97. PANGGILAN MATIUS
4 Februari 1945
Pagi ini aku sedang memikirkan kembali apa yang Pater [=P. Romualdo Migliorini, O.S.M] katakan kemarin ketika aku membacakan penglihatan kepada Pater. Pater sekedar takjub. Dan aku mengatakannya kepada Yesus Yang ada dekatku.
Ia menjawabku: "Itulah sebabnya mengapa Aku memberikannya. Kau tak dapat membayangkan betapa sukacita yang Aku berikan untuk sahabat-sahabat sejati-Ku. Demikianlah Aku memberikan Diri-Ku Sendiri kepada Romualdo-Ku, demi sukacita, kasih dan pertolongan baginya, dan sebab Aku melihatnya. Aku tidak menyimpan rahasia dari Yohanes. Tidak untuk Yohanes-Yohanes. Katakanlah kepada Yohanes tua bahwa Aku memberinya begitu banyak damai dan hasil tangkapan ikan yang bagus. Tak ada tangkapan untukmu. Aku memberimu hanya pekerjaan perempuan menambal jaring-jaring dengan benang yang Aku berikan kepadamu. Bekerjalah, teruslah bekerja… Dan janganlah sedih jika kau tak punya waktu untuk yang lainya. Semuanya ada dalam karya ini. Dan janganlah salah sangka jika Aku tidak datang dan mengatakan kepadamu: 'Damai sertamu.' Orang menyampaikan salam ketika orang datang atau pergi. Tapi ketika orang selalu bersama, mereka tidak saling menyampaikan salam. Tinggal tetap adalah damai. Tinggal tetap-Ku adalah damai. Dan Aku bukan tamumu. Kau sesungguhnya ada dalam pelukan-Ku dan Aku tidak pernah menurunkanmu barang sekejab. Ada begitu banyak yang harus Aku katakan kepadamu mengenai hari-hari fana-Ku! Akan tetapi, baiklah, Aku akan membuatmu gembira hari ini dan Aku katakan kepadamu: 'Kiranya damai-Ku sertamu."
Nyaris segera sesudahnya aku melihat yang berikut.
Kita sekali lagi berada di alun-alun pasar di Kapernaum. Tapi udara lebih hangat hari ini. Pasar sudah bubar dan di alun-alun hanya ada beberapa orang pengangguran yang tengah mengobrol dan beberapa anak sedang bermain.
Yesus, di tengah kelompok-Nya, datang dari danau menuju alun-alun, dengan membelai anak-anak yang datang menyambut-Nya dan memberikan perhatian pada berita-berita kecil yang sepotong-sepotong yang mereka ceritakan. Seorang gadis kecil menunjukkan sebuah luka gores besar yang berdarah pada dahinya dan menuduh adik laki-lakinya melakukannya.
"Mengapa kau menyakiti saudarimu? Tidak seharusnya kau melakukan itu."
"Aku tidak melakukannya dengan sengaja. Aku ingin mengambil buah-buah ara itu dan aku mengambil sepotong kayu. Tapi kayu itu terlalu berat dan jatuh menimpanya… aku ingin mengambilkan buah-buah untuknya juga …"
"Betul begitu, Yohana?"
"Ya."
"Baik, jadi kau dapat lihat bahwa saudaramu tak bermaksud menyakitimu. Sebaliknya dia ingin membuatmu senang. Jadi segera berdamailah dan saling berikan ciuman satu sama lain. Saudara dan saudari kecil yang baik, dan semua anak yang baik, jangan pernah mendengki. Ayo…"
Kedua anak yang menangis itu saling memberikan ciuman satu sama lain. Mereka berdua menangis: yang satu karena kesakitan akibat lukanya, yang lain karena dia menyesal bahwa dialah penyebab sakit itu.
Yesus tersenyum melihat kecupan yang dibasahi dengan tetesan-tetesan besar airmata. "Baik. Sekarang sesudah Aku melihat kalian berbaikan, Aku akan mengambilkan buah-buah ara untuk kalian. Dan tanpa kayu." Tak heran! Dengan perawakan setinggi Dia dan dengan lengan-lengan yang panjang, Ia dapat melakukannya tanpa kesulitan. Ia mengambil dan memberikannya kepada mereka.
Seorang perempuan bergegas menuju tempat kejadian. "Ambillah, ambillah, Guru. Aku akan segera membawakan Engkau roti."
"Bukan, bukan untuk-Ku. Untuk Yohana dan Toby. Mereka menginginkannya."
"Dan kalian menyusahkan Guru? Oh! Betapa merepotkannya mereka! Maafkan mereka, Tuan-ku."
"Perempuan, ada pendamaian yang harus dilakukan… dan Aku membuat mereka melakukannya dengan obyek pertengkaran mereka itu sendiri: buah-buah ara. Anak-anak tidak pernah merepotkan. Mereka seperti buah-buah ara yang manis dan Aku… Aku suka jiwa-jiwa mereka yang manis tanpa dosa. Mereka menghalau begitu banyak kepahitan dari-Ku…"
"Guru… adalah orang-orang berada yang tidak mengasihi Engkau. Tapi kami, orang-orang miskin, kami mengasihi Engkau. Dan mereka sangat sedikit, sementara kami sangat banyak…"
"Aku tahu, perempuan. Terima kasih atas dorongan semangatmu. Damai sertamu. Selamat tinggal, Yohana! Selamat tinggal, Toby! Jadilah baik. Jangan saling menyakiti satu sama lain dan jangan punya maksud buruk. Ya?"
"Ya, Yesus," jawab anak-anak.
Yesus berjalan pergi dan Ia berkata seraya tersenyum: "Sekarang dengan bantuan buah-buah ara kita telah menjernihkan langit dari segala awan, kita akan pergi ke… Kemanakah menurut kalian kita akan pergi?"
Para rasul tidak tahu. Beberapa menyebut satu tempat, yang lainnya menyebut tempat lain. Tapi setiap kali Yesus menggelengkan kepala-Nya dan tertawa.
Petrus berkata: "Aku menyerah. Terkecuali Engkau mengatakannya kepada kami… Aku sedang bad mood hari ini. Kau tidak melihatnya. Tapi ketika kita turun dari perahu, ada Eli, si Farisi. Dan dia mendidih karena dengki… lebih dari sebelumnya! Dan cara dia melihat kita!"
"Biarkan dia melihat."
"Eh! Hanya itulah yang dapat kita lakukan. Tapi aku dapat meyakinkan Engkau, Guru, bahwa dua buah ara tak akan cukup untuk berdamai dengannya!"
"Apa yang tadi Aku katakan kepada ibu Toby? 'Aku mengadakan pendamaian dengan obyek pertengkaran itu sendiri.' Dan Aku akan mencoba berdamai dengan memberikan hormat-Ku kepada orang-orang terpandang di Kapernaum, sebab mereka merasa bahwa Aku telah menghina mereka. Jadi, seorang yang lain yang akan senang."
"Siapa?"
Yesus tidak menjawab pertanyaan dan Ia melanjutkan: "Mungkin Aku tidak akan berhasil, sebab mereka tidak bersedia berdamai. Tapi dengarkanlah: dalam segala pertandingan, yang lebih bijaksana dari keduanya akan mengalah, dan daripada bersikukuh ingin menjadi yang benar, dia bersedia bersepakat, bahkan berbagi sama rata apa yang, Aku juga akan mengakuinya, mungkin menjadi hak milik sepenuhnya, maka situasinya akan menjadi lebih baik dan lebih kudus. Orang tidak selalu dengan sengaja mencelakai. Terkadang orang mencelakai yang lain tanpa menghendakinya. Kalian harus selalu memikirkan itu dan mengampuni. Eli dan yang lainnya yakin bahwa mereka tengah melayani Allah dengan keadilan dengan bertindak seperti itu. Dengan kesabaran dan ketekunan, dan dengan kerendahan hati dan maksud baik, Aku akan berusaha membujuk mereka bahwa zaman yang baru telah tiba dan bahwa Allah, sekarang, menghendaki untuk dilayani seturut ajaran-Ku. Maksud baik adalah kecerdikan seorang rasul, ketekunan adalah senjatanya, dan teladan serta doanya bagi mereka yang hendak dipertobatkan adalah kesuksesannya."
Mereka tiba di alun-alun. Yesus langsung menuju ke counter pajak di mana Matias sedang menyusun pembukuannya dan mengecek keping-keping uang, yang dibaginya menjadi berbagai macam pecahan dan dimasukkannya ke dalam kantong-kantong berbagai warna, dan lalu mengecek peti logam, yang ditunggui dua orang pelayan untuk dibawa ke tempat lain. Begitu bayangan figur Yesus yang tinggi muncul di bangku, Matius mendongak untuk melihat siapakah pembayar pajak yang terlambat itu? Sementara itu Petrus, dengan menarik lengan baju Yesus, berkata: "Tak ada pembayaran yang harus dilakukan, Guru. Apakah yang sedang Engkau lakukan?"
Tapi Yesus tidak menghiraukannya. Ia menatap Matius yang segera bangkit dari tempat duduknya dalam suatu sikap hormat. Suatu tatapan tajam yang menembus lebih jauh. Tapi bukan tatapan seorang hakim yang keras, seperti kali lalu. Melainkan suatu tatapan panggilan dan kasih. Tatapan itu memikatnya dan menguasainya dengan kasih. Matius memerah wajahnya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan…
"Matius, anak Alfeus, saatmu memanggil. Ayo. Ikutlah Aku!" perintah Yesus penuh wibawa.
"Aku? Guru, Tuhan! Tapi tahukah Engkau siapa aku? Aku mengatakan itu demi kebaikan-Mu, bukan aku…"
"Ayo, ikutlah Aku, Matius, anak Alfeus," Ia mengulang dengan lebih lembut.
"Oh! Bagaimana aku dapat beroleh kasih karunia di hadapan Allah? Aku…aku…"
"Matius, anak Alfeus, Aku telah melihat ke dalam hatimu. Ayo, ikutlah Aku." Undangan yang ketiga ini penuh kasih sayang.
"Oh! Segera, Tuhan-ku!" dan Matius, dengan menangis, keluar dari belakang counter, tanpa peduli untuk memungut keping-keping uang yang berserakan di atasnya ataupun menutup peti uang. Tidak. "Ke manakah kita akan pergi, Tuan-ku?" dia bertanya ketika dia dekat Yesus. "Ke manakah Engkau hendak membawaku?"
"Ke rumahmu. Apakah kau akan memberikan keramah-tamahan kepada Putra Manusia?"
"Oh!... tapi… tapi apakah yang akan dikatakan mereka yang membenci Engkau?"
"Aku mendengarkan apa yang dikatakan di Surga dan mereka mengatakan di sana: 'Kemuliaan bagi Allah karena seorang berdosa yang diselamatkan!' dan Bapa mengatakan: 'Kerahiman akan naik untuk selamanya di Surga dan akan melayang-layang di atas bumi, dan sebab Aku mengasihi engkau dengan kasih yang sempurna abadi, Aku juga akan berbelas-kasihan terhadap engkau.' Ayo. Dan dengan kedatangan-Ku, pula hatimu, kiranya juga rumahmu dikuduskan."
"Aku sudah memurnikannya, sebab suatu pengharapan pasti yang ada dalam hatiku… tapi aku tak dapat secara rasional percaya bahwa itu akan menjadi kenyataan… Oh! Aku bersama para sahabat-Mu yang kudus…" dan dia melihat kepada para murid.
"Ya. Bersama para sahabat-Ku. Ayo. Aku mempersatukan kalian bersama. Jadilah seperti saudara."
Para murid sangat terperanjat, hingga mereka tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dalam satu kelompok, mereka berjalan di belakang Yesus dan Matius dalam terang cahaya matahari di alun-alun, di mana tidak ada satu jiwa pun yang masih tinggal, dan lalu dalam suatu perjalanan pendek menyusuri suatu jalan yang terbakar oleh terik matahari. Tak ada suatu jiwa pun di jalanan. Tak ada apa pun selain sinar matahari dan debu.
Mereka masuk ke dalam sebuah rumah. Suatu rumah indah dengan sebuah pintu depan yang besar terbuka menghadap jalan. Ada suatu aula yang teduh sejuk, yang dibelakangnya aku dapat melihat sebuah halaman luas yang ditanami sebagai kebun.
"Masuklah, Guru-ku! Ambilkan air dan minuman."
Para pelayan segera membawakan apa yang diminta.
Matius pergi keluar untuk memberikan perintah-perintah, sementara Yesus dan para murid-Nya menyegarkan diri. Dia lalu kembali. "Marilah sekarang, Guru. Ruang makan lebih sejuk… Teman-temanku akan datang… Oh! Aku ingin suatu pesta besar! Ini adalah kelahiranku kembali… Adalah… sunatku yang sesungguhnya… Engkau telah menyunat hatiku dengan kasih-Mu… Guru, ini akan menjadi pesta yang terakhir… Mulai sekarang tak akan ada lagi pesta untuk Matius, si pemungut cukai. Tak akan ada lagi pesta-pesta duniawi… Hanya sukacita batin sebab aku telah ditebus dan aku melayani Engkau… dan aku dikasihi oleh Engkau… Betapa banyak aku mencucurkan airmata… Betapa banyak, sepanjang bulan-bulan terakhir ini… Aku menangis nyaris selama tiga bulan… Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan… Aku ingin datang… Tapi bagaimana dapat aku, dengan jiwaku yang najis, datang kepada Engkau, Yang Kudus?..."
"Engkau membersihkannya dengan tobat dan amal kasih. Terhadap Aku dan sesamamu. Petrus? Kemarilah."
Petrs, yang begitu terperanjat hingga tak mengucapkan sepatah kata pun, maju mendekat. Kedua laki-laki, keduanya telah lanjut usia, tegap dan gempal, saling berhadapan satu sama lain, dan Yesus, tampan dan tersenyum, ada di tengah mereka.
"Petrus, kau bertanya kepada-Ku berulang kali siapakah orang tak dikenal yang kantong uangnya biasa dihantarkan Yakobus kepada kita. Ini dia, di hadapanmu."
"Siapa? Perampok itu… Oh! maafkan aku, Matius! Siapakah yang akan mengira bahwa itu adalah kau? Dan bahwa kau dapat mengoyakkan sekeping hatimu setiap minggu dan membuat persembahan yang murah hati itu, kau yang adalah keputusasaan kami karena ribamu?"
"Aku tahu. Aku membebankan pajak secara tidak adil kepadamu. Tapi sekarang, aku berlutut di hadapan kalian semua dan aku katakan kepada kalian: janganlah menolak aku! Ia telah menerima aku. Janganlah lebih kejam dari Dia."
Petrus, yang melihat Matius di bawah kakinya, sekonyong-konyong mengangkat tubuh Matius, kasar namun penuh kasih: "Berdirilah. Kau tak harus memohon kepadaku ataupun yang lainnya untuk mengampunimu. Kau harus memohon kepada-Nya. Kami… baik, kami tak masalah, kami kurang lebih juga pencuri-pencuri sepertimu… Oh! Aku telah mengatakannya. Terkutuklah lidahku! Tapi itulah aku: Aku mengatakan apa yang aku pikirkan, dan apa yang ada dalam hatiku juga ada dalam bibirku. Mari, marilah kita membuat persepakatan damai dan kasih" dan dia mencium Matius pada pipinya.
Yang lain melakukan yang sama, lebih atau kurang penuh kasih. Aku katakan demikian, sebab Andreas agak menjaga jarak, karena malu, dan Yudas Iskariot bagai es. Dia kelihatan seperti sedang memeluk sekantong ular, begitu dingin dan singkat pelukannya.
Matius mendengar suara-suara ribut dan pergi keluar.
"Guru," kata Yudas Iskariot. "Aku pikir ini tidak bijaksana. Kaum Farisi telah mendakwa Engkau, dan Engkau… Seorang pemungut cukai sebagai salah seorang murid-Mu! Seorang pemungut cukai… sesudah seorang pelacur!... Apakah Engkau ingin menghancurkan Diri-Mu Sendiri? Jika ya, katakan kepada kami, agar…"
"Agar kami dapat pergi, begitu?" Petrus menarik kesimpulan sarkastis.
"Siapa yang berbicara kepadamu?"
"Aku tahu kau tidak sedang berbicara kepadaku, aku, sebaliknya, sedang berbicara kepada jiwa ningratmu, kepada jiwamu yang paling murni dan bijak. Aku tahu bahwa kau, anggota Bait Allah, mencium busuk dosa dalam diri kami orang-orang miskin, yang bukan berasal dari Bait Allah. Aku sadar bahwa kau, seorang Yudea sejati, perpaduan antara Farisi, Saduki dan Herodian, setengah ahli Taurat dan setengah Esseni - apakah kau ingin lebih banyak kata-kata mulia? - Aku sadar bahwa kau tidak merasa nyaman bersama kami dan kau seperti ikan alose [= Clupea alosa] mahaindah yang tertangkap dalam sebuah jala penuh ikan. Apakah yang dapat kami lakukan? Ia menangkap kami dan kami… tinggal. Jika kau merasa tidak nyaman… sebaiknya kau pergi. Kita semua harus mendapat kelegaan. Juga Ia, Yang, lihat? terganggu dengan aku dan kau. Dengan aku sebab aku kurang sabar dan juga… ya, juga kurang belas-kasihan, tapi terlebih lagi dengan kau, sebab kau tidak mengerti apapun, kendati segala atribut baikmu yang kata orang, dan kau tak punya belas-kasihan, pula tak punya kerendahan hati, ataupun rasa hormat. Kau tak punya apa-apa, bocah. Terkecuali banyak udara panas… dan Allah menganugerahkan bahwa itu tidak mencelakakan."
Yesus membiarkan Petrus berbicara sementara Ia berdiri dengan kedua lengan terlipat, bibir rapat, dan mata tajam menusuk. Pada akhirnya, Ia mengatakan: "Apakah kau sudah selesai, Petrus? Apakah kau juga sudah membersihkan hatimu dari ragi yang ada di dalamnya? Kau telah melakukan hal yang benar. Hari ini adalah Paskah bagi seorang anak Abraham. Panggilan Kristus adalah bagai darah anak domba ke atas jiwa-jiwa kalian, dan di mana ada panggilan-Nya, di sana tidak akan ada lagi dosa. Tak akan ada lagi dosa jika dia yang menerimanya setia padanya. Panggilan-Ku adalah penebusan dan dirayakan tanpa ragi."
Tak ada perkataan yang dilontarkan untuk Yudas. Petrus diam dan malu.
"Tuan rumah kita sedang datang," kata Yesus. "Dan bersama teman-teman. Janganlah kita menunjukkan kepada mereka apapun selain dari keutamaan. Barangsiapa tak dapat melakukannya, hendaknya keluar. Jangan seperti kaum Farisi, yang menindas orang dengan aturan-aturan yang mereka sendiri tak dapat mentaatinya."
Matius kembali masuk bersama beberapa lelaki lain dan perjamuan dimulai. Yesus ada di tengah di antara Petrus dan Matius. Mereka membicarakan banyak hal dan Yesus dengan sabar menjelaskan ini dan itu atas apa yang ingin mereka ketahui. Ada juga keluh-kesah mengenai kaum Farisi yang memandang rendah mereka.
"Baik, datanglah kepada Ia Yang tidak memandang rendah padamu. Dan berperilakulah begitu rupa hingga setidaknya orang-orang baik tidak mencemoohmu," jawab Yesus.
"Engkau baik. Tapi Engkau satu-satunya!"
"Tidak. Mereka ini seperti Aku dan lalu… ada Allah Bapa Yang mengasihi dia yang bertobat dan ingin menjadi sahabat-Nya kembali. Jika orang berkekurangan dalam segalanya, tapi Bapa masih tinggal, adakah sukacitanya tidak penuh?"
Perjamuan hampir berakhir ketika seorang pelayan mengangguk kepada tuan rumah dan mengatakan sesuatu kepadanya.
"Guru: Eli, Simon dan Yoakim minta masuk dan berbicara kepada-Mu. Apakah Engkau mau menemui mereka?"
"Tentu."
"Tapi… teman-temanku di sini adalah para pemungut cukai."
"Dan itulah apa yang ingin mereka datang dan lihat. Biarkan mereka melihat. Tak ada guna menyembunyikannya. Tak akan ada faedahnya, sebab lidah-lidah jahat akan menjadikan situasi lebih buruk dengan mengatakan bahwa ada juga pelacur-pelacur di sini. Biarkan mereka masuk."
Ketiga Farisi masuk, mereka melihat sekeliling dengan senyum ironis dan hendak berbicara. Tapi Yesus, Yang berdiri dan pergi menyambut mereka bersama Matius, mendahului mereka. Ia menempatkan satu tangan ke atas pundak Matius dan mengatakan: "Wahai anak-anak Israel sejati, Aku menyalami kalian dan Aku menyampaikan suatu berita besar kepada kalian yang akan mendatangkan sukacita besar dalam hati kalian, hati orang-orang Israel sejati, yang mencanangkan pelaksanaan Hukum dalam setiap hati, demi memberikan kemuliaan kepada Allah. Di sini: Matius, anak Alfeus, sejak per hari ini bukan lagi seorang pendosa, skandal bagi Kapernaum. Seekor domba Israel yang kudisan sudah disembuhkan. Bersukacitalah! Sesudah dia, domba-domba kudisan lain akan disembuhkan dan kota kalian, dalam kekudusan yang begitu kalian junjung tinggi, akan menyukakan Allah karena kekudusannya. Ia meninggalkan segala sesuatu demi melayani Allah. Berikanlah cium damai kepada si orang Israel yang sesat, yang sekarang kembali ke pangkuan Abraham."
"Apakah dia kembali bersama para pemungut cukai? Dalam suatu perjamuan sukacita? Oh! Sungguh suatu pertobatan yang ramah-tamah! Lihat di sana, Eli: itu Yosia, si mucikari."
"Dan itu Simon anak Ishak, si pezinah."
"Dan itu? Itu Azarya, pemilik rumah judi, yang rumah judinya menjadi tempat orang-orang Romawi dan orang-orang Yudea bermain, berkelahi dan pergi bersama para perempuan."
"Guru, apakah Engkau mengenal orang-orang ini? Apakah Engkau tahu?"
"Ya."
"Baik, jadi, mengapakah kalian orang-orang Kapernaum, kalian para murid, mengapakah kalian membiarkan semua ini? Aku terkejut atas kau, Simon anak Yohanes!"
"Dan kau, Filipus, kau dikenal di sini, dan kau, Natanael, aku terkejut! Kalian, orang Israel sejati! Mengapakah kalian biarkan Guru kalian makan bersama para pemungut cukai dan orang-orang berdosa?"
"Apakah tidak ada lagi kendali diri di Israel?" Ketiga orang Farisi sama sekali terguncang. Yesus mengatakan: "Biarkan murid-murid-Ku. Aku menghendakinya. Hanya Aku."
"Jelas! Ketika orang bertindak seperti seorang kudus dan padahal bukan seorang kudus, maka orang akan segera jatuh ke dalam kesalahan-kesalah yang tak dapat diampuni!"
"Dan ketika para murid diajari untuk tidak punya rasa hormat, mereka tidak punya hormat bahkan terhadap Hukum. Aku masih panas atas tawa sinis yang ditujukan padaku, Eli, si Farisi, dari orang ini, seorang Yudea dari Bait Allah. Orang mengajarkan apa yang dia tahu."
"Kalian salah, Eli. Kalian semua salah. Orang mengajarkan apa yang dia tahu. Itu benar. Dan Aku mengenal Hukum dan Aku mengajar mereka yang tidak mengenalnya, yakni, orang-orang berdosa. Aku tahu bahwa kalian sudah menjadi tuan-tuan atas jiwa-jiwa kalian. Tapi orang-orang berdosa tidak. Aku mencari jiwa-jiwa mereka, yang Aku kembalikan kepada mereka, agar mereka dapat membawanya kepada-Ku kembali, seperti apa adanya: sakit, terluka, tercemar dan Aku akan menyembuhkan dan membersihkannya. Aku telah datang untuk itu. Adalah orang-orang berdosa yang membutuhkan Juruselamat. Dan Aku telah datang untuk menyelamatkan mereka. Berusaha dan mengertilah Aku… dan janganlah membenci Aku tanpa sebab."
Yesus lembut, meyakinkan, rendah hati… Tapi ketiga Farisi adalah sepenuhnya onak duri… dan mereka pergi keluar dengan memperlihatkan rasa jijik.
"Mereka sudah pergi… Kita sekarang akan dikecam di mana-mana," bisik Yudas Iskariot.
"Biarkan mereka bertindak sesuka mereka. Pastikan bahwa Bapa tidak mengecam kalian. Janganlah sedih, Matius, juga kalian, teman-temannya. Batin kita mengatakan: 'Janganlah mencelakai.' Itu cukup."
Yesus duduk dan semuanya pun berakhir.
|
|