Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Anda Bertanya, Kami Menjawab
Apakah Baptis Perlu Bagi Keselamatan?
oleh: Romo William P. Saunders *
Apakah baptis perlu bagi keselamatan? Saya sangat khawatir sebab puteri saya belum membaptis kedua anaknya, umur 6 dan 2 tahun.
~ seorang pembaca di Alexandria
Yesus bersabda, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh 3:5). Saat Kenaikan-Nya, Kristus memberikan perintah kepada para rasul, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20). Dalam kisah lain tentang Kenaikan-Nya, Yesus menambahkan, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:16).
Berdasarkan ajaran Kristus ini, Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja menyatakan, “Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan” (No 14). Oleh karena itu, Sakramen Baptis adalah satu-satunya sarana yang dianugerahkan oleh Kristus guna menjamin keselamatan. Sudah sepatutnya Gereja tidak pernah melalaikan kewajibannya untuk mewartakan Injil, dan dengan rahmat Tuhan, memanggil orang-orang beriman kepada pembaptisan.
Tetapi, Katekismus Gereja Katolik menambahkan, “Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada sakramen-sakramen-Nya” (No 1257). Di samping ritual pembaptisan yang biasa, yaitu dengan air dan seruan terhadap Tritunggal Mahakudus, Gereja juga menerima dua bentuk pembaptisan yang lain - Baptis Darah dan Baptis karena Kerinduan. Kedua bentuk pembaptisan ini, walaupun tidak merupakan sakramen, menghasilkan buah-buah Pembaptisan (Katekismus No 1258).
Pertama-tama, mari kita lihat pembaptisan dengan darah. Dalam masa penganiayaan Romawi, para katekumen - yaitu mereka yang sedang dalam tahap mempersiapkan diri untuk menerima pembaptisan dan masuk ke dalam Gereja - seringkali ditangkap, diadili sebagai orang-orang Kristen dan dijatuhi hukuman mati. Gereja menganggap mereka sebagai martir, sebab mereka yang mengalami kematian demi iman, telah dibaptis untuk dan bersama Kristus oleh kematiannya. Dalam tulisannya mengenai pembaptisan, Tertulianus (wafat ± thn 220) menciptakan istilah “bejana darah” guna membedakan pembaptisan para martir katekumen ini dari pembaptisan mereka yang dibaptis dengan “bejana air”. Ia menulis, “Ada pada kami bejana yang kedua, yang satu dan sama, yaitu bejana darah.” St Agustinus (wafat thn 430) (tulisan sesudah penganiayaan) menyatakan, “Apabila seseorang mengalami kematian demi pengakuan akan Kristus tanpa menerima pembaptisan dengan bejana kelahiran baru, kematiannya akan mendatangkan pengampunan atas dosa-dosanya sama seperti jika ia dibaptis dengan bejana pembaptisan yang kudus” (Negara Tuhan, XIII, 7). Keyakinan akan buah-buah rahmat baptis darah, sekali lagi, berasal dari ajaran Kristus Sendiri, “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga” (Mat 10:32) dan “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya” (Luk 9:23-24).
Baptis karena kerinduan didasarkan pada keyakinan bahwa Kristus menghendaki segenap umat manusia diselamatkan. Tindakan penyelamatan Kristus, yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, memancar abadi menyentuh bahkan orang-orang yang mungkin tidak pernah secara gamblang mendapatkan manfaat dari kegiatan misisonaris, mengenal Injil, ataupun menerima Kristus melalui Sakramen Pembaptisan. Konsili Vatikan II mengatakan, “Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang, dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat ilahi, kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk bergabung dengan cara yang diketahui oleh Allah dengan misteri Paska itu” (Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral mengenai Gereja Dewasa Ini, No 22).
Dalam berbicara mengenai “Umat Allah” dan menegaskan bahwa kepenuhan sarana-sarana keselamatan ada dalam Gereja Katolik, Konsili dengan jelas menyatakan bahwa orang-orang Kristen lainnya, yang ditandai oleh baptis, yang menghormati Kitab Suci, dan mungkin bahkan mengakui dan menerima sakramen-sakramen lainnya juga serta mempunyai uskup-uskup (seperti Gereja-gereja Orthodox), dapat juga diselamatkan (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, No 15). Konsili kemudian berbicara mengenai orang-orang non-Kristen, yaitu orang-orang Yahudi, Muslim dan mereka yang “mencari Allah yang tak dikenal” : “Mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal” (No 16). “Orang dapat mengandaikan bahwa orang-orang semacam itu memang menginginkan Pembaptisan, seandainya mereka sadar akan peranannya demi keselamatan” (Katekismus Gereja Katolik, No 1260).
Meski begitu, pernyataan yang demikian hendaknya tidak menghantar kita pada sikap acuh tak acuh, di mana orang berpikir bahwa pembaptisan tidaklah penting atau fakultatif sifatnya. Pembaptisan merupakan sakramen yang mengisi jiwa kita dengan daya hidup ilahi Tritunggal Mahakudus dan membukakan lebar-lebar bagi kita misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Melalui santapan rahmat yang kita peroleh dari penerimaan sakramen-sakramen yang lain, melalui pendalaman iman dan melalui hidup menggereja, kita menghayati pembaptisan kita sembari menanti dengan rindu kegenapannya dalam kerajaan surgawi.
Lalu, bagaimana dengan bayi-bayi yang mati tanpa menerima pembaptisan? Dalam hal ini, kita mempercayakan mereka dalam belas kasihan Allah yang tak terhingga, yang menghendaki semua orang diselamatkan. Tertanam dalam benak kita kisah indah dalam Injil di mana Yesus bersabda, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Mrk 10:14). Sebab itu, kita berpengharapan bahwa anak-anak ini, yang mati tanpa menerima Sakramen Pembaptisan, akan beroleh hidup yang kekal - demikianlah pengharapan segenap Gereja, keluarga si anak, anak itu sendiri yang tanpa dosa, yang dari kodratnya merindukan Tuhan, dan - kita yakin - pengharapan Allah Sendiri. Coba pikirkan akan Kanak-Kanak Suci yang mati akibat angkara murka Herodes; kita menganggap mereka kudus dan menghormati mereka setiap tanggal 28 Desember. Tetapi, sekali lagi, janganlah tergoda untuk berpikiran bahwa pembaptisan bukanlah soal penting - baptis merupakan sarana pasti yang membuka jalan keselamatan. Dengan tepat Katekismus Gereja Katolik mengingatkan, “Anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan, hanya dapat dipercayakan Gereja kepada belas kasihan Allah, seperti yang ia lakukan dalam ritus penguburan mereka…. Gereja meminta dengan sangat kepada orangtua, agar tidak menghalang-halangi anak-anak, untuk datang kepada Kristus melalui anugerah pembaptisan kudus” (No 1261).
Pembaptisan sungguh merupakan suatu anugerah yang amat berharga. Dalam menjawab pertanyaan di atas, kita melihat pentingnya sikap waspada dalam memastikan pembaptisan bagi orang-orang yang kita kasihi. Dalam hal di atas, kakek-nenek sepatutnya mendorong anak-anak mereka, yang mungkin telah lalai, untuk kembali ke Gereja, agar anak-anak mereka dibaptis dan bersama anak-anak, mengamalkan iman mereka. Para anggota keluarga yang saleh hendaknya melakukan yang terbaik untuk membagikan iman mereka kepada anak-anak yang ditelantarkan secara rohani oleh orangtua mereka sendiri. Selain itu, masing-masing dari kita mengemban tanggung-jawab untuk menjadi saksi iman, baik dalam kata maupun perbuatan, sehingga menghantar orang-orang lain juga ke dalam pembaptisan dan hidup sepenuhnya dalam Kristus.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Baptism Is Needed for Salvation” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|
||