsili adalah formasi liturgi umat beriman, yang sangat diperlukan untuk pembaharuan sejati. Justru pembaharuan ini dan juga tujuan dari rangkaian katekese ini yang kita mulai sekarang ini: untuk menumbuhkan dalam pemahaman kita karunia agung yang telah Allah anugerahkan kepada kita dalam Ekaristi.
Ekaristi adalah peristiwa menakjubkan di mana Yesus Kristus, hidup kita, menghadirkan diri. Ambil bagian dalam Misa "benar-benar menghidupkan kembali sengsara dan wafat Tuhan kita yang mendatangkan penebusan. Itu adalah manifestasi yang kasat mata: Tuhan menghadirkan diri di altar untuk dipersembahkan kepada Bapa demi keselamatan dunia" (Homili di Domus Sanctae Marthae, 10 Februari 2014). Tuhan ada di sana bersama kita, hadir. Begitu sering kita pergi ke sana, melihat-lihat, berbicara di antara kita sendiri saat imam merayakan Ekaristi... dan kita tidak merayakannya dekat dengan Dia. Tapi itu adalah Tuhan! Jika hari ini Presiden Republik atau seorang tokoh dunia yang sangat penting akan datang, pasti kita semua ingin dekat dengannya, kita ingin menyambutnya. Tetapi pikirkan: ketika kamu pergi ke Misa, Tuhan ada di sana! Dan kamu distraksi [tidak bisa berkonsentrasi karena pikiranmu sibuk]. Itu Tuhan! Kita harus merenungkan ini. "Romo, Misa-nya membosankan" - "Tapi apa yang kamu katakan, bahwa Tuhan itu membosankan?" - "Tidak tidak. Bukan Misa, para imam" - "Ah, semoga para imam bertobat, tetapi Tuhan-lah yang ada di sana!" Apakah kamu mengerti? Jangan lupa itu. "Ambil bagian dalam Misa adalah menghidupkan kembali sengsara dan wafat Tuhan kita yang mendatangkan penebusan."
Sekarang mari kita coba mengajukan beberapa pertanyaan sederhana kepada diri sendiri. Misalnya, mengapa kita membuat Tanda Salib dan melakukan Ritus Tobat di awal Misa? Dan di sini saya ingin menambahkan catatan. Pernahkah kamu memperhatikan bagaimana anak-anak membuat Tanda Salib? Kamu tidak tahu apa yang mereka lakukan, apakah itu Tanda Salib atau tanda tambah. Mereka melakukan ini [gerakan]. Anak-anak harus diajari bagaimana membuat Tanda Salib dengan benar. Beginilah Misa dimulai; beginilah kehidupan dimulai; beginilah hari dimulai.
Artinya bahwa kita ditebus oleh Salib Tuhan. Amati anak-anak dan ajari mereka bagaimana membuat Tanda Salib dengan benar. Dan Bacaan-bacaan itu, selama Misa, mengapa ada di sana? Mengapa ada tiga Bacaan pada hari Minggu dan dua Bacaan pada hari-hari lainnya? Mengapa harus dibacakan? Apa maksud Bacaan dalam Misa? Mengapa harus dibacakan dan apa tujuannya? Atau, mengapa imam yang memimpin perayaan pada suatu saat tertentu mengatakan: "Marilah mengarahkan hati kepada Tuhan"? Dia tidak mengatakan: "Marilah mengarahkan ponsel kita untuk mengambil foto!" Tidak, itu buruk! Saya beritahu, saya menjadi sedih saat saya sedang merayakan Misa di sini di Lapangan Santo Petrus atau di Basilika melihat banyak ponsel diarahkan, tidak hanya oleh umat beriman tetapi juga oleh beberapa imam dan bahkan uskup! Tapi tolong! Misa bukanlah tontonan: kita akan menghidupkan kembali Sengsara dan Kebangkitan Tuhan. Inilah sebabnya imam berkata: "Marilah mengarahkan hati kita." Apa ini artinya? Ingat: tidak ada ponsel.
Sangat penting untuk kembali ke dasar, untuk menemukan kembali apa yang penting, melalui apa yang kita sentuh dan lihat dalam perayaan Sakramen. Pertanyaan Rasul Santo Thomas (bdk. Yoh 20:25), yang berusaha untuk melihat dan menyentuh luka-luka paku di tubuh Yesus, dan kerinduan untuk dengan cara tertentu dapat "menyentuh" Allah untuk percaya kepada-Nya. Apa yang Santo Thomas minta dari Tuhan adalah apa yang kita semua butuhkan: melihat-Nya, menyentuh-Nya agar kita dapat mengenal-Nya. Sakramen memenuhi kebutuhan manusia ini. Sakramen-sakramen, perayaan Ekaristi secara istimewa, adalah tanda-tanda kasih Allah, hak istimewa bagi kita untuk berjumpa dengan-Nya.
Oleh karena itu, melalui rangkaian katekese yang kita mulai hari ini, saya ingin bersamamu menemukan kembali keindahan yang tersembunyi dalam perayaan Ekaristi dan yang, begitu terungkap, memberi makna penuh bagi kehidupan setiap orang. Semoga Bunda Maria menemani kita di bentangan jalan yang baru ini.
(Audiensi Umum 15 November 2017)
Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!
Kita melanjutkan katekese tentang Misa Kudus. Untuk menggambarkan keindahan perayaan Ekaristi, saya ingin memulai dengan aspek yang sangat sederhana: Misa adalah doa; tepatnya, Misa adalah doa yang par excellence, yang tertinggi, yang termulia, dan sekaligus yang paling "konkret". Sesungguhnya, Misa adalah perjumpaan penuh kasih dengan Allah melalui Sabda-Nya dan Tubuh dan Darah Yesus. Misa adalah perjumpaan dengan Tuhan.
Namun, pertama-tama kita harus menjawab sebuah pertanyaan. Apakah sebenarnya doa itu? Doa pertama-tama adalah dialog, hubungan pribadi dengan Allah. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki hubungan pribadi dengan Allah, yang menemukan kepenuhannya yang sempurna hanya dalam perjumpaan dengan Pencipta-nya. Jalan kehidupan menghantar pada perjumpaan definitif dengan Tuhan.
Kitab Kejadian menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, yang adalah Bapa dan Putra dan Roh Kudus, suatu hubungan kasih yang sempurna yang merupakan persekutuan. Dari sini kita dapat memahami bahwa kita semua diciptakan untuk memasuki hubungan kasih yang sempurna, dalam terus-menerus memberikan dan menerima diri kita agar dapat menemukan kepenuhan dari keberadaan kita.
Ketika Musa, di depan semak yang terbakar, menerima panggilan Tuhan, dia menanyakan nama-Nya. Dan bagaimana Allah menjawab? "Aku adalah aku" (Kel 3:14). Ungkapan ini, dalam makna aslinya, mengungkapkan kehadiran dan perkenanan, dan sesungguhnya, segera sesudahnya Allah menambahkan, "Tuhan, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub" (bdk. ayat 15). Jadi, ketika Kristus memanggil para murid-Nya, Dia juga memanggil mereka supaya mereka bia bersama-Nya. Ini sungguh merupakan rahmat terbesar: mampu merasakan bahwa Misa, Ekaristi, adalah momen istimewa bersama Yesus dan, melalui Dia, bersama Allah, dan bersama saudara dan saudari.
Berdoa, seperti setiap dialog sesungguhnya, adalah juga mengetahui bagaimana menjadi diam - dalam dialog ada saat-saat hening - dalam keheningan bersama Yesus. Ketika kita pergi ke Misa, mungkin kita tiba lima menit lebih awal dan mulai mengobrol dengan orang di samping kita. Tapi ini bukan saatnya untuk berbasa-basi; ini adalah saatnya untuk hening untuk mempersiapkan diri kita untuk berdialog. Ini adalah momen untuk permenungan dalam hati, untuk mempersiapkan diri kita untuk perjumpaan dengan Yesus. Keheningan itu sangat penting! Ingat apa yang saya katakan minggu lalu: kita tidak pergi untuk suatu tontonan, kita pergi untuk perjumpaan dengan Tuhan, dan keheningan mempersiapkan kita dan menyertai kita. Berhenti sejenak dalam keheningan bersama Yesus. Dari keheningan misterius dalam Allah ini muncul Sabda-Nya yang menggema dalam hati kita. Yesus sendiri mengajarkan kepada kita bagaimana benar-benar mungkin untuk "bersama" dengan Bapa dan Dia menunjukkannya kepada kita dengan doa-Nya. Injil menunjukkan kepada kita Yesus yang undur diri ke tempat-tempat sunyi untuk berdoa; dengan melihat hubungan akrab-Nya dengan Allah, para murid merasakan kerinduan untuk bisa ambil bagian di dalamnya, dan mereka meminta kepada-Nya, "Tuhan, ajarlah kami berdoa" (Luk 11:1). Yesus menjawab bahwa hal pertama yang diperlukan untuk berdoa adalah bisa mengatakan "Bapa". Marilah kita perhatikan: jika aku tidak bisa mengatakan "Bapa" kepada Allah, aku tidak bisa berdoa. Kita harus belajar mengatakan "Bapa", yaitu menempatkan diri kita di hadapan-Nya dengan kepercayaan seorang anak. Tetapi untuk bisa belajar, kita harus dengan rendah hati menyadari bahwa kita perlu diajari, dan mengatakan dengan tulus hati, 'Tuhan, ajarilah aku berdoa.'
Inilah poin pertama: rendah hati, mengakui diri sebagai anak, beristirahat dalam Bapa, mengandalkan-Nya. Untuk masuk Kerajaan Surga, kita perlu menjadi kecil, seperti anak-anak. Dalam arti, anak-anak tahu bagaimana mengandalkan; mereka tahu bahwa seseorang akan memelihara mereka, mengenai apa yang akan mereka makan, mengenai apa yang akan mereka kenakan dan seterusnya (bdk. Mat 6:25-32). Inilah perspektif pertama: mengandalkan dan percaya, sebagai seorang anak kepada orangtuanya; tahu bahwa Allah mengingatmu, memeliharamu, kamu, saya, semua orang.
Poin kedua, kita juga, menjadi tepat seperti anak-anak; yakni membiarkan diri kita takjub. Seorang anak selalu mengajukan ribuan pertanyaan karena dia ingin menemukan dunia; dan dia bahkan terkagum-kagum pada hal-hal kecil karena semuanya baru baginya. Untuk masuk Kerajaan Surga kita harus membiarkan diri kita takjub. Dalam hubungan kita dengan Tuhan, dalam doa - saya bertanya - apakah kita membiarkan diri kita takjub atau apakah kita beranggapan bahwa berdoa adalah berbicara kepada Allah seperti burung beo? Tidak, doa adalah mengandalkan Allah dan membuka hati untuk membiarkan diri kita takjub. Apakah kita membiarkan diri kita takjub oleh Allah yang selalu adalah Allah ketakjuban? Karena perjumpaan dengan Tuhan selalu merupakan perjumpaan yang hidup; ini bukan pertemuan museum. Ini adalah perjumpaan yang hidup, dan kita pergi ke Misa, bukan ke museum. Kita pergi ke perjumpaan yang hidup dengan Tuhan.
Injil berbicara tentang Nikodemus (Yoh 3:1-21), seorang tetua, seorang pemimpin agama di Israel, yang pergi kepada Yesus untuk mengenal-Nya; dan Tuhan berbicara kepadanya tentang perlunya "dilahirkan kembali" (lih. ayat 3). Tapi apa itu artinya? Bisakah orang "dilahirkan kembali"? Mungkinkah untuk kembali memiliki semangat, sukacita, keajaiban hidup, bahkan dalam menghadapi begitu banyak tragedi? Ini adalah pertanyaan mendasar iman kita, dan ini adalah kerinduan setiap orang beriman sejati: kerinduan untuk dilahirkan kembali, sukacita untuk memulai kembali. Apakah kita memiliki kerinduan ini? Apakah masing-masing kita memiliki kerinduan untuk dilahirkan kembali supaya bisa bertemu dengan Tuhan? Apakah kamu memiliki kerinduan ini? Memang, orang bisa dengan mudah kehilangan kerinduan ini, karena begitu banyak aktivitas, begitu banyak proyek yang harus dilaksanakan, pada akhirnya kita kekurangan waktu dan kehilangan pandangan tentang apa yang mendasar: kehidupan batin hati kita, kehidupan rohani kita, kehidupan kita yang adalah perjumpaan dengan Tuhan dalam doa.
Sesungguhnya, Tuhan mengejutkan kita dengan menunjukkan kepada kita bahwa Dia mengasihi kita bahkan dalam kelemahan-kelemahan kita. "Yesus Kristus ... adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia" (1 Yoh 2:2). Karunia ini, sumber penghiburan sejati - tetapi Tuhan selalu mengampuni kita - ini menghibur; ini adalah penghiburan sejati; ini adalah karunia yang diberikan kepada kita melalui Ekaristi, pesta perkawinan itu di mana Mempelai Laki-laki berjumpa dengan kerapuhan kita. Bisakah saya mengatakan bahwa ketika saya menerima komuni dalam Misa, Tuhan menjumpai kerapuhan saya? Ya! Kita bisa mengatakan begitu karena ini benar! Tuhan menjumpai kerapuhan kita untuk menghantar kita kembali ke panggilan pertama kita: yaitu mahkluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Ini adalah suasana Ekaristi. Ini adalah doa.
(Audiensi Umum 27 November 2017)
Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!
Melanjutkan katekese tentang Misa, kita bisa bertanya pada diri sendiri: apakah sebenarnya Misa itu? Misa adalah kenangan akan Paskah Kristus. Misa membuat kita ambil bagian dalam kemenangan-Nya atas dosa dan maut, dan memberi makna penuh pada hidup kita.
Untuk alasan ini, guna memahami nilai Misa, pertama-tama kita harus memahami makna biblis dari "kenangan". Kenangan tidak hanya berarti mengenangkan peristiwa-peristiwa di masa lampau, tetapi membuatnya dengan suatu cara tertentu dihadirkan dan menjadi hidup lagi. Dengan cara ini umat Israel mengerti pembebasannya dari Mesir: Setiap kali apabila Paskah dirayakan, peristiwa-peristiwa Keluaran dihadirkan kembali dalam kenangan umat beriman, supaya mereka menata kehidupannya sesuai dengan peristiwa-peristiwa itu" (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1363). Yesus Kristus, dengan sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga membawa Paskah ke penggenapannya. Dan Misa adalah kenangan akan Paskah-Nya, akan "keluaran-Nya", yang Dia lakukan untuk kita, untuk menghantar kita keluar dari perbudakan dan memperkenalkan kita ke tanah terjanji kehidupan kekal. Misa bukan sekedar kenangan, bukan. Misa lebih dari itu: Misa menghadirkan apa yang terjadi 20 abad yang silam.
Ekaristi selalu menghantar kita ke puncak tindakan penyelamatan oleh Allah: Tuhan Yesus, menjadikan Diri-Nya Roti yang dipecah-pecahkan untuk kita, mencurahkan ke atas kita kerahiman-Nya dan kasih-Nya, seperti yang Dia lakukan di Salib, dengan demikian memperbaharui hati kita, keberadaan kita dan cara kita berhubungan dengan-Nya dan dengan saudara-saudari kita. Konsili Vatikan II mengatakan: "Setiap kali kurban salib, di mana Kristus Paskah kita dikurbankan, dirayakan di altar, dilaksanakanlah karya penebusan kita" (Dogmatic Constitution Lumen Gentium, 3).
Setiap perayaan Ekaristi adalah sinar dari matahari yang tidak pernah terbenam yaitu Yesus yang Bangkit. Ambil bagian dalam Misa, teristimewa pada hari Minggu, berarti memasuki kemenangan Dia yang Bangkit, dengan diterangi oleh cahaya-Nya, dihangatkan oleh belas kasih-Nya. Melalui perayaan Ekaristi Roh Kudus menjadikan kita peserta dalam kehidupan ilahi yang mampu mengubah seluruh kefanaan kita. Dalam perjalanan-Nya dari maut ke hidup, dari waktu ke kekekalan, Tuhan Yesus juga menarik kita bersama-Nya untuk mengalami Paskah. Dalam Misa kita merayakan Paskah. Kita, sepanjang Misa, bersama Yesus, yang wafat dan yang Bangkit, dan Dia menarik kita ke hidup yang kekal. Dalam Misa kita bersatu dengan-Nya. Tepatnya, Kristus tinggal dalam kita dan kita tinggal dalam Dia: "Aku telah disalibkan bersama Kristus; bukan lagi aku yang hidup,' tegas St Paulus, "melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. Itulah pemikiran Paulus.
Sungguh, Darah-Nya membebaskan kita dari maut dan dari ketakutan akan kematian. Darah-Nya membebaskan kita bukan hanya dari kekuasaan kematian jasmani, tetapi dari kematian rohani yang adalah kejahatan, dosa, yang menjerat kita setiap kali kita menjadi korban dari dosa kita sendiri atau dosa orang lain. Demikianlah hidup kita menjadi tercemar; kehilangan keindahan; kehilangan makna; menjadi layu.
Sebaliknya, Kristus memulihkan hidup kita; Kristus adalah kepenuhan hidup, dan ketika Dia menghadapi kematian, Dia menghancurkannya untuk selamanya: "Dengan bangkit Dia menghancurkan kematian dan memulihkan kehidupan" (bdk. Doa Syukur Agung IV). Paskah Kristus adalah kemenangan definitif atas kematian, karena Dia mengubah kematian-Nya dalam tindak kasih yang termulia. Dia wafat demi kasih! Dan dalam Ekaristi, Dia ingin mengkomunikasikan ini, kasih Paskah-Nya yang jaya, kepada kita. Jika kita menyambut-Nya dengan iman, kita juga bisa benar-benar mengasihi Allah dan sesama; kita bisa mengasihi seperti Dia mengasihi kita, dengan memberikan hidup kita.
Jika kasih Kristus ada dalam diriku, aku bisa memberikan diriku sepenuhnya kepada sesama, dalam kepastian batin bahwa meskipun orang lain menyakitiku, aku tidak akan mati; atau aku harus membela diri. Para martir memberikan nyawa mereka dalam kepastian akan kemenangan Kristus atas maut. Hanya jika kita mengalami kuasa Kristus ini, kuasa kasih-Nya, barulah kita benar-benar bebas untuk memberikan diri kita tanpa rasa takut. Inilah Misa: memasuki sengsara, wafat, kebangkitan, kenaikan Yesus; ketika kita pergi ke Misa seolah-olah kita pergi ke Kalvari itu sendiri. Tetapi pikirkan: apakah saat Misa kita pergi ke Kalvari - mari kita renungkan ini dengan membayangkannya - dan kita tahu bahwa manusia itu adalah Yesus. Tetapi apakah kita akan membiarkan diri kita mengobrol, mengambil foto, membuat tontonan kecil? TIDAK! Karena itu adalah Yesus! Kita tentu berhenti sejenak dalam keheningan, dalam duka dan juga dalam sukacita diselamatkan. Saat kita memasuki gereja untuk merayakan Misa, mari kita merenungkan ini: Aku pergi ke Kalvari, di mana Yesus memberikan nyawa-Nya untukku. Dengan cara ini tontonan sirna; obrolan basa-basi lenyap; komentar dan hal-hal ini yang menjauhkan kita dari sesuatu yang begitu indah seperti Misa, kemenangan Yesus.
Saya kira sekarang sudah lebih jelas bagaimana Paskah dihadirkan dan dihayati setiap kali kita merayakan Misa, yang adalah makna dari kenangan. Ambil bagian dalam Ekaristi memungkinkan kita memasuki Misteri Paskah Kristus, memberikan diri kita untuk melintas bersama-Nya dari maut ke hidup, yang berarti di sana, di Kalvari. Misa adalah mengalami Kalvari; Misa bukan tontonan.
(Audiensi Umum 13 Desember 2017)
Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!
Melanjutkan rangkaian katekese tentang Misa, hari ini mari kita bertanya kepada diri sendiri: Mengapa kita pergi ke Misa Hari Minggu?
Perayaan Ekaristi hari Minggu merupakan pusat kehidupan Gereja (bdk. Katekismus Gereja Katolik, n. 2177). Kita umat Kristen pergi ke Misa hari Minggu untuk berjumpa dengan Tuhan Yang Bangkit, atau lebih tepatnya membiarkan diri kita dijumpai oleh-Nya, untuk mendengarkan Sabda-Nya, untuk memberi makan diri kita di meja-Nya, dan dengan demikian kita menjadi Gereja, yakni, Tubuh mistik-Nya yang hidup di dunia.
Sejak awal, murid-murid Yesus memahami ini; mereka merayakan Ekaristi perjumpaan dengan Tuhan pada hari dalam minggu yang oleh orang Ibrani disebut 'hari pertama dalam pekan' dan yang oleh orang Romawi disebut 'hari matahari,' karena pada hari itu Yesus bangkit dari mati dan menampakkan diri kepada para murid, berbicara dengan mereka, makan bersama mereka, memberi mereka Roh Kudus (bdk. Mat 28:1; Mrk 16:9,14; Luk 24:1,13; Yoh 20:1,19), seperti yang kita dengar dalam bacaan Injil. Pencurahan Roh Kudus yang agung pada hari Pentakosta juga terjadi pada hari Minggu, hari ke-50 setelah Kebangkitan Yesus. Oleh karena alasan-alasan inilah, hari Minggu adalah hari suci bagi kita, yang disucikan oleh perayaan Ekaristi, kehadiran Tuhan yang hidup di tengah kita dan bagi kita. Jadi, Misa-lah yang menjadikan hari Minggu itu Kristiani. Hari Minggu Kristiani berkisar sekitar Misa.
Ada komunitas-komunitas Kristen yang, sayangnya, tidak bisa menikmati Misa setiap hari Minggu; mereka juga, bagaimanapun, pada hari yang suci ini, dipanggil untuk berefleksi dalam doa dalam nama Tuhan, dengan mendengarkan Sabda Allah dan memelihara agar kerinduan akan Ekaristi tetap hidup.
Sebagian masyarakat sekuler sudah kehilangan makna Kristiani hari Minggu yang diterangi oleh Ekaristi. Ini sangat memalukan! Dalam konteks ini adalah perlu untuk menghidupkan kembali kesadaran ini, untuk memulihkan makna perayaan, makna sukacita, makna komunitas paroki, solidaritas, istirahat yang memulihkan jiwa dan raga (bdk. KGK, #2177-2178). Dari semua nilai ini, Ekaristi adalah pedoman kita, dari Minggu ke Minggu. Untuk alasan ini Konsili Vatikan II hendak menekankan bahwa 'hari Minggu itu pangkal segala hari pesta. Hari itu hendaknya dianjurkan dan ditandaskan bagi kesalehan kaum beriman, sehingga juga menjadi hari kegembiraan dan bebas dari kerja' (Konstitusi Sacrosanctum Konsili , 106).
Tidak bekerja pada hari Minggu tidak ada pada abad-abad awali: itu adalah kontribusi istimewa kekristenan. Menurut tradisi biblis, orang Yahudi beristirahat pada hari Sabat, sedangkan dalam masyarakat Romawi tidak disediakan hari dalam pekan untuk beristirahat dari kerja. Itu adalah kesadaran Kristiani untuk hidup sebagai anak-anak dan bukan sebagai budak, sebagaimana diilhami oleh Ekaristi, yang telah menjadikan hari Minggu - hampir secara universal - hari istirahat.
Tanpa Kristus kita divonis untuk dikuasai oleh keletihan sehari-hari, dengan kekhawatirannya, dan dengan ketakutan akan masa depan. Perjumpaan hari Minggu dengan Tuhan memberi kita kekuatan untuk mengalami masa sekarang dengan keyakinan dan kegagah beranian, dan untuk maju dengan penuh harapan. Untuk alasan inilah kita orang Kristen pergi untuk berjumpa dengan Tuhan pada hari Minggu, dalam perayaan Ekaristi.
Communio [= persekutuan] Ekaristi dengan Yesus, Yang Bangkit dan senantiasa Hidup, mengantisipasi hari Minggu yang tanpa matahari terbenam, ketika tidak akan ada lagi keletihan atau penderitaan, atau dukacita atau airmata, melainkan hanya sukacita hidup dalam kepenuhannya dan selamanya bersama Tuhan. Misa hari Minggu juga berbicara kepada kita tentang istirahat yang diberkati ini, dengan mengajarkan kepada kita untuk mempercayakan diri kita sepanjang pekan ke dalam tangan Bapa Yang di surga.
Bagaimana kita dapat menanggapi mereka yang mengatakan bahwa tidak ada gunanya pergi ke Misa, bahkan pada hari Minggu, karena yang terpenting adalah hidup baik, mengasihi sesama kita? Memang benar bahwa kualitas hidup Kristiani diukur dari kapasitas untuk mengasihi, seperti yang disbadakan Yesus: 'Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi' (Yoh 13:35 ); tetapi bagaimana kita bisa mengamalkan Injil tanpa menimba energi yang diperlukan untuk melakukannya, dari satu hari Minggu ke hari Minggu lainnya, dari sumber Ekaristi yang tiada ada habisnya? Kita tidak pergi ke Misa untuk memberikan sesuatu kepada Allah, tetapi untuk menerima apa yang benar-benar kita butuhkan dari-Nya. Kita diingatkan tentang hal ini oleh doa Gereja, yang ditujukan kepada Allah dengan cara ini: 'meskipun Engkau tidak memerlukan pujian kami, namun ucapan syukur kami kepada-Mu merupakan anugerah-Mu. Sesungguhnya pujian kami tidak menambah apa pun pada-Mu, tetapi berguna bagi keselamatan kami melalui Kristus Tuhan kami' (Misale Romawi, Prefasi Umum IV).
Kesimpulannya, mengapa kita pergi ke Misa pada hari Minggu? Tidaklah cukup untuk menjawab bahwa itu adalah perintah Gereja; ini membantu melestarikan nilainya, tetapi itu saja tidak cukup. Kita umat Kristen perlu ambil bagian dalam Misa hari Minggu karena hanya dengan rahmat Yesus, dengan kehadiran-Nya yang hidup dalam diri kita dan di tengah kita, kita dapat mengamalkan perintah-Nya, dan dengan demikian menjadi saksi-Nya yang tepercaya.
(Audiensi Umum 20 Desember 2017)
Hari ini saya ingin masuk ke jantung perayaan Ekaristi yang hidup. Misa suci terdiri dari dua bagian, yakni Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Keduanya begitu erat berhubungan, sehingga merupakan satu tindakan ibadat (lih. Sacrosanctum Concilium, n. 56; Pedoman Umum Misale Romawi, n. 28). Perayaan yang, diawali dengan beberapa ritus persiapan dan diakhiri dengan ritus lainnya, dengan demikian membentuk satu tubuh dan tidak dapat dipisahkan, tetapi untuk lebih jelasnya saya akan mencoba menjelaskan berbagai momennya, yang masing-masing mampu menyentuh dan melibatkan satu dimensi dari kemanusiaan kita. Orang harus mengetahui tanda-tanda suci ini untuk mengalami Misa secara penuh dan menikmati semua keindahannya.
Sesudah umat berhimpun, perayaan dibuka dengan Ritus Pembuka, termasuk Perarakan Masuk para selebran atau selebran, Salam - "Tuhan sertamu" atau "Damai sertamu" -, Tobat - "Saya mengaku," yang dengannya kita memohon pengampunan atas dosa-dosa kita -, Kyrie Eleison, Madah Kemuliaan dan Doa Pembuka, yang disebut juga "collect prayer", bukan karena pengumpulan persembahan terjadi saat itu: tetapi ini adalah penyatuan intensi doa semua orang; dan Kumpulkan intensi umat membubung ke surga sebagai satu doa. Tujuannya - yaitu tujuan dari Ritus Pembuka ini - adalah "memastikan bahwa umat beriman yang berkumpul bersama sebagai satu, membangun communio [= persekutuan] dan menyatukan hati serta pikiran untuk mendengarkan Sabda Allah dengan penuh perhatian dan untuk merayakan Ekaristi dengan layak" (Pedoman Umum Misale Romawi, n. 46). Bukan kebiasaan yang baik untuk memeriksa jam tanganmu dan berkata: "Aku datang tepat waktu; aku tiba sesudah homili dan dengan begini aku memenuhi perintah Gereja." Misa diawali dengan Tanda Salib, pada Ritus Pembuka ini, karena di sanalah kita mulai menyembah Allah sebagai komunitas. Dan untuk alasan ini penting untuk memastikan bahwa kamu tidak datang terlambat, tetapi lebih awal, guna mempersiapkan hati untuk ritus ini, untuk perayaan komunitas ini.
Pada umumnya, sementara himne masuk dinyanyikan, imam, bersama para pelayan altar, menghampiri altar dalam suatu perarakan, dan memberi hormat dengan membungkukkan badan dan, sebagai tanda hormat, mencium altar dan, apabila ada dupa, mendupainya. Mengapa? Karena altar adalah Kristus: altar adalah figur Kristus. Ketika kita melihat altar, kita sedang tepat melihat Kristus. Altar adalah Kristus. Gerak isyarat ini, yang mungkin terlewatkan tanpa diperhatikan, sangat penting, karena sejak semula menyatakan bahwa Misa adalah perjumpaan kasih dengan Kristus, yang, dengan mempersembahkan Tubuh-Nya di Salib, menjadi "Imam, Altar dan Anak Domba. " (lih. Prefasi v Paskah). Sesungguhnya, altar, sebagai simbol Kristus, adalah "pusat ucapan syukur yang diselenggarakan dalam Perayaan Ekaristi" (Pedoman Umum Misale Romawi, n. 296); dan seluruh komunitas [berhimpun] di sekitar altar, yang adalah Kristus, bukan untuk saling melihat satu sama lain, tetapi untuk melihat Kristus, karena Kristus adalah pusat komunitas; Dia tidak jauh darinya.
Kemudian ada tanda Salib. Imam selebran membuat tanda salib pada dirinya sendiri dan semua anggota jemaat melakukan hal yang sama, dengan mengetahui bahwa tindakan liturgis itu dilakukan "dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus". Dan di sini saya hendak menyinggung suatu subjek kecil lainnya. Pernahkah kamu mengamati bagaimana anak-anak membuat Tanda Salib? Mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan: terkadang mereka membuat sebuah desain, yang bukan Tanda Salib. Tolong, ibu dan ayah, kakek dan nenek, ajari anak-anak, sejak awal - sejak usia dini - membuat tanda Salib dengan benar. Dan jelaskan kepada mereka bahwa Tanda Salib berarti memiliki Salib Yesus sebagai perlindungan. Misa dimulai dengan Tanda Salib. Seluruh doa bergerak, bisa dibilang begitu, dalam ruang Tritunggal Mahakudus - "Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus" -, yang adalah ruang communio tanpa batas; ia memiliki seperti pada mulanya dan hingga akhirnya kasih Allah Tritunggal, yang dimanifestasikan dan diberikan kepada kita dalam Salib Kristus. Sesungguhnya, Misteri Paskah-Nya adalah karunia Trinitas, dan Ekaristi mengalir senantiasa dari Hati-Nya yang tertikam. Oleh karenanya, saat kita membuat Tanda Salib, kita tidak hanya mengenangkan Pembaptisan kita, tetapi menegaskan bahwa doa liturgis adalah perjumpaan dengan Allah dalam Yesus Kristus, yang menjadi manusia, wafat di Salib dan bangkit dalam kemuliaan bagi kita.
Karena itu, imam mengucapkan Salam liturgis dengan ungkapan: "Tuhan sertamu" atau yang serupa - ada beberapa; dan umat menjawab: "Dan sertamu juga." Kita sedang berdialog; kita ada di awal Misa dan kita harus berpikir tentang arti penting dari semua gerak-isyarat dan kata-kata ini. Kita memasuki sebuah "simfoni", di mana berbagai nada suara beresonansi, termasuk saat-saat hening, dalam rangka menciptakan "harmoni" di antara semua partisipan, yang mengakui bahwa mereka digerakkan oleh Roh yang unik dan untuk suatu tujuan yang sama. Memang, "Salam imam dengan jawaban dari pihak umat memperlihatkan misteri Gereja yang sedang berkumpul" (Pedoman Umum Misale Romawi, n. 50). Dengan cara ini kita menyatakan iman bersama dan keinginan bersama untuk tinggal bersama Tuhan dan hidup dalam persatuan dengan seluruh komunitas.
Dan ini adalah simfoni doa yang sedang diciptakan, dan yang segera menghadirkan momen yang sangat menyentuh hati, karena imam selebran mengundang semua orang untuk mengakui dosa-dosanya. Kita semua adalah orang berdosa. Saya tidak tahu, mungkin ada seorang di antaramu yang bukan seorang berdosa.... Jika ada seorang yang bukan seorang berdosa, tolong angkat tangan, supaya kita semua bisa melihatnya. Tapi tidak ada yang mengangkat tangan, oke: kamu memiliki iman yang baik! Kita semua adalah orang berdosa; dan untuk alasan ini di awal Misa kita memohon pengampunan. Ini adalah tindakan Tobat. Bukan masalah hanya memikirkan dosa-dosa yang dilakukan, tetapi lebih jauh: itu adalah ajakan untuk mengakui dosa-dosa kita di hadapan Allah dan di hadapan komunitas, di hadapan saudara saudari kita, dengan kerendahan hati dan ketulusan, seperti si pemungut cukai di Bait Allah. Jika Ekaristi benar-benar menghadirkan Misteri Paskah, yang berarti Kristus dari kematian ke kehidupan, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengenali situasi kematian kita sendiri untuk bangkit kembali bersama-Nya ke kehidupan baru. Ini membantu kita memahami betapa pentingnya tindak Tobat itu. Dan kita akan kembali ke tema ini dalam katekese berikutnya.
Kita akan menjelaskan Misa langkah demi langkah. Tapi tolong: ajari anak-anak untuk membuat Tanda Salib dengan benar, tolong!
(Audiensi Umum 3 Januari 2018)
Melanjutkan katekese tentang perayaan Ekaristi, marilah sekarang kita merenungkan Tobat dalam konteks Ritus Pembuka. Tobat menuntut sikap yang dengannya kita siap untuk merayakan misteri suci dengan layak, yaitu, dengan mengakui dosa-dosa kita di hadapan Allah dan saudara-saudari kita, mengakui bahwa kita adalah orang berdosa. Ajakan imam ditujukan kepada seluruh umat yang berdoa, karena kita semua adalah orang berdosa. Apa yang dapat Tuhan berikan kepada orang yang hatinya sudah penuh dengan anggapan diri penting, dengan keberhasilannya sendiri? Tidak ada, karena orang yang angkuh tidak bisa menerima pengampunan, sebab dia sudah puas dengan anggapan diri bahwa dirinya benar. Marilah kita merenungkan perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai, di mana hanya yang terakhir - si pemungut cukai - yang pulang dengan dibenarkan, yaitu diampuni (bdk. Luk 18:9-14). Orang yang menyadari kemalangannya sendiri dan merendahkan tatapan matanya penuh kerendahan hati merasakan tatapan penuh belas kasihan Allah yang tertuju kepadanya. Kita tahu melalui pengalaman bahwa hanya orang yang bisa mengakui kesalahannya dan meminta maaf, yang menerima pengertian dan pengampunan dari orang lain.
Mendengarkan suara hati nurani dalam ketenangan memungkinkan kita untuk mengakui bahwa pikiran kita jauh dari pikiran ilahi, bahwa perkataan kita dan perbuatan kita sering kali dituntun oleh yang duniawi, yaitu oleh pilihan yang bertentangan dengan Injil . Oleh karena itu, pada awal Misa, sebagai komunitas, kita melakukan Tobat melalui rumusan pengakuan dosa umum, yang didaraskan dalam bentuk orang pertama tunggal. Setiap orang mengaku kepada Allah dan kepada saudara-saudarinya "telah berdosa, dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian." Ya, bahkan dalam kelalaian, yaitu lalai melakukan yang baik yang sebenarnya bisa aku lakukan. Kita sering kali merasa bahwa kita baik karena - kita katakan - "Aku tidak berbuat jahat pada siapa pun." Pada kenyataannya, tidak cukup hanya menahan diri dari berbuat jahat kepada sesama kita; kita harus memilih untuk berbuat yang baik, dengan memanfaatkan setiap kesempatan untuk memberikan kesaksian yang baik bahwa kita adalah murid Yesus. Perlu ditekankan bahwa kita mengaku berdosa baik kepada Allah maupun kepada saudara-saudari kita: ini membantu kita memahami dimensi dosa yang, selain memisahkan kita dari Allah, juga memisahkan kita dari saudara-saudari kita, dan sebaliknya. Dosa itu memutus: dosa memutus hubungan dengan Allah dan dosa memutus hubungan dengan saudara-saudari, memutus hubungan dalam keluarga, dalam masyarakat dan dalam komunitas: dosa selalu memutus; ia memisahkan; ia memecah-belah.
Kata-kata yang kita ucapkan dengan mulut disertai dengan gerak isyarat menebah dada kita, mengakui bahwa aku sudah berdosa melalui kesalahanku sendiri dan bukan kesalahan orang lain. Memang, seringkali terjadi bahwa, karena rasa takut atau malu, kita menunjuk jari untuk mempersalahkan orang lain. Itu membuat kita harus membayar dengan mengakui kesalahan, tetapi sungguh berguna jika kita mengakuinya dengan tulus. Akuilah dosa-dosamu sendiri. Saya ingat sebuah anekdot yang biasa diceritakan oleh seorang misionaris tua, tentang seorang perempuan yang pergi mengaku dosa dan mulai berbicara tentang dosa suaminya. Kemudian dia lanjut berbicara tentang dosa ibu mertuanya dan kemudian tentang dosa tetangganya. Pada poin tertentu, bapa pengakuan berkata kepadanya: "Tapi, Nyonya, katakan: apakah itu sudah selesai? - Baiklah: Nyonya sudah selesai dengan dosa-dosa orang lain. Sekarang mulailah dengan mengatakan dosa-dosamu sendiri." Katakan dosamu sendiri!
Sesudah mengakui dosa, kita mohon kepada Santa Perawan Maria, kepada para Malaikat dan Orang Kudus untuk berdoa kepada Tuhan bagi kita. Dalam hal ini juga, persekutuan Para Kudus sungguh berharga: yaitu, perantaraan dari "para sahabat dan teladan hidup" ini (bdk. Prefasi 1 November) yang mendukung kita dalam perjalanan menuju persekutuan penuh dengan Allah, ketika dosa akan dihapuskan untuk selamanya.
Selain "Saya mengaku", Tobat bisa dilakukan dengan rumusan lain, misalnya: "Kasihanilah kami ya Tuhan, / karena kami telah berdosa terhadap-Mu. / Tunjukkanlah belas kasihan-Mu, ya Tuhan, / dan berilah kami keselamatan-Mu" (bdk. Mzm 123[122]:3; Yer 14:20; Mzm 85:8). Khususnya pada hari Minggu, pemberkatan dan pemercikan air bisa dilakukan sebagai peringatan akan Pembaptisan (bdk. Pedoman Umum Misale Romawi, 51), yang menghapus segala dosa. Dimungkinkan juga, sebagai bagian dari Tobat, untuk menyanyikan Kyrie eleison: dengan ungkapan Yunani kuno, kita memuji Tuhan - Kyrios - dan memohon kerahiman-Nya (ibid., 52).
Kitab Suci memberikan kepada kita contoh cemerlang dari tokoh-tokoh "peniten" yang, kembali ke dalam diri mereka sendiri sesudah berdosa, menemukan keberanian untuk menanggalkan topeng dan membuka diri terhadap rahmat yang memperbaharui hati. Marilah kita merenungkan Raja Daud dan perkataannya dalam Mazmur: "Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu; hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar" (bdk. 51[50]:1-2). Marilah kita merenungkan anak yang hilang yang kembali kepada bapanya: "Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini" (Luk 18:13). Marilah kita juga merenungkan Santo Petrus, Zakheus, perempuan Samaria. Menilai diri kita sendiri dengan kerapuhan tanah liat dengan mana kita dibentuk adalah sebuah pengalaman yang menguatkan kita: karena itu membuat kita menyadari kelemahan kita, membuka hati kita untuk berseru memohon kerahiman ilahi yang mengubah dan mempertobatkan. Dan inilah yang kita lakukan dalam Tobat di awal Misa.
(Audiensi Umum 10 Januari 2018)
Sepanjang rangkaian katekese tentang perayaan Ekaristi, kita telah melihat bahwa Tobat membantu kita menanggalkan keangkuhan kita dan mempersembahkan diri kita kepada Allah sebagaimana adanya, menyadari bahwa kita adalah orang dosa, dengan harapan beroleh pengampunan.
Tepat dalam perjumpaan antara kemalangan manusia dan belas kasihan ilahi itulah rasa syukur diungkapkan dalam "Kemulian" yang hidup; "madah yang sangat kuno dan dihormati di mana Gereja, yang berkumpul atas dorongan Roh Kudus, memuji Allah Bapa dan Anak Domba Allah, serta memohon belas kasihan-Nya" (PUMR, 53).
Awal madah ini - "Kemuliaan kepada Allah di surga" - mengingatkan kita akan nyanyian para malaikat saat kelahiran Yesus di Betlehem: bentara sukacita dari pelukan kasih antara surga dan bumi. Madah ini juga mengikutsertakan kita, yang berkumpul dalam doa: "Kemuliaan kepada Allah di surga, dan damai di bumi bagi orang yang berkenan kepada-Nya."
Sesudah "Kemuliaan", yang mengikuti Tobat, doa mengambil bentuk istimewa dalam oratio, yakni doa pembuka yang lazim disebut "collecta", yang mengungkapkan inti perayaan liturgi hari yang bersangkutan, dengan variasi menurut hari dan penanggalan liturgi (lih. ibid., 54). Dengan ajakan "Marilah berdoa," imam mengajak umat untuk berdoa. Lalu semua yang hadir bersama dengan imam hening sejenak untuk menyadari kehadiran Tuhan, dan dalam hati mengungkapkan doanya masing-masing. Imam berkata "Marilah berdoa" dan kemudian ada hening sejenak, dan tiap-tiap orang merenungkan hal-hal yang mereka butuhkan, yang ingin mereka mohon dalam doa.
Hening tidak terbatas pada ketiadaan kata-kata, tetapi lebih tepatnya persiapan diri untuk mendengarkan suara yang lain: suara yang dalam hati kita dan, di atas segalanya, suara Roh Kudus. Dalam Liturgi, "Saat hening juga merupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda menurut makna bagian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat umat mawas diri, dan sesudah ajakan untuk doa pembuka umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang telah didengar. Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati" (ibid., 45). Jadi, sebelum doa pembuka, hening sejenak membantu kita untuk merenungkan diri dan mengkontemplasikan mengapa kita ada di sana. Inilah pentingnya mendengarkan hati kita, supaya kemudian kita bisa membuka hati bagi Tuhan. Mungkin kita telah mengalami hari-hari kerja keras, sukacita, dukacita, dan kita ingin mengatakannya kepada Tuhan, untuk memohon pertolongan-Nya, untuk memohon agar Dia di sisi kita; mungkin ada pada kita sanak saudara dan teman yang sedang sakit atau sedang menjalani pencobaan berat; mungkin kita ingin mempercayakan kepada Tuhan masa depan Gereja dan dunia. Dan inilah tujuan dari hening sejenak di hadapan imam; dengan menghimpun doa permohonan semua orang, imam menyatakannya dengan lantang kepada Allah, atas nama semua orang, doa bersama, yang mengakhiri Ritus Pembuka dengan mempersembahkan " collecta" dari doa permohonan pribadi. Saya sangat menganjurkan para imam untuk mempraktikkan saat hening ini dan tidak terburu-buru: "Marilah berdoa", dan biarlah ada hening sejenak. Saya merekomendasikan ini kepada para imam. Tanpa hening sejenak ini, kita berisiko mengabaikan permenungan jiwa.
Imam mendaraskan permohonan ini, doa collecta ini, dengan kedua tangan terentang. Ini adalah cara berdoa yang dipraktikkan oleh umat Kristen sejak abad pertama - sebagaimana dibuktikan dalam banyak lukisan dinding di banyak katakombe di Roma - yang meneladan Kristus dengan kedua tangan-Nya terentang di kayu Salib. Dan di sana, Kristus adalah Dia yang berdoa dan juga yang adalah Doa! Dalam Salib, kita mengenali Imam yang mempersembahkan kepada Allah sembah sujud yang Dia junjung tinggi, yaitu, ketaatan sebagai putra.
Doa-doa dalam Ritus Romawi itu ringkas tetapi kaya makna. Orang bisa memeditasikan doa-doa ini. Sungguh indah! Dengan kembali merenungkan teks-teks ini, bahkan di luar Misa, dapat membantu kita memahami bagaimana menyapa Allah, apa yang harus dimohon dan kata-kata apa yang harus digunakan. Semoga Liturgi menjadi sekolah doa yang sejati bagi kita semua.
(Audiensi Umum 31 Januari 2018)
Hari ini kita melanjutkan katekese tentang Misa Kudus. Setelah berhenti sejenak untuk merenungkan Ritus Pembuka, marilah sekarang kita merenungkan Liturgi Sabda, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena kita berkumpul justru untuk mendengarkan apa yang telah dan masih ingin Tuhan lakukan bagi kita. Ini adalah pengalaman yang terjadi "nyata" dan bukan melalui kata orang karena "ketika Kitab Suci dibacakan di gereja, Allah sendiri yang bersabda kepada umat-Nya, dan Kristus, yang hadir dalam Sabda-Nya sendiri, yang mewartakan Injil" (PUMR, 29; bdk. Const. Sacrosanctum Consilium, 7, 33).
Dan betapa sering, sementara Sabda Allah dibacakan, muncul komentar-komentar: "Lihat dia...; lihat pakaiannya: itu konyol…" Dan komentar pun dimulai. Benar begitu? Haruskah muncul komentar-komentar saat Sabda Allah sedang dibacakan? Tidak, karena jika kamu mengobrol dengan yang lain, kamu tidak mendengarkan Sabda Allah. Ketika Sabda Allah sedang dibacakan dari Kitab Suci - Bacaan Pertama, Bacaan Kedua, Mazmur Tanggapan, dan Injil - kita harus mendengarkan, membuka hati kita karena Allah sendiri yang berbicara kepada kita, dan kita jangan memikirkan atau membicarakan hal-hal lain. Mengertikah kamu? Saya akan menjelaskan apa yang terjadi dalam Liturgi Sabda ini.
Halaman-halaman Kitab Suci bukan lagi sekedar tulisan, ia menjadi sabda yang hidup, yang disabdakan oleh Allah. Adalah Allah, yang melalui pembaca, berbicara kepada kita dan menanyai kita, kita yang mendengarkan dengan iman. Roh "bersabda dengan perantaraan para nabi" (Pengakuan Iman) dan telah mengilhami para penulis suci menjadikan Sabda Allah yang "kita dengar secara lahiriah memiliki dampak batiniah" (Lectionarium, Pengantar, 9). Namun untuk mendengarkan Sabda Allah, kita juga perlu hati kita terbuka untuk menerima Sabda dalam hati kita. Allah berbicara dan kita mendengarkan-Nya, untuk kemudian mengamalkan apa yang telah kita dengar. Sangat penting untuk mendengarkan. Kadang-kadang mungkin kita tidak sepenuhnya mengerti karena ada beberapa Bacaan yang agak sulit. Namun Allah berbicara kepada kita dengan cara lain; [kita harus] diam dan mendengarkan Sabda Allah. Jangan lupa ini. Selama Misa, saat Bacaan dimulai, marilah kita mendengarkan Sabda Allah.
Kita perlu mendengarkan Dia! Faktanya, ini adalah pertanyaan tentang kehidupan, sebagaimana kita diingatkan oleh ungkapan mendalam bahwa "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Mat 4:4). Hidup yang memberi kita Sabda Allah. Dalam pengertian ini, kita berbicara tentang Liturgi Sabda sebagai "perjamuan" yang Tuhan persiapkan untuk memberi makan kehidupan rohani kita. Perjamuan dalam Liturgi adalah perjamuan yang berlimpah yang diambil dari harta karun Kitab Suci (bdk. SC, 51), baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, karena di dalamnya Gereja mewartakan misteri Kristus yang satu dan sama (cf.Lectionarium, Pengantar,5). Mari kita renungkan kekayaan bacaan Kitab Suci yang ditawarkan oleh ketiga siklus hari Minggu, yang dalam terang Injil Sinoptik, menemani kita sepanjang Tahun Liturgi: suatu kekayaan yang luar biasa. Di sini saya juga ingin mengingatkan pentingnya Mazmur Tanggapan yang bertujuan untuk mendorong permenungan atas apa yang sudah didengarkan dalam bacaan yang mendahuluinya. Sebaiknya Mazmur dibawakan dengan nyanyian, setidaknya dalam tanggapannya (bdk. PUMR, 61; Lectionarium, Pengantar, 19-22).
Pewartaan Liturgi dari bacaan-bacaan yang sama dengan nyanyian-nyanyian yang diambil dari Kitab Suci mengungkapkan dan memupuk communio gerejawi dengan menyertai perjalanan setiap dan masing-masing orang. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa pilihan subjektif seperti ditiadakannya bacaan atau penggantian bacaan dengan teks non-biblis adalah dilarang. Saya pernah mendengar bahwa ada kisah berita, beberapa orang membacakan surat kabar karena itulah berita hari itu. TIDAK! Sabda Allah adalah Sabda Allah! Kita bisa membaca surat kabar nanti. Tetapi di sana, kita membaca Sabda Allah. Tuhan-lah yang berbicara kepada kita. Mengganti Sabda dengan hal-hal lain akan memiskinkan dan mengkompromikan dialog antara Allah dengan umat-Nya dalam doa. Sebaliknya, martabat mimbar dan penggunaan Lectionarium, tersedianya para lektor dan pemazmur yang baik [dibutuhkan]. Kita harus mencari lektor yang baik! Mereka yang tahu cara membaca, bukan mereka yang membaca [dengan mendistorsikan sabda] sehingga tidak suatu pun yang bisa dimengerti. Begitulah adanya. Para lektor yang baik. Mereka harus dipersiapkan dan berlatih sebelum Misa agar dapat membaca dengan baik. Dan ini menciptakan suasana hening yang reseptif.
Kita tahu bahwa Sabda Allah adalah bantuan yang sangat diperlukan supaya orang tidak tersesat, seperti dengan jelas diakui oleh Pemazmur yang, berbicara kepada Tuhan, mengakui: "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku " (Mzm 119:105). Bagaimana kita bisa menghadapi ziarah duniawi kita dengan segala kesulitan dan pencobaannya tanpa secara teratur diberi makan dan diterangi oleh Sabda Allah yang menggema dalam Liturgi?
Tentu saja tidak cukup mendengarkan dengan telinga kita tanpa menyambut benih Sabda Allah ke dalam hati kita, membiarkannya menghasilkan buah. Marilah kita ingat akan Perumpamaan tentang Penabur dan buah yang dihasilkan oleh berbagai jenis tanah (bdk. Mrk 4:14-20). Tindakan Roh Kudus yang memberikan tanggapan efektif membutuhkan hati yang membiarkan dirinya dibentuk dan diolah sebegitu rupa sehingga apa yang didengar dalam Misa masuk ke dalam hidup sehari-hari, sesuai dengan peringatan Rasul Yakobus: "Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri" (Yak 1:22). Sabda Allah membuat jalan dalam diri kita. Kita mendengarkannya dengan telinga kita dan ia masuk ke dalam hati kita; ia tidak tinggal di telinga kita; ia harus masuk ke dalam hati. Dan dari hati, diteruskan kepada tangan, kepada perbuatan baik. Inilah jalan yang diikuti Sabda Allah: dari telinga kita ke hati dan tangan kita. Marilah kita pelajari hal-hal ini. Terima kasih!
(Audiensi Umum 7 Februari 2018)
Mari kita melanjutkan katekese tentang Misa Kudus. Kita sudah sampai pada bacaan.
Dialog antara Tuhan dan umat-Nya, dalam Liturgi Sabda dalam Misa, berpuncak pada pewartaan Injil yang didahului oleh madah Alleluya - atau, selama Masa Prapaskah, aklamasi lainnya. "Dengan Aklamasi ini jemaat beriman menyambut dan menyapa Tuhan yang siap bersabda kepada mereka dalam Injil," (PUMR, 62). Sebagaimana misteri Kristus menerangi seluruh wahyu biblis, demikian juga dalam Liturgi Sabda, Injil merupakan terang untuk memahami makna teks biblis yang mendahuluinya, baik dari Perjanjian Lama maupun dari Perjanjian Baru. Sesungguhnya, "Kristus sendiri yang adalah pusat dan kepenuhan dari seluruh Kitab Suci" (Lectionarium, Pengantar, 5). Yesus Kristus selalu menjadi pusat, selalu.
Oleh karena itu, liturgi sendiri membedakan Injil dari bacaan-bacaan lain dan melingkupinya dengan penghormatan khusus (GIRM, 60, 134). Sungguh, pembacaan Injil dikhususkan oleh pelayan tertahbis, yang mengakhirinya dengan mencium Kitab Injil; kita berdiri untuk mendengarkan dan membuat Tanda Salib di dahi kita, mulut kita dan dada kita kita; lilin dan dupa menghormati Kristus, yang, melalui pewartaan Injil, membuat Sabda-Nya yang efektif menggema. Dari tanda-tanda ini, jemaat mengenali kehadiran Kristus yang memberi mereka "Kabar Baik" yang mempertobatkan dan mengubah orang. Apa yang terjadi adalah dialog langsung, sebagaimana dibuktikan oleh aklamasi yang kita gunakan untuk menanggapi pewartaan: "Dimuliakanlah Tuhan" dan "Terpujilah Kristus". Kita berdiri untuk mendengarkan Injil: Kristus-lah yang berbicara kepada kita, di sana. Dan itulah sebabnya mengapa kita harus penuh perhatian, karena itu adalah percakapan langsung. Tuhan-lah yang berbicara kepada kita.
Demikianlah, dalam Misa kita tidak membaca Injil untuk mengetahui bagaimana peristiwa-peristiwa terjadi, tetapi, kita mendengarkan Injil untuk merenungkan apa yang Yesus pernah lakukan dan sabdakan; dan Sabda itu hidup, Sabda Yesus yang ada di dalam Injil itu hidup dan menyentuh hatiku. Oleh karena itu, sangatlah penting mendengarkan Injil dengan hati terbuka, karena Injil adalah Sabda yang hidup. St Agustinus menulis: "Injil adalah mulut Kristus. Dia bertakhta di surga, tetapi Dia tidak berhenti bersabda di bumi" (Khotbah 85, 1: pl 38, 520; lihat juga Khotbah tentang Injil Yohanes, xxx, i: pl 35, 1632; ccl 36, 289.). Jika benar bahwa dalam liturgi "Kristus masih mewartakan Injil-Nya" (SC, 33), maka dengan ikut ambil dalam Misa, kita harus memberikan tanggapan kepada-Nya. Kita mendengarkan Injil dan kita harus memberikan tanggapan dalam hidup kita.
Untuk menyampaikan pesan-Nya, Kristus juga menggunakan perkataan imam yang, sesudah Injil, menyampaikan homili (Bdk. PUMR, 65-66; Lectionarium, Pengantar, 24-27). Sangat direkomendasikan oleh Konsili Vatikan Kedua sebagai bagian dari liturgi itu sendiri (SC, 52), homili bukanlah sebuah dialog biasa - atau katekese seperti yang saya sampaikan sekarang ini -, juga bukan konferensi atau pelajaran. Homili adalah sesuatu yang lain. Apa itu homili? "Homili mengangkat kembali dialog yang sudah dibuka antara Tuhan dengan umat-Nya (Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 137), sehingga ia dapat menemukan kepenuhan dalam hidup. Eksegesis Injil yang otentik adalah hidup kita yang kudus! Sabda Tuhan mengakhiri perjalanannya dengan menjadi daging di dalam kita, diwujudkan dalam karya perbuatan, seperti yang terjadi pada Maria dan para kudus. Ingatlah apa yang saya katakan kali lalu: Sabda Tuhan masuk melalui telinga, masuk ke dalam hati dan diteruskan kepada tangan, kepada perbuatan baik. Dan homili juga mengikuti Sabda Tuhan dan juga mengikuti jalan ini untuk membantu kita agar Sabda Tuhan bisa sampai ke tangan, dengan melalui hati.
Saya sudah membahas subjek homili dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, di mana saya mengingatkan kembali bahwa konteks liturgi "mendesak agar khotbah bisa membimbing umat, dan juga pengkhotbah, menuju persekutuan dengan Kristus dalam Ekaristi, suatu persekutuan yang mengubah hidup (ibid., 138).
Pengkhotbah - yang menyampaikan homili, imam atau diakon atau uskup - harus melaksanakan pelayanannya dengan baik, dengan memberikan pelayanan yang riil kepada semua yang ikut ambil bagian dalam Misa, tetapi jemaat yang mendengarkan homili juga harus melakukan bagiannya. Pertama-tama dengan memberikan perhatian yang pantas, yaitu dengan disposisi batin yang benar, tanpa dalih subjektif, dengan mengetahui bahwa setiap pengkhotbah memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kadang-kadang ada alasan untuk merasa bosan karena homilinya panjang atau tidak fokus atau tidak bisa dimengerti, tetapi, dan di lain waktu, prasangkalah yang menjadi hambatannya. Dan pengkhotbah harus menyadari bahwa dia tidak melakukan sesuatu atas kemauannya sendiri, tetapi dia sedang berkhotbah, memberikan suara kepada Yesus; dia sedang mengkhotbahkan Sabda Yesus. Dan homili harus dipersiapkan dengan baik; homili harus ringkas, singkat! Seorang imam menceritakan kepada saya bahwa dia pernah pergi ke kota lain di mana orangtuanya tinggal, dan ayahnya mengatakan kepadanya: "Kau tahu, aku senang, karena aku dan teman-teman sudah menemukan gereja di mana mereka merayakan Misa tanpa homili!" Dan seberapa sering kita melihat bahwa selama homili ada orang yang tertidur, ada yang ngobrol atau pergi keluar untuk merokok.... Oleh karena itu, tolong, buatlah homili yang ringkas, yang dipersiapkan dengan baik. Dan bagaimana kita mempersiapkan homili, para imam, diakon, uskup yang terkasih? Bagaimana cara mempersiapkannya? Dengan doa, dengan mempelajari Sabda Tuhan dan dengan membuat ringkasan yang jelas dan singkat; tolong, homili jangan lebih dari 10 menit.
Sebagai kesimpulan bisa kita katakan bahwa dalam Liturgi Sabda, melalui Injil dan homili, Tuhan berdialog dengan umat-Nya, yang mendengarkan Dia dengan penuh perhatian dan rasa hormat dan, pada saat yang sama, mengenali bahwa Dia hadir dan bertindak. Oleh karena itu, jika kita mendengarkan "Kabar Baik," kita akan dipertobatkan dan diubah olehnya, dan karenanya kita akan mampu mengubah diri kita sendiri dan dunia. Mengapa? karena Kabar Baik, Sabda Tuhan masuk melalui telinga, masuk ke dalam hati dan diteruskan kepada tangan untuk melakukan perbuatan baik.
X. "Madah Kemuliaan"
(Audiensi Umum 10 Januari 2018)
Se
![]() Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|
|