Katekese tentang Disermen
![]() oleh Paus Fransiskus
![]() ![]() ![]() VI. sedang diterjemahkan
VII. sedang diterjemahkan
VIII. sedang diterjemahkan
IX. sedang diterjemahkan
X. sedang diterjemahkan
XI. sedang diterjemahkan
XII. sedang diterjemahkan
XIII. sedang diterjemahkan
XIV. sedang diterjemahkan
(Audiensi Umum 31 Agustus 2022)
Hari ini kita memulai rangkaian katekese baru: disermen. Disermen adalah tindakan penting yang menyangkut semua orang, karena keputusan adalah bagian penting dari kehidupan. Disermen keputusan. Orang memilih makanan, pakaian, program studi, pekerjaan, hubungan. Dalam semua ini, proyek kehidupan diwujudkan, dan bahkan hubungan kita dengan Allah dikonkretkan.
Dalam Injil, Yesus berbicara tentang disermen dengan gambaran yang diambil dari kehidupan sehari-hari; misalnya, Dia menggambarkan para nelayan yang menyeleksi ikan yang baik dan membuang ikan yang tidak baik; atau pedagang yang tahu cara mengenali, di antara banyak mutiara, satu mutiara yang paling berharga. Atau orang yang sedang membajak di ladang, yang menemukan sesuatu yang ternyata adalah harta karun (bdk. Mat 13:44-48).
Dalam terang perumpamaan-perumpamaan ini, disermen menampilkan dirinya sebagai latihan inteligensi, dan juga kecakapan dan juga kemauan, untuk memanfaatkan momen yang tepat: ini adalah syarat untuk membuat pilihan yang baik. Dibutuhkan inteligensi, kecakapan, dan juga kemauan untuk membuat pilihan yang baik. Dan ada juga harga yang dituntut agar disermen menjadi efektif. Untuk menjalankan usaha sebaik-baiknya, nelayan membayar dengan kerja keras, melewatkan malam-malam panjang yang dihabiskan di laut, dan kemudian fakta membuang sebagian dari hasil tangkapan, menerima kehilangan keuntungan demi keuntungan yang hendak diraihnya. Pedagang mutiara tidak segan-segan menjual segala hartanya demi membeli mutiara itu; begitu juga dengan orang yang menemukan harta karun. [Ini adalah] situasi yang tidak terduga dan tidak direncanakan, di mana sangat krusial untuk mengenali pentingnya dan mendesaknya suatu keputusan yang harus dibuat.
Setiap orang harus membuat keputusan; tidak ada seorang pun yang harus membuat keputusan-keputusan untuk kita. Pada titik tertentu, orang dewasa bisa dengan bebas meminta nasihat, berefleksi, tetapi keputusan ada di tangan kita sendiri. Kita tidak bisa mengatakan, 'Aku kehilangan ini, karena suamiku yang memutuskan, istriku yang memutuskan, saudaraku yang memutuskan'. Tidak. Kamu harus memutuskan, masing-masing dari kita harus memutuskan, dan untuk alasan ini, penting untuk mengetahui bagaimana mendisermen. Untuk dapat memutuskan dengan baik, adalah perlu untuk mengetahui bagaimana mendisermen.
Injil menunjukkan aspek penting lain dari disermen: disermen melibatkan emosi. Orang yang menemukan harta karun itu tidak merasa kesulitan untuk menjual seluruh miliknya, begitu besar sukacitanya (bdk. Mat 13:44). Istilah yang digunakan oleh penginjil Matius menunjukkan sukacita yang sangat istimewa, yang tidak dapat digambarkan oleh realitas manusia; dan memang istilah itu muncul kembali dalam sangat sedikit saja ayat lain dalam Injil, yang semuanya mengacu pada perjumpaan dengan Allah. Adalah sukacita orang-orang majus ketika, sesudah perjalanan yang panjang dan sulit, mereka melihat bintang itu lagi (bdk. Mat 2:10); sukacita, adalah sukacita para perempuan yang kembali dari makam kosong sesudah mendengar pemakluman malaikat tentang kebangkitan (bdk. Mat 28:8). Adalah sukacita bagi mereka yang telah menemukan Tuhan. Membuat keputusan yang baik, keputusan yang tepat, selalu membawamu ke sukacita akhir itu; mungkin sepanjang jalan kamu harus menderita sedikit ketidakpastian, berpikir, mencari, tetapi pada akhirnya keputusan yang tepat memberkatimu dengan sukacita.
Dalam pengadilan terakhir, Allah akan mengadakan disermen-disermen besar-terhadap kita. Gambaran petani, nelayan, dan pedagang adalah contoh dari apa yang terjadi di Kerajaan Surga, Kerajaan yang memanifestasikan dirinya dalam tindakan kehidupan sehari-hari, yang menuntut kita untuk mengambil sikap. Itulah sebabnya mengapa sangat penting untuk bisa mendisermen: pilihan tepat bisa muncul dari keadaan yang pada pandangan pertama tampak kurang penting, tetapi ternyata menentukan. Sebagai contoh, mari kita memikirkan perjumpaan pertama Andreas dan Yohanes dengan Yesus, sebuah perjumpaan yang muncul dari pertanyaan sederhana: "Rabbi, di manakah Engkau tinggal?" - "Mari dan lihatlah," kata Yesus (bdk. Yoh 1:38-39). Percakapan yang sangat singkat, tetapi itu adalah awal dari perubahan yang, selangkah demi selangkah, akan menandai seluruh hidup mereka. Bertahun-tahun kemudian, sang Penginjil terus mengingat perjumpaan itu yang mengubah dirinya selamanya, dan dia bahkan mengingat waktunya: 'waktu itu kira-kira pukul empat sore' (ayat 39). Itu adalah saat ketika waktu dan kehidupan kekal bertemu dalam hidupnya. Dan dalam suatu keputusan yang baik, yang tepat, ada perjumpaan antara kehendak Allah dan kehendak kita; ada perjumpaan antara jalan yang sekarang dan yang abadi. Membuat keputusan yang tepat, sesudah jalan disermen, adalah membuat perjumpaan ini: waktu dengan kehidupan kekal.
Jadi: pengetahuan, pengalaman, emosi, kemauan. Ini adalah beberapa unsur yang sangat diperlukan dalam disermen. Dalam rangkaian katekese ini kita akan melihat yang lain, yang sama pentingnya.
Disermen - seperti yang sudah saya katakan - melibatkan kerja keras. Menurut Kitab Suci, kita tidak mendapati tersedia di hadapan kita, sudah dikemas sebelumnya, kehidupan yang harus kita jalani. TIDAK! Kita harus memberikan keputusan untuk itu sepanjang waktu, sesuai dengan realitas yang ada. Allah mengundang kita untuk mengevaluasi dan memilih: Dia menciptakan kita bebas dan menghendaki kita menggunakan kebebasan kita. Oleh karena itu, disermen itu menuntut.
Kita seringkali mengalami ini: memilih sesuatu yang menurut kita baik, padahal itu tidak baik. Atau kita mengetahui apa yang benar dan baik bagi kita tetapi kita tidak memilihnya. Manusia, tidak seperti binatang, bisa keliru, bisa tidak mau memilih dengan benar. Dan Kitab Suci menunjukkan hal ini dari halaman-halaman pertamanya. Allah memberi manusia perintah yang pasti: jika kamu mau hidup, jika kamu mau menikmati hidup, ingatlah bahwa kamu ini makhluk ciptaan, bahwa kamu bukanlah kriteria baik dan jahat, dan bahwa pilihan yang kamu buat akan memiliki konsekuensi, untukmu, untuk orang lain dan untuk dunia (bdk. Kej 2:16-17); kamu bisa membuat bumi menjadi taman yang mengagumkan atau kamu bisa membuatnya menjadi padang kematian. Ajaran mendasar: bukan kebetulan bahwa ini adalah dialog pertama antara Allah dan manusia. Dialognya adalah: Tuhan memberikan misi, kamu harus melakukan ini dan itu; dan dengan setiap langkah yang diambil, manusia harus mendisermen keputusan mana yang harus diambil. Disermen adalah refleksi pikiran, hati, yang harus kita lakukan sebelum membuat keputusan.
Disermen itu menuntut tetapi sangat diperlukan untuk hidup. Disermen menuntut aku mengenal diriku sendiri, aku tahu apa yang baik untukku di sini dan sekarang ini. Di atas segalanya, disermen menuntut hubungan anak dengan Allah. Allah adalah Bapa dan Dia tidak membiarkan kita sendirian, Dia selalu sedia menasihati kita, menyemangati kita, menyambut kita. Namun, Dia tidak pernah memaksakan kehendak-Nya. Mengapa? Karena Dia ingin dikasihi dan bukan ditakuti. Dan juga, Allah menghendaki anak-anak, bukan budak-budak: anak-anak yang bebas merdeka. Dan kasih hanya bisa diamalkan dalam kebebasan. Untuk belajar hidup, orang harus belajar mengasihi, dan untuk ini perlu untuk mendisermen: apa yang bisa aku lakukan sekarang, yang menghadapi alternatif ini? Biarlah itu menjadi tanda kasih yang lebih besar, kedewasaan yang lebih matang dalam kasih. Marilah kita memohon Roh Kudus untuk membimbing kita! Marilah kita berseru memohon kepada-Nya setiap hari, teristimewa saat kita harus menentukan pilihan.
(Audiensi Umum 7 September 2022)
Kita melanjutkan refleksi kita tentang disermen, dan sementara melakukannya, kita mengacu pada kesaksian istimewa yang bisa membantu kita.
Salah satu teladan paling edukatif ditawarkan oleh Santo Ignatius dari Loyola, dengan episode yang menentukan dalam hidupnya. Ignatius berada di rumah untuk memulihkan diri sesudah cedera kakinya dalam pertempuran. Untuk menghilangkan kebosanan, dia meminta sesuatu untuk dibaca. Dia suka kisah para kesatria, tapi sayangnya, hanya ada kisah riwayat orang-orang kudus di rumah. Dengan agak enggan, dia membacanya juga; tetapi dalam proses membaca itu, dia mulai menemukan dunia yang lain, dunia yang menyukakan hatinya dan tampaknya bersaing dengan dunia para kesatria. Dia terpesona oleh sosok Santo Fransiskus dan Santo Dominikus, dan merasakan kerinduan untuk meneladani mereka. Tetapi dunia kesatria juga terus membangkitkan daya tarik padanya. Oleh karenanya, dia merasakan dalam dirinya alternatif dua pemikiran ini - tentang kesatria dan tentang orang-orangkudus - yang tampaknya seimbang satu sama lain.
Namun demikian, Ignatius juga mulai melihat beberapa perbedaan. Dalam otobiografinya - sebagai orang ketiga - dia menulis: "Ketika dia memikirkan hal-hal duniawi" - dan hal-hal kesatria, tentu saja - "itu memberinya kesenangan yang besar, tetapi sesudahnya dia mendapati dirinya kering dan sedih. Tetapi ketika dia berpikir untuk melakukan perjalanan ke Yerusalem, dan hidup hanya dari sayur-mayur dan mempraktikkan laku tapa, dia mendapati kesenangan tidak hanya ketika memikirkannya, tetapi juga ketika dia sudah berhenti memikirkannya" (Bab 8); hal yang meninggalkan jejak sukacita dalam dirinya.
Dalam pengalaman ini, di atas segalanya, kita mencatat dua aspek. Yang pertama adalah waktu: yaitu, pemikiran tentang dunia pada awalnya menarik, tetapi kemudian kehilangan kemilaunya dan meninggalkan kekosongan dan ketidakpuasan; mereka meninggalkanmu begitu saja, kosong. Pemikiran tentang Allah, sebaliknya, pada awalnya membangkitkan semacam penolakan tertentu - "Tetapi aku tidak akan membaca hal yang membosankan ini tentang orang-orang kudus" - tetapi ketika disambut, mereka membawa damai yang tak dikenal yang berlangsung untuk jangka waktu yang lama.
Jadi, inilah aspek lainnya: titik akhir pemikiran. Pada awalnya situasinya tidak kelihatan begitu jelas. Ada perkembangan disermen: misalnya, kita memahami apa yang baik bagi kita bukan dengan cara yang abstrak dan umum, tetapi dalam perjalanan hidup kita. Dalam aturan disermen, buah dari pengalaman mendasar ini, Ignatius meletakkan dasar pemikiran, yang membantu kita memahami proses ini: "Pada orang-orang yang beralih dari satu dosa berat ke dosa berat lainnya, pada umumnya musuh biasa menawarkan kepada mereka apa yang tampaknya menyenangkan" - untuk meyakinkan mereka bahwa semuanya baik-baik saja - "membuat mereka membayangkan kesenangan dan kenikmatan sensual guna semakin mencengkeram mereka dan membuat mereka bertumbuh dalam kejahatan dan dosa. Pada orang-orang ini roh yang baik menggunakan metode yang berlawanan, menusuk dan menggigit hati nurani mereka melalui proses penalaran" (Latihan Rohani, 314). Tapi ini tidak akan berhasil.
Ada sejarah yang mendahului orang yang mendisermen, sejarah yang sungguh perlu diketahui, karena disermen bukanlah semacam orakel [= ramalan] atau fatalisme [= takdir], atau sesuatu yang dari laboratorium, atau seperti menentukan nasib orang pada dua kemungkinan. Pertanyaan-pertanyaan besar muncul ketika kita sudah menempuh rentangan perjalanan hidup, dan ke perjalanan itulah kita harus kembali untuk memahami apa yang kita cari. Jika dalam hidup kita membuat sedikit kemajuan, maka: "Tetapi mengapa aku berjalan ke arah ini, apa yang aku cari?" dan di sanalah disermen terjadi. Ketika mendapati dirinya terbaring cedera di rumah ayahnya, Ignatius sama sekali tidak memikirkan Allah, atau bagaimana mengubah hidupnya sendiri, tidak. Dia memiliki pengalaman pertamanya tentang Allah dengan mendengarkan hatinya sendiri, yang menghadirkan kepadanya suatu pembalikan yang tidak bisa dimengerti: hal-hal yang menarik pada pandangan pertama membuatnya kecewa pada akhirnya, sementara pada yang lain, yang kurang gemerlap, dia merasakan damai yang tinggal. Kita juga memiliki pengalaman ini; sangat sering kita mulai memikirkan sesuatu, dan kita tinggal di sana, dan pada akhirnya kita kecewa. Sebaliknya, ketika kita melakukan perbuatan cinta kasih, melakukan sesuatu yang baik dan merasakan suatu yang membahagiaan, suatu pikiran yang baik datang kepada kita, dan kebahagiaan meliputi kita, sesuatu yang penuh sukacita. Ini adalah pengalaman yang sepenuhnya pengalaman kita sendiri. Dia, Ignatius, mengalami pengalaman pertama tentang Allah dengan mendengarkan hatinya sendiri, yang menunjukkan kepadanya pembalikan yang sulit dimengerti. Inilah yang harus kita pelajari: mendengarkan hati kita sendiri, mengetahui apa yang sedang terjadi, keputusan apa yang harus diambil. Untuk menilai suatu situasi, orang harus mendengarkan hatinya sendiri. Kita mendengarkan televisi, radio, telepon seluler. Kita ahli dalam mendengarkan, tetapi saya bertanya: apakah kamu tahu bagaimana mendengarkan hatimu? Apakah kamu berhenti untuk bertanya: "Tapi bagaimana dengan hatiku? Apakah ia puas, apakah ia sedih, apakah ia mencari sesuatu?" Untuk membuat keputusan yang baik, orang harus mendengarkan hatinya sendiri.
Itulah sebabnya mengapa Ignatius selanjutnya memberikan saran untuk membaca kehidupan orang-orang kudus, karena mereka menunjukkan gaya Allah dalam kehidupan orang-orang yang tidak jauh berbeda dari kita, dengan cara yang naratif dan bisa dimengerti; karena orang-orang kudus juga dari daging dan darah seperti kita. Tindakan mereka berbicara kepada kita, dan mereka membantu kita mengerti maknanya.
Dalam episode terkenal tentang dua perasaan Ignatius, satu ketika dia membaca tentang para kesatria dan yang satunya ketika dia membaca tentang kehidupan para kudus, kita bisa mengenali aspek penting lain dari disermen, yang sudah kita singgung kali lalu. Ada keacakan yang jelas dalam peristiwa-peristiwa kehidupan: segalanya tampaknya muncul dari keterpurukan yang menjemukan - tidak ada buku tentang kesatria, hanya tentang kehidupan orang kudus, keterpurukan yang meski demikian menghantar pada kemungkinan titik balik. Hanya setelah beberapa waktu Ignatius menyadari ini, titik di mana dia akan mengabdikan seluruh perhatiannya. Dengarkan baik-baik: Allah bekerja melalui peristiwa-peristiwa yang tak bisa direncanakan yang terjadi secara kebetulan, tetapi kebetulan ini terjadi padaku, dan kebetulan aku bertemu orang ini, kebetulan aku menonton film ini. Itu tidak kita rencanakan, tetapi Allah bekerja melalui peristiwa-peristiwa yang tak bisa direncanakan, dan juga melalui keterpurukan: "Tapi aku seharusnya pergi berjalan-jalan dan kakiku bermasalah, aku tidak bisa…" Keterpurukan: apa yang sedang dikatakan Allah kepadamu? Apa yang sedang dikatakan kehidupan di sana? Kita juga sudah melihat ini dalam sebuah perikop dari Injil Matius: seorang yang sedang membajak ladang secara tidak sengaja menemukan harta karun terpendam. Situasi yang sama sekali tidak terduga. Tetapi yang penting adalah bahwa dia mengenalinya sebagai keberuntungan hidupnya dan memutuskan sesuai dengan itu: dia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu (bdk. 13:44). Saya akan memberimu nasihat: waspadalah terhadap hal-hal yang tak terduga. Dia yang berkata: "Tapi aku tidak mengharapkan ini." Apakah kehidupan yang berbicara kepadamu, apakah Tuhan yang berbicara kepadamu, atau apakah setan? Seseorang. Tapi ada sesuatu yang perlu didisermen: bagaimana aku bereaksi ketika menghadapi yang tak terduga. Tapi aku diam-diam di rumah dan "Lha!" - ibu mertuaku datang. Dan bagaimana kamu bereaksi terhadap ibu mertuamu? Apakah itu kasih atau sesuatu yang lain di dalam? Dan kamu harus mendisermen. Aku sedang bekerja baik-baik di kantor, dan seorang rekan datang untuk memberitahuku bahwa dia membutuhkan uang: bagaimana kamu bereaksi? Dengan melihat apa yang terjadi ketika kita mengalami hal-hal yang tidak kita duga, dan belajar mengenali hati kita sementara ia bergerak.
Disermen adalah penolong dalam mengenali tanda-tanda dengan mana Tuhan menyatakan Diri-Nya dalam situasi yang tak terduga, bahkan yang tidak menyenangkan, seperti kaki yang cidera untuk Ignatius. Perjumpaan yang mengubah hidup untuk selamanya bisa muncul dari sana, seperti dalam kasus Ignatius. Sesuatu bisa muncul yang membuatmu lebih baik di sepanjang perjalanan, atau lebih buruk, saya tidak tahu, tetapi waspadalah: benang terindah dari kisah datang dari yang tak terduga: "Bagaimana aku bertindak mengingat hal ini?" Semoga Tuhan membantu kita mendengarkan hati kita dan melihat bilamana adalah Dia yang bertindak, dan bilamana bukan dan bilamana itu adalah sesuatu yang lain.
(Audiensi Umum 28 September 2022)
Kita melanjutkan katekese kita dengan tema disermen - karena tema disermen sangat penting untuk mengetahui apa yang terjadi dalam diri kita. Untuk mengetahui perasaan dan gagasan kita, kita harus mendisermen dari mana itu berasal, ke mana itu menghantarku, pada keputusan apa - dan hari ini kita berfokus pada unsur mendasarnya yang pertama, yaitu doa. Untuk mendisermen kita perlu berada dalam lingkungan, dalam keadaan doa.
Doa adalah pertolongan yang sangat diperlukan untuk disermen rohani, terutama saat itu melibatkan dimensi afektif, yang memungkinkan kita untuk menyapa Allah dengan kesederhanaan dan keakraban, seperti seorang berbicara kepada sahabat. Yakni mengetahui bagaimana kita melampaui pikiran, untuk masuk ke dalam keakraban dengan Tuhan, dengan spontanitas penuh kasih sayang. Rahasia kehidupan orang-orang kudus adalah keakraban dan kepercayaan kepada Allah, yang tumbuh dalam diri mereka dan membuatnya semakin mudah untuk mengenali apa yang berkenan bagi-Nya. Doa sejati adalah keakraban dan kepercayaan kepada Allah. Doa sejati tidak berarti mengucapkan doa seperti burung beo, bla, bla, bla, tidak. Doa sejati adalah spontanitas dan kasih sayang ini kepada Tuhan. Keakraban ini mengatasi rasa takut atau kebimbangan bahwa kehendak-Nya bukan untuk kebaikan kita, pencobaan yang terkadang terlintas di benak kita dan membuat hati kita gelisah dan tidak pasti, atau bahkan terasa pahit.
Disermen tidak menuntut kepastian mutlak, ini bukan metode murni kimiawi, tidak menuntut kepastian mutlak karena ini tentang kehidupan, dan kehidupan tidak selalu logis. Ia memiliki banyak aspek yang tidak bisa dicakup dalam satu kategori pemikiran. Kita ingin tahu dengan tepat apa yang harus dilakukan, tetapi bahkan ketika itu terjadi, kita tidak selalu bertindak sesuai dengannya. Betapa sering kali kita juga memiliki pengalaman yang digambarkan oleh Rasul Paulus, yang berkata: "Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat" (Roma 7:19). Kita bukan hanya akal budi, kita bukan mesin, tidak cukup hanya diberi perintah untuk melakukannya.
Sungguh signifikan bahwa mukjizat pertama yang dilakukan Yesus dalam Injil Markus adalah pengusiran setan (lih. 1:21-28). Di sinagoga di Kapernaum Dia membebaskan seorang laki-laki dari roh jahat, membebaskannya dari gambaran palsu tentang Allah yang sudah ditanamkan setan sejak dari awal: Allah yang tidak menghendaki kebahagiaan kita. Orang yang kerasukan dalam perikop Injil itu tahu bahwa Yesus adalah Allah, tetapi itu tidak membuatnya untuk percaya kepada-Nya. Bahkan, dia berkata, "Engkau datang hendak membinasakan kami" (ayat 24).
Banyak orang, bahkan orang Kristen, berpikiran sama: yaitu, bahwa Yesus adalah Putra Allah, tetapi mereka ragu bahwa Dia menghendaki kebahagiaan kita; sungguh, sebagian orang takut bahwa dengan secara serius menerima tawaran-Nya, yang Yesus tawarkan kepada kita, berarti merusakkan hidup kita, mematiragakan keinginan kita, aspirasi terkuat kita. Pikiran-pikiran ini terkadang merayap dalam diri kita: bahwa Allah meminta terlalu banyak dari kita, kita takut jika Allah meminta terlalu banyak dari kita, Dia tidak benar-benar mengasihi kita.
Sebaliknya, dalam perjumpaan pertama kita melihat bahwa tanda perjumpaan dengan Tuhan adalah sukacita. Ketika saya berjumpa dengan Tuhan dalam doa, saya dipenuhi sukacita. Tiap-tiap kita dipenuhi sukacita, suatu hal yang indah. Kesedihan, atau rasa takut, di sisi lain, adalah tanda bahwa kita jauh dari Allah: "Jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah," kata Yesus kepada pemuda kaya itu (Mat 19:17). Sayang sekali bagi pemuda itu, beberapa kendala tidak memungkinkannya untuk mewujudkan keinginan di dalam hatinya untuk mengikut "Guru yang baik" secara lebih dekat. Dia adalah seorang pemuda yang penuh minat dan semangat, dia sudah mengambil inisiatif untuk bertemu Yesus, tetapi dia juga sangat terbagi dalam cintanya. Baginya, kekayaan terlalu penting. Yesus tidak memaksanya untuk mengambil keputusan, tetapi ayat itu mencatat bahwa si pemuda berpaling dari Yesus dengan "sedih" (ayat 22). Mereka yang berpaling dari Tuhan tidak pernah bahagia, meskipun mereka memiliki berlimpah harta dan kesempatan yang bisa mereka manfaatkan. Yesus tidak pernah memaksamu untuk mengikut-Nya, tidak pernah. Yesus memberitahukan kepadamu kehendak-Nya, dengan sepenuh hati Dia memberitahukan kepadamu banyak hal, tetapi Dia membiarkanmu bebas. Dan ini adalah hal yang terindah tentang doa bersama Yesus: kebebasan yang Dia berikan kepadamu. Sebaliknya, ketika kita menjauhkan diri dari Tuhan, kita tinggal dengan sesuatu yang menyedihkan, sesuatu yang buruk dalam hati kita.
Mendisemen apa yang terjadi dalam diri kita tidaklah mudah, karena tampilan itu menipu, tetapi keakraban dengan Allah bisa mengenyahkan kebimbangan dan ketakutan dengan cara yang lembut, membuat hidup kita semakin menerima "terang-Nya yang lembut", demikian ungkapan indah Santo Yohanes Henry Newman. Orang-orang kudus bersinar dengan refleksi terang dan menunjukkan dalam gerak isyarat sederhana sehari-hari mereka kehadiran Allah yang penuh kasih, yang membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dikatakan bahwa dua orang yang menjadi pasangan dan yang sudah hidup bersama untuk jangka waktu yang lama, saling mencintai, pada akhirnya saling mirip satu sama lain. Hal serupa bisa dikatakan tentang doa afektif. Secara perlahan tetapi efektif, ia membuat kita semakin mampu mengenali apa yang penting melalui keserupaan, sebagai sesuatu yang muncul dari kedalaman keberadaan kita. Berdoa bukan berarti mengucapkan kata-kata, dan kata-kata, tidak: berdoa berarti membuka hatiku kepada Yesus, mendekat kepada Yesus, membiarkan Yesus masuk ke dalam hatiku dan membuatku merasakan kehadiran-Nya. Dan di sanalah kita bisa mendisermen bilamana itu Yesus dan bilamana itu kita dengan pikiran-pikiran kita, yang seringkali jauh dari apa yang Yesus kehendaki.
Marilah kita memohon rahmat ini: untuk mengamalkan hubungan persahabatan dengan Tuhan, seperti seorang sahabat berbicara kepada sahabat (bdk. Santo Ignatius dari Loyola, Latihan Rohani, 53).
Saya kenal seorang broeder tua yang menjadi penjaga pintu sebuah sekolah berasrama, dan setiap kali ada kesempatan, dia akan mengunjungi kapel, menatap ke altar, dan berkata, "Halo," karena dia dekat dengan Yesus. Dia tidak perlu mengatakan bla bla bla, tidak: "Halo, aku dekat dengan-Mu dan Engkau dekat denganku." Inilah hubungan yang harus kita miliki dalam doa: keakraban, keakraban penuh kasih sayang, sebagai saudara dan saudari, keakraban dengan Yesus. Senyuman, gerak isyarat sederhana, dan bukan mendaraskan kata-kata yang tidak dari hati. Seperti yang saya katakan, berbicaralah kepada Yesus seperti seorang sahabat berbicara kepada sahabat.
Ini adalah rahmat yang harus kita mohon: melihat Yesus sebagai sahabat kita, sebagai sahabat terakrab kita, sahabat kita yang setia, yang tidak memeras, dan terutama yang tidak pernah meninggalkan kita, bahkan saat kita berpaling dari-Nya. Dia tetap di pintu hati kita. "Tidak, aku tidak mau tahu apa pun tentang-Mu," kita berkata. Dan dia tetap diam. Dia tetap dekat, dalam jangkauan hati karena Dia selalu setia. Mari kita terus maju dengan doa ini, kita bisa mengucapkan "doa halo," doa menyalami Tuhan dengan hati kita, doa kasih sayang, doa keakraban, dengan sedikit kata tetapi dengan tindakan dan perbuatan baik.
(Audiensi Umum 5 Oktober 2022)
Mari kita teruskan mengeksplorasi tema disermen. Kali lalu kita merenungkan doa, yang dipahami sebagai keakraban dan kepercayaan kepada Allah, sebagai unsur yang harus ada. Berdoa, yang tidak seperti burung beo, tetapi sebagai keakraban dan kepercayaan kepada Allah; doa anak-anak kepada Bapa-nya; berdoa dengan hati yang terbuka. Kita melihat ini dalam katekese sebelumnya. Sekarang saya ingin, dengan cara yang nyaris saling melengkapi, menekankan bahwa disermen yang baik juga membutuhkan pengenalan diri. Mengenal diri sendiri. Dan ini tidak mudah. Tentu saja, disermen melibatkan kemampuan manusiawi kita: memori, intelek, kemauan, kasih sayang. Sering kali, kita tidak tahu bagaimana mendisermen karena kita tidak mengenal diri kita sendiri dengan cukup baik, sehingga kita tidak tahu apa yang sesungguhnya kita inginkan. Kamu sering mendengar: "Tetapi orang itu, kenapa dia tidak menata hidupnya? Dia tidak pernah tahu apa yang dia inginkan… " Tanpa sampai ke tingkat ekstrim itu, hal yang demikian terjadi juga pada kita, kita tidak tahu dengan jelas apa yang kita inginkan, kita tidak mengenal diri kita sendiri dengan baik.
Keraguan rohani dan krisis panggilan yang mendasari adalah adanya - tidak jarang demikian - dialog yang tidak memadai antara kehidupan religius dan dimensi kognitif dan afektif manusiawi kita. Seorang penulis tentang kerohanian mencatat betapa banyak kesulitan pada tema disermen merupakan petunjuk akan adanya masalah-masalah lain, yang harus dikenali dan dieksplorasi. Penulis menulis: "Saya telah sampai pada keyakinan bahwa hambatan terbesar untuk disermen yang benar (dan untuk pertumbuhan yang benar dalam doa) bukanlah kodrat Tuhan yang tidak berwujud, melainkan fakta bahwa kita tidak cukup mengenal diri kita sendiri, dan kita bahkan tidak ingin mengenal diri kita sendiri sebagaimana adanya. Hampir semua dari kita bersembunyi di balik topeng, tidak hanya di depan orang lain, tetapi juga ketika kita bercermin" (lih. Thomas H. Green, Weeds Among the Wheat, 1984). Kita semua memiliki pencobaan untuk mengenakan topeng, bahkan di hadapan diri kita sendiri.
Melupakan kehadiran Allah dalam hidup kita sejalan dengan ketidaktahuan kita tentang diri sendiri - tidak mengenal Allah dan tidak mengenal diri kita sendiri - tidak mengenal ciri-ciri kepribadian kita dan keinginan-keinginan kita yang terdalam.
Mengenal diri sendiri tidaklah sulit, tetapi perlu kesungguhan hati: mensyaratkan pencarian jiwa dengan sabar. Ia menuntut kecakapan untuk berhenti, untuk "menonaktifkan pilot otomatis", guna mendapatkan kesadaran akan cara bertindak kita, akan perasaan yang ada dalam diri kita, akan pikiran-pikiran berulang yang mengkondisikan kita, dan yang seringkali tanpa kita sadari. Ia juga menuntut kita membedakan antara emosi dan indera rohani. "Aku merasa" tidak sama dengan "Aku yakin"; "Aku rasanya ingin" tidak sama dengan "Aku ingin". Jadi, kita mulai mengetahui bahwa pandangan yang kita miliki tentang diri kita sendiri dan tentang realitas terkadang tidak sejalan. Menyadari hal ini sungguh merupakan anugerah! Sungguh, sangat sering terjadi bahwa keyakinan yang salah tentang realitas, berdasarkan pengalaman masa lalu, sangat mempengaruhi kita, membatasi kebebasan kita untuk memperjuangkan apa yang benar-benar penting dalam hidup kita.
Hidup di era komputer, kita tahu betapa pentingnya mengetahui kata sandi untuk masuk ke dalam program di mana informasi kita yang paling pribadi dan paling berharga tersimpan. Namun kehidupan rohani juga memiliki "kata sandi"-nya: ada kata-kata yang menyentuh hati kita karena merujuk pada apa yang paling sensitif bagi kita. Si Penggoda, yaitu iblis, mengetahui benar kata-kata kunci ini, dan adalah penting kita mengetahuinya juga, agar jangan kita mendapati diri kita di tempat yang tidak kita inginkan. Godaan tidak selalu menyarankan hal-hal yang buruk, tetapi sering kali hal-hal yang serampangan, yang dihadirkan dengan kepentingan yang berlebihan. Dengan cara ini ia menghipnotis kita dengan ketertarikan, bahwa hal-hal ini bercampur aduk dalam diri kita, hal-hal yang indah tetapi ilusi, yang tidak bisa memberikan apa yang dijanjikannya, dan karena itu pada akhirnya meninggalkan kita dengan perasaan hampa dan sedih. Perasaan hampa dan sedih itu adalah tanda bahwa kita sudah menempuh jalan yang tidak benar, yang membuat kita kehilangan arah. Hal-hal itu bisa, misalnya, gelar, karier, hubungan, semua hal yang darinya sendiri patut dipuji, tetapi, yang jika kita tidak bebas, mengarahkan kita pada risiko menyimpan harapan palsu, seperti penegasan tentang nilai diri kita. Sebagai contoh, ketika kamu memikirkan studi yang kamu lakukan, apakah kamu hanya memikirkan kemajuan dirimu sendiri, kepentingan dirimu sendiri, atau juga pelayanan terhadap komunitas? Di sana, orang bisa melihat niat dari tiap-tiap kita. Penderitaan terbesar seringkali berasal dari kesalahpahaman ini karena tidak satu pun dari hal-hal tersebut yang bisa menjadi jaminan martabat kita.
Itulah sebabnya, saudara dan saudari terkasih, adalah penting untuk mengenal diri kita sendiri, untuk mengenal kata sandi hati kita, apa yang paling sensitif bagi kita, untuk melindungi diri kita dari mereka yang menampilkan diri dengan kata-kata rayuan untuk memanipulasi kita, tetapi juga untuk mengenali apa yang benar-benar penting bagi kita, membedakannya dari slogan-slogan dangkal yang sedang mode atau trend saat ini. Sering kali, apa yang dikatakan dalam acara televisi, dalam iklan, menyentuh hati kita dan membuat kita bergerak ke jalan itu tanpa kebebasan. Berhati-hatilah tentang itu: apakah aku bebas, atau apakah aku membiarkan diriku diombang-ambingkan oleh perasaan sesaat, atau provokasi saat itu?
Pertolongan dalam hal ini adalah pemeriksaan hati nurani, tetapi saya bukan berbicara tentang pemeriksaan hati nurani yang kita semua lakukan ketika kita pergi mengaku dosa, bukan. Yakni: "Tapi aku sudah berdosa dalam hal ini, itu… " Bukan. Melainkan, pemeriksaan hati nurani umum tentang hari itu: apakah yang sudah terjadi dalam hatiku sepanjang hari ini? "Banyak hal yang sudah terjadi… " Yang mana? Mengapa? Jejak apa yang ditinggalkannya di hatiku? Melakukan pemeriksaan hati nurani, yaitu, kebiasaan baik membaca ulang dengan tenang apa yang sudah terjadi pada hari kita, belajar memperhatikan dalam evaluasi dan pilihan kita apakah yang paling kita anggap penting, apakah yang kita cari dan mengapa, dan apakah yang pada akhirnya kita dapati. Yang terpenting, belajar mengenali apa yang memuaskan hatiku. Apakah yang memuaskan hatiku? Karena hanya Tuhan yang dapat memberi kita penegasan akan nilai diri kita. Dia memberitahukannya kepada setiap hari dari salib: Dia wafat bagi kita, untuk menunjukkan betapa berharganya kita di mata-Nya. Tidak ada penghalang atau kegagalan yang bisa mencegah pelukan-Nya yang lembut. Pemeriksaan hati nurani sangat membantu kita, karena dengan cara ini kita melihat bahwa hati kita bukanlah jalan yang dilalui segala sesuatu tanpa kita tahu tentangnya. Tidak. Untuk melihat: apakah yang berlalu hari ini? Apakah yang sudah terjadi? Apakah yang membuatku bereaksi? Apakah yang membuatku bersedih? Apakah yang membuatku bersukacita? Apakah yang buruk, dan apakah aku merugikan orang lain? Ini adalah tentang melihat jalan yang diambil perasaan kita, daya tarik dalam hatiku sepanjang hari itu. Jangan lupa! Kali lalu kita berbicara tentang doa. Hari ini kita berbicara tentang pengenalan diri.
Doa dan pengenalan diri memungkinkan kita untuk bertumbuh dalam kebebasan. Untuk bertumbuh dalam kebebasan! Ini adalah unsur-unsur dasar dari keberadaan Kristiani, unsur-unsur berharga untuk menemukan tempat orang dalam hidup.
(Audiensi Umum 12 Oktober 2022)
Dalam katekese ini kita meninjau kembali unsur-unsur disermen. Sesudah doa dan pengenalan diri, yakni, berdoa dan mengenal diri sendiri, sekarang saya ingin berbicara tentang "bahan" lain yang sangat diperlukan: sekarang saya ingin berbicara tentang keinginan. Nyatanya, disermen adalah suatu bentuk pencarian, dan pencarian selalu berasal dari sesuatu yang tidak kita miliki tetapi entah bagaimana kita ketahui - kita memiliki intuisi.
Pengetahuan macam apakah ini? Para guru spiritual merujuknya dengan menggunakan istilah "keinginan", yang pada dasarnya, adalah suatu nostalgia akan kepenuhan yang tidak pernah mendapatkan pemenuhannya yang sempurna, dan yang merupakan tanda kehadiran Allah dalam diri kita. Keinginan bukanlah hasrat sesaat, bukan. Kata dalam bahasa Italia, desiderio, berasal dari istilah Latin yang sangat indah, yang membuat penasaran: de-sidus, yang secara harafiah berarti "tidak adanya bintang". Keinginan adalah ketiadaan bintang, ketiadaan titik acuan yang mengarahkan jalan kehidupan; hal ini menyebabkan penderitaan, kekosongan, dan pada saat yang sama ketegangan untuk meraih yang baik yang tidak kita miliki itu. Maka, keinginan adalah kompas untuk memahami di mana aku berada dan ke mana aku akan pergi; atau lebih tepatnya, adalah kompas untuk memahami apakah aku diam atau apakah aku bergerak; orang yang tidak pernah punya keinginan adalah orang yang statis, mungkin sakit, nyaris mati. Keinginan adalah kompas untuk mengetahui apakah aku bergerak atau apakah aku tinggal diam. Dan bagaimanakah cara mengenalinya?
Marilah kita pikirkan, suatu keinginan yang tulus tahu bagaimana menyentuh secara mendalam akord keberadaan kita, itulah sebabnya keinginan itu tidak padam saat menghadapi kesulitan atau kemunduran. Seperti saat kita haus: jika kita tidak menemukan sesuatu untuk diminum, kita tidak akan menyerah; sebaliknya, kerinduan semakin memenuhi pikiran dan tindakan kita, hingga kita rela berkorban demi memuaskannya - nyaris terobsesi. Hambatan dan kegagalan tidak membungkam keinginan, tidak; sebaliknya, membuatnya bahkan semakin hidup dalam diri kita.
Tidak seperti hasrat atau emosi sesaat, keinginan bertahan sepanjang waktu, bahkan untuk jangka waktu yang lama, dan cenderung terwujud. Jika, misalnya, seorang pemuda ingin menjadi seorang dokter, dia harus mengambil program studi dan pekerjaan yang memakan waktu beberapa tahun dalam hidupnya, dan sebagai konsekuensinya dia harus menetapkan batasan, mengatakan "tidak" pertama-tama pada semua program studi lainnya, tetapi juga pada kemungkinan penyimpangan dan distraksi, terutama selama periode studi yang paling intens. Namun, keinginan untuk memberikan arah dalam hidupnya dan mencapai tujuan tersebut - menjadi seorang dokter misalnya - memungkinkannya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini. Keinginan membuatmu kuat, membuatmu berani, membuatmu terus maju, karena kamu ingin sampai pada hal itu: "Aku menginginkannya."
Akibatnya, suatu nilai menjadi indah dan lebih mudah dicapai jika nilai tersebut menarik. Seperti kata orang, "yang lebih penting daripada menjadi baik adalah memiliki keinginan untuk menjadi baik." Menjadi baik adalah sesuatu yang menarik, kita semua ingin menjadi baik, tapi apakah kita mempunyai keinginan untuk menjadi baik?
Sungguh mengejutkan bahwa sebelum mengerjakan suatu mukjizat, Yesus sering kali bertanya kepada orang yang bersangkutan tentang keinginannya: "Apakah kamu ingin sembuh?" Dan terkadang pertanyaan ini sepertinya tidak pada tempatnya; sudah jelas bahwa orang itu sakit! Misalnya, ketika di kolam Betesda Dia bertemu dengan seorang lumpuh, yang sudah berada di sana selama bertahun-tahun dan tidak pernah berhasil menggunakan momen yang tepat untuk masuk ke dalam air, Yesus bertanya kepadanya, "Maukah engkau sembuh?" (Yoh 5:6). Tapi kenapa? Pada kenyataannya, jawaban si lumpuh mengungkapkan serangkaian penolakan aneh terhadap penyembuhan, yang tidak hanya berhubungan dengan dirinya saja. Pertanyaan Yesus merupakan ajakan untuk mendatangkan kejelasan dalam hati-Nya, untuk menyambut kemungkinan lompatan ke depan: untuk tidak lagi berpikir tentang dirinya dan hidupnya sendiri "sebagai seorang yang lumpuh", yang digotong oleh orang lain. Namun orang di pembaringan itu tampaknya tidak begitu yakin akan hal ini. Dengan terlibat dalam dialog dengan Tuhan, kita belajar memahami apa yang sebenarnya kita inginkan dalam hidup kita. Orang lumpuh ini adalah contoh khas dari mereka yang mengatakan, "Ya, ya, aku mau, aku mau", tapi kemudian, "Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau berbuat apa-apa." Keinginan untuk melakukan sesuatu menjadi seperti ilusi dan orang tidak mengambil langkah untuk melakukannya. Orang-orang yang mau dan tidak mau. Ini buruk, dan orang sakit itu, sudah berada di sana selama 38 tahun tetapi dengan selalu menggerutu: "Tidak, Engkau tahu, Tuhan, tetapi Engkau tahu ketika airnya goncang - itulah momen mukjizat - Engkau tahu, seseorang yang lebih kuat daripadaku mendahuluiku, dia masuk, dan aku terlambat tiba di sana", dan dia mengeluh dan mengeluh. Tetapi berhati-hatilah, sebab keluh kesah adalah racun, racun bagi jiwa, racun bagi hidup, karena keluh kesah menghalangi keinginan untuk terus bertumbuh. Waspadalah terhadap keluhan. Ketika kita mengeluh dalam keluarga, pasangan suami istri mengeluh, yang satu mengeluh tentang yang lain, anak-anak mengeluh tentang ayah mereka, atau imam mengeluh tentang uskup, atau uskup mengeluh tentang banyak hal lainnya… Tidak, jika kamu menyadari kamu menggerutu, waspadalah, itu nyaris suatu dosa, karena menghalangi keinginan untuk bertumbuh.
Sering kali justru keinginanlah yang membuat perbedaan antara misi yang sukses, koheren dan bertahan lama, dengan ribuan ambisi dan niat baik yang, seperti mereka katakan, "hell is paved" [neraka penuh dengan maksud baik, tetapi surga penuh dengan perbuatan baik]: "Ya, aku ingin, aku ingin, aku ingin…", tetapi kamu tidak melakukan apa-apa. Era di mana kita hidup tampaknya mempromosikan kebebasan maksimum untuk memilih, tetapi sekaligus menciutkan keinginan - kamu ingin dipuaskan terus-menerus - yang sebagian besar direduksi menjadi keinginan sesaat. Dan kita harus berhati-hati untuk tidak menciutkan keinginan. Kita dibombardir oleh ribuan tawaran, proyek, kemungkinan, yang berisiko mengalihkan perhatian kita dan tidak memungkinkan kita untuk mengevaluasi dengan tenang apa yang benar-benar kita inginkan. Sering kali, kita mendapati orang - mari kita berpikir tentang kaum muda misalnya - dengan ponsel di tangan, mencari, melihat… "Tapi apakah kamu berhenti untuk berpikir?" - "Tidak". Selalu menghadap ke luar, ke arah yang lain. Keinginan tidak dapat tumbuh dengan cara ini; kamu hidup pada saat ini, puas pada saat ini, dan keinginan tidak bertumbuh.
Banyak orang menderita karena mereka tidak tahu apa yang mereka inginkan dalam hidup; mereka mungkin tidak pernah berhubungan dengan keinginan terdalam mereka, mereka tidak pernah tahu: "Apakah yang kamu inginkan dalam hidupmu?" - "Aku tidak tahu". Oleh karena itu, ada risiko melewatkan keberadaan orang di antara berbagai upaya dan cara, tanpa pernah mencapai tujuan, dan menyia-nyiakan peluang yang berharga. Oleh karena itu, perubahan-perubahan tertentu, meskipun diinginkan secara teori, ketika ada peluang, tidak pernah dilaksanakan; tidak ada keinginan kuat untuk mengejar sesuatu.
Jika Tuhan menanyakan kepada kita, sekarang ini, misalnya, seorang dari antara kita, pertanyaan yang Dia ajukan kepada orang buta di Yerikho: "Apa yang kau kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?" (Mrk 10:51) - mari kita berpikir bahwa Tuhan sekarang ini menanyakan hal ini kepada tiap-tiap kita: "Apa yang kau kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?" - bagaimana kita akan menjawab? Mungkin pada akhirnya kita meminta-Nya untuk membantu kita mengetahui keinginan terdalam-Nya, yang telah Allah sendiri tempatkan dalam hati kita: "Tuhan, bolehkah aku mengetahui keinginanku, semoga aku menjadi seorang perempuan atau seorang laki-laki yang berkeinginan besar." Mungkin Tuhan akan memberi kita kekuatan untuk mewujudkannya. Itu adalah rahmat yang luar biasa, dasar dari semua yang lain: mengizinkan Tuhan, seperti dalam Injil, mengerjakan mukjizat atas kita: "Berilah kami keinginan dan buatlah keinginan itu bertumbuh, Tuhan."
Karena Dia juga mempunyai keinginan besar atas kita: membuat kita ikut ambil bagian dalam kepenuhan hidup-Nya.
V. M
(Audiensi Umum 27 November 2017)
V. M
(Audiensi Umum 27 November 2017)
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|
|