Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Anda Bertanya, Kami Menjawab
Misa Arwah
Misa arwah tentu saja selalu berkaitan dengan kematian orang. Gereja harus juga mempersembahkan kurban ekaristis bagi para arwah yang semasa hidupnya mengimani Kristus. Seringkali fenomena Misa Arwah ini lebih dikenal juga dengan istilah Latin “Missa Requiem” (requies = istirahat), namun istilah resminya “Missa defunctorum” (PUMR 380-381).
Untuk siapa, untuk apa?
Kita perlu juga mendoakan atau memberi pertolongan rohani kepada yang sudah meninggal. Meskipun sudah meninggal, arwah orang beriman juga masih perlu ditemani. Sekaligus kita hendak menghibur yang ditinggalkan (keluarga, kerabat, teman, kenalan, dsb) dan menumbuhkan harapan mereka (PUMR 379). Setiap orang Katolik yang meninggal dunia hendaknya didoakan dengan ritus Gereja Katolik. Terkadang ada alasan-alasan pastoral yang menyebabkan tidak mungkin terlaksana ritus-ritus itu secara lengkap bagi pribadi tertentu. Dalam situasi yang sensitif ini perlu diambil tindakan-tindakan yang arif dan bijaksana agar tidak ada pihak yang terluka hatinya sehingga berdampak buruk juga bagi komunitas atau umat setempat.
Tujuan perayaan itu sendiri?
Gereja hendak memuji dan bersyukur kepada Allah atas anugerah kehidupan yang kini telah diambil kembali oleh Allah, Sang Empunya. Misa sebagai kenangan akan kematian dan kebangkitan Kristus merupakan perayaan utama dari perayaan kematian kristiani. Melalui perayaan itu pula Gereja memohon cinta dan belas kasih Allah, serta pengampunan dosa bagi yang meninggal. Pada perayaan itu seluruh umat kristiani menegaskan dan mengungkapkan kesatuan Gereja di dunia dengan Gereja di surga yang berhimpun dalam persekutuan para kudus (Tata Perayaan Pemakaman Kristiani, TPPK 5-6).
Kapan boleh diadakan?
Setidaknya ada tiga kemungkinan: [1] Misa Arwah dapat diadakan pada saat berita kematian diterima. [2] Bisa juga sekaligus pada saat atau hari pemakaman. [3] Atau juga pada saat peringatan kematian (PUMR 381).
Yang terpenting adalah Misa Arwah pada hari pemakaman, apalagi jika jenazahnya ada (disebut juga sebagai Misa Pemakaman, PUMR 384). Pada hari liturgis apa pun Misa Arwah boleh diadakan, kecuali pada hari-hari raya wajib, hari Kamis dalam Pekan Suci, Trihari Suci Paskah, hari-hari Minggu dalam Masa Adven, Prapaskah, dan Paskah (PUMR 380).
Pelayan dan partisipasi umat
Pemimpin Perayaan Ekaristi tentu saja seorang imam. Perayaan-perayaan liturgi non-Ekaristi dapat juga dipimpin oleh pelayan awam yang ditunjuk oleh imam (pastor paroki). Namun pelayan untuk seluruh rangkaian perayaan pemakaman ini adalah umat beriman. Ketika ada yang meninggal, umat dipanggil untuk menjadi penghibur bagi yang berduka dan menderita. Penghiburan kristiani ditawarkan dalam perspektif Paskah Kristus. Kekuatan dosa dan maut akan dikalahkan oleh kebangkitan Kristus. Maka, umat pun ikut merawat orang yang sekarat, berdoa bagi yang wafat, dan menghibur yang meratap, yang berduka. Kehadiran umat dalam perayaan liturgis kiranya akan memberi dampak tersendiri bagi yang berduka, entah secara psikologis maupun spiritual. Misalnya, dalam suasana kehilangan itu orang yang berduka jadi merasa tidak sendirian, ditemani, diteguhkan. Orang bisa kemudian diingatkan akan makna kebersamaan dalam komunitas kristiani.
Warna liturginya?
Busana liturgisnya berwarna ungu. Ungu masih merupakan warna normatif. Dulu pernah berlaku juga warna hitam. Kedua warna itu mengesankan suasana duka, sedih. Namun di banyak tempat kini sudah lazim dipakai warna putih, warna kebangkitan. Namun ada juga dalam budaya tertentu warna putih dipilih karena mempunyai makna duka. Yang penting sebenarnya, memilih warna yang mengungkapkan harapan kristiani, namun tidak mengganggu suasana duka manusiawi (TPPK 39).
Homili, bukan Eulogi
PUMR 382 menyebutkan bahwa “dalam Misa Pemakaman hendaknya diadakan homili singkat, yang sama sekali tidak boleh diganti dengan sambutan yang memaparkan kebaikan-kebaikan orang yang baru meninggal.” Sambutan semacam itu biasa disebut juga sebagai eulogi (Yunani: eulogia). Homili bukan saatnya memaparkan biografi dan segala karya kebaikan orang yang baru meninggal itu. Bukan saatnya mendaraskan puja-puji yang berlebihan, atau malah menjadi basa-basi yang dipaksakan. Sekali lagi diingatkan bahwa sumber homili terutama adalah bacaan Kitab Suci atau teks liturgis yang digunakan pada waktu itu. Tentu, tetap boleh juga menyajikan sesuatu yang aktual dan relevan; menyinggung atau mengaitkannya dengan kehidupan pribadi yang meninggal itu. Di sinilah saat tepat untuk menyapa, menghibur, menguatkan, dan juga mengingatkan - keluarga yang berduka, semua umat yang hadir, atau bahkan kerabat non-kristiani yang hadir - akan makna kematian dalam sudut pandang iman kristiani. Saat inilah imam harus tetap mewartakan Injil (Kabar Gembira) bagi semua orang. Eulogi mungkin bisa disampaikan setelah Misa selesai, atau sebelum ritus penglepasan, atau di tempat pemakaman, sebelum dikuburkan atau dibakar (kremasi).
Lilin Paskah dipasang
Untuk melambangkan kehadiran Kristus yang telah bangkit dan senantiasa hidup, dipasanglah Lilin Paskah di dekat jenazah atau peti matinya. Lilin Paskah juga dipakai pada saat pembaptisan. Maksudnya, sejak awal sebagai murid Kristus, hingga kematian, kita selalu didampingi Kristus. Kristus pula yang akan mengantar kita menuju rumah Bapa-Nya.
Percikan air suci
Dalam Misa Arwah juga dilakukan pemercikan air suci kepada jenazah. Maksudnya jelas, untuk mengingatkan umat akan air baptis. Ketika jenazahnya disambut di depan pintu Gereja, air itu dipercikkan sebagai kenangan akan pembaptisan dari orang yang meninggal. Pada waktu ritus penglepasan, air yang dipercikkan melambangkan salam perpisahan bagi orang yang meninggal.
Pendupaan jenazah
Selama ritus arwah juga digunakan pendupaan. Ada tiga makna: [1] Sebagai tanda hormat bagi tubuh yang wafat. Tubuh itu telah dikuduskan ketika pembaptisan, telah menjadi bait Roh Kudus. [2] Pendupaan pun diartikan sebagai tanda doa-doa umat agar yang wafat itu diantar sampai ke takhta Allah. Dupa yang membumbung ibaratnya doa-doa umat yang naik ke hadirat Allah. [3] Seperti halnya percikan air suci dalam ritus penglepasan, pendupaan pun merupakan tanda perpisahan antara yang hidup dan yang mati.
Simbol-simbol lain?
Ada beberapa yang biasa digunakan, namun simbol-simbol berikut ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Misalnya: [1] Kain penutup peti diberikan pada saat jenazah diterima di depan Gereja, mengingatkan busana baptis. Kain itu sendiri merupakan tanda martabatnya sebagai orang kristiani. Secara biblis bermakna bahwa semua orang adalah sama di hadapan Allah (Yakobus 2:1-9). Tidak ditentukan secara khusus apa warna kain itu. Namun warna liturgi yang berlaku kiranya dapat diacu, diikuti. [2] Kitab Suci atau Kitab Injil (Evangeliarium) ditempatkan di atas peti sebagai tanda bahwa orang kristen hidup oleh Sabda Allah, dan setia pada Sabda itu akan mengantar mereka kepada hidup abadi. [3] Salib yang diletakkan di atas peti mengingatkan kita pada tanda salib yang diterakan pada setiap orang kristen saat pembaptisan. Melalui Yesus yang mengalami sengsara dan wafat di kayu salib, para pengikut-Nya pun akan dibawa kepada kebangkitan jaya. [4] Rangkaian bunga segar yang tidak berlebihan untuk menegaskan suasana ritus itu (TPPK 38).
Sumber: “Aneka Ragam Misa”; M.Tiga, Pamflet Liturgi; ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia)
|
||