![]() |
![]() Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Suara Gembala | Warta eRKa | Yang Menarik & Yang Lucu | Anda Bertanya, Kami Menjawab
![]() ![]() ![]() BUKU CATATAN I
![]() Kaul Kemiskinan
Kaul kemiskinan adalah penyangkalan hak secara sukarela atas harta milik atau atas penggunaan barang-barang yang demikian dengan maksud menyenangkan Tuhan.
![]() Keutamaan Kemiskinan
Keutamaan kemiskinan merupakan keutamaan injili yang mendorong jiwa untuk membebaskan diri dari keterikatan duniawi; seorang biarawan/biarawati, karena statusnya, terikat erat pada keutamaan ini.
![]() Kaul Kemurnian
![]() Kaul Ketaatan
Kaul ketaatan merupakan yang terutama dari ketiga kaul ini. Kaul ketaatan, sejujurnya, merupakan suatu siksaan; kaul ketaatan lebih penting dari yang lain sebab kaul ini membentuk serta menjiwai keseluruhan biara.
![]() Keutamaan Ketaatan
Keutamaan ketaatan jauh melampaui kaul ketaatan; keutamaan ini meliputi peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan dan bahkan nasehat-nasehat para superior.
![]() Tingkat Ketaatan
Menunaikan tugas dengan segera dan tuntas - ketaatan kehendak, jika kehendak mendorong akal budi untuk tunduk pada nasehat superior. Guna melatih ketaatan, St Ignatius menganjurkan tiga sarana: senantiasa melihat Tuhan dalam diri superior, siapa pun orangnya; membenarkan perintah atau nasehat superior; menerima setiap perintah sebagai perintah dari Tuhan, tanpa meneliti ataupun mempertimbangkannya. Sarananya yang umum adalah kerendahan hati. Tak ada suatu pun yang sulit bagi orang yang rendah hati.
Ya Tuhan-ku, bakarlah hatiku dengan kasih kepada-Mu, agar janganlah semangatku pudar di tengah badai, penderitaan dan pencobaan. Engkau tahu betapa lemahnya aku. Kasih mengatasi segalanya.
Pada mulanya, Tuhan membiarkan Diri dikenal sebagai yang Mahakudus, Mahaadil, Mahabaik - yakni Maharahim. Jiwa tidak sekaligus mengenali ini semua, melainkan sedikit demi sedikit, dalam kilasan; yakni ketika Tuhan menghampiri jiwa. Dan hal ini tak berlangsung lama, sebab jiwa tak mampu menanggung terang yang demikian. Sepanjang doa, jiwa mengalami kilasan-kilasan terang ini yang membuat mustahil bagi jiwa untuk berdoa seperti sebelumnya. Usaha jiwa memaksa diri untuk berdoa seperti sebelumnya hanyalah sia-sia belaka; sama sekali mustahil bagi jiwa untuk terus berdoa seperti sebelum ia menerima terang ini. Terang ini, yang telah menyentuh jiwa, hidup di dalam jiwa, dan tak ada suatu pun yang dapat memadamkan atau meredupkannya. Kilasan pengetahuan akan Allah menarik jiwa dan menyalakan kasih jiwa kepada Dia.
Tetapi, kilasan yang sama ini, pada saat yang sama, membiarkan jiwa mengenali dirinya yang sesungguhnya; jiwa melihat ke dalam lubuk jiwanya dalam terang yang mulia; dan jiwa menjadi gemetar serta ngeri. Namun, jiwa tidak tetap berada di bawah dampak kengerian, melainkan ia mulai memurnikan diri, merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Tuhan. Terang ini menjadi semakin kuat dan semakin kerap; semakin jiwa dimurnikan, semakin terang merasuki jiwa. Apabila jiwa menanggapi rahmat-rahmat awal ini dengan setia dan gagah berani, maka Tuhan mengisi jiwa dengan penghiburan-penghiburan dari-Nya dan memberikan DiriNya Sendiri kepada jiwa dengan suatu cara yang jelas. Pada waktu-waktu tertentu, jiwa, seperti sebelumnya, masuk ke dalam hubungan yang mesra dengan Tuhan dan jiwa amat besukacita karenanya; jiwa percaya bahwa ia telah mencapai tingkat kesempurnaan yang ditetapkan baginya, sebab segala cacat-cela dan kelemahan jiwa tidur di dalamnya, membuat jiwa beranggapan bahwa cacat-cela dan kelemahan sudah lenyap. Tak ada suatupun yang tampak sulit bagi jiwa; ia siap untuk segalanya. Jiwa mulai menceburkan diri ke dalam Tuhan dan mencicipi sukacita surgawi. Jiwa larut dalam rahmat dan tak menyadari kenyataan bahwa masa pencobaan dan ujian dapat datang sewaktu-waktu. Dan sesungguhnya, keadaan seperti ini tidak berlangsung lama. Masa-masa yang lain akan segera menyusul. Tetapi, perlu aku tambahkan di sini bahwa jiwa akan memberikan tanggapan dengan lebih setia kepada rahmat ilahi jika ia mempunyai seorang bapa pengakuan yang baik wawasannya kepada siapa ia dapat mempercayakan segala sesuatu.
![]() ![]() Kasih jiwa (kepada Tuhan) masih belum sebanyak yang dikehendaki Tuhan. Jiwa sekonyong-konyong kehilangan persepsi yang jelas akan kehadiran Tuhan. Berbagai cacat cela dan kekurangan muncul dalam jiwa dan ia harus melawannya sekuat tenaga. Segala kelemahan menampilkan diri, tetapi kewaspadaan jiwa meningkat. Kesadaran awal akan kehadiran Tuhan undur diri dan memberikan tempatnya pada kebekuan dan kekeringan rohani; jiwa tak menikmati doa; jiwa tak mampu berdoa, baik dengan caranya yang lama maupun dengan cara doa yang baru saja dimulainya. Jiwa bergulat begitu rupa, namun tak mendapati kelegaan. Tuhan menyembunyikan Diri darinya; jiwa tak mendapati penghiburan dalam makhluk ciptaan, pula tak seorang pun dari makhluk ciptaan yang dapat menghiburnya. Jiwa sangat rindu akan Tuhan, namun ia hanya melihat kemalangannya semata; jiwa mulai menyadari keadilan Tuhan; jiwa merasa bahwa ia telah kehilangan segala rahmat yang diberikan Tuhan kepadanya; akal budinya suram dan kegelapan meliputinya; siksaan yang tak terkatakan mulai mendera. Jiwa berusaha menjelaskan keadaannya kepada bapa pengakuan, namun ia tidak dimengerti dan diserang bahkan dengan kegalauan yang terlebih lagi. Setan memulai karyanya.
Iman jatuh bangun dalam pergulatan; sungguh sengitlah pertarungan. Jiwa berusaha keras bertaut pada Tuhan dengan tindakan kehendak. Dengan ijin Tuhan, setan bahkan bertindak lebih jauh: pengharapan dan kasih diuji. Pencobaan-pencobaan ini sungguh mengerikan. Tuhan menopang jiwa secara diam-diam, begitulah. Jiwa tak menyadari hal ini, tetapi jika tidak demikian, pastilah mustahil jiwa dapat bertahan; dan Tuhan tahu betul berapa jauh Ia mengijinkan hal-hal itu menimpa jiwa. Jiwa dicobai untuk tidak mempercayai kebenaran-kebenaran yang telah diwahyukan dan untuk tidak tulus terhadap bapa pengakuan. Setan membujuknya, “Lihat, tak seorang pun mengerti engkau; mengapa menceritakan semua ini?” Kata-kata memperdengarkan suaranya yang ngeri ke telinga, dan jiwa merasa kata-katanya menghujat Tuhan. Jiwa melihat apa yang tak hendak dilihatnya. Jiwa mendengar apa yang tak hendak didengarnya. Dan, oh, betapa ngerinya pada masa-masa seperti ini, jiwa tak memiliki seorang bapa pengakuan yang berpengalaman! Jiwa harus memanggul seluruh bebannya seorang diri. Namun demikian, sejauh itu mungkin, haruslah jiwa berdaya-upaya untuk mendapatkan seorang bapa pengakuan yang berwawasan baik, sebab jiwa dapat tersungkur di bawah beban berat dan berada di ujung jurang yang dalam. Segala pencobaan ini sungguh berat dan sulit. Tuhan tak mengirimkan pencobaan yang demikian kepada jiwa yang belum masuk ke dalam persatuan mesra dengan-Nya dan yang belum pernah mencicipi sukacita surgawi. Di samping itu, Tuhan mempunyai rancangan-Nya sendiri, yang bagi kita tak terpahami. Acapkali Tuhan mempersiapkan suatu jiwa dengan cara ini bagi rancangan-rancangan dan karya-karya besar-Nya di masa mendatang. Tuhan ingin menguji jiwa sebagaimana emas murni diuji. Tetapi, hal ini bukanlah akhir dari ujian; masih ada pencobaan di atas segala pencobaan, jiwa sama sekali ditinggalkan oleh Tuhan.
Apabila jiwa menang dalam pencobaan-pencobaan sebelumnya, meski kadang tersandung di sana sini, jiwa bertempur dengan gagah berani, dengan rendah hati berseru kepada Tuhan, “Tuhan, selamatkanlah aku, aku binasa!” dan jiwa masih dapat terus berjuang. Namun demikian, pada tahap ini, jiwa diliputi suatu kegelapan yang mengerikan. Jiwa mendapati dirinya sama sekali ditinggalkan oleh Tuhan. Jiwa merasa dirinya menjadi obyek murka Allah. Jiwa hanya sejengkal saja dari keputusasaan. Jiwa berjuang sekuat tenaga guna mempertahankan diri, berusaha membangkitkan kepercayaannya, tetapi doa bahkan merupakan siksaan yang terlebih lagi baginya, sebab doa tampaknya hanya membangkitkan murka Allah yang terlebih dahsyat. Jiwa mendapati dirinya berada di puncak sebuah gunung yang tinggi, di tepi jurang yang dalam.
Jiwa ditarik kepada Tuhan, namun jiwa merasa ditolak. Segala siksa dan aniaya di dunia tak ada artinya dibandingkan dengan perasaan ini, di mana jiwa ditenggelamkan di dalamnya, yaitu perasaan ditolak oleh Tuhan. Tak seorang pun mampu mendatangkan kelegaan padanya; jiwa mendapati dirinya sebatang kara; tak seorang pun berada di pihaknya. Jiwa mengarahkan mata ke surga, tetapi jiwa yakin bahwa itu bukan untuknya - sebab bagi dia segalanya sudah lenyap. Jiwa jatuh semakin dan semakin dalam, dari kegelapan ke kegelapan, dan jiwa merasa bahwa untuk selamanya ia telah kehilangan Tuhan yang dulu dikasihinya begitu mesra. Pikiran-pikiran ini berkecamuk mendera jiwa hingga tak terlukiskan. Tetapi jiwa melawan pikiran-pikiran ini dan berusaha mengarahkan pandangannya ke surga, namun sia-sia! Hal ini menjadikan siksaannya bahkan semakin dahsyat.
Jika Tuhan berkehendak membiarkan jiwa dalam kegelapan demikian, maka tak ada seorang pun yang akan mampu mendatangkan terang baginya. Jiwa mengalami ditolak oleh Tuhan dengan cara yang nyata serta mengerikan. Dari hatinya terdengarlah erangan-erangan pilu, begitu memedihkan hingga tak seorang imam pun dapat memahaminya, kecuali jika ia sendiri pernah mengalami pencobaan-pencobaan demikian. Di tengah kegelapan, roh jahat menambah sengsara jiwa dengan ejekan-ejekannya, “Adakah engkau akan tetap bertahan dalam kesetiaanmu? Inilah ganjaranmu; engkau ada dalam kuasaku!” Tetapi setan hanya dapat membujuk jiwa sebanyak yang diijinkan Tuhan, dan Tuhan tahu benar seberapa banyak yang mampu kita tanggung. “Apakah yang kau dapatkan dari penyangkalan dirimu,” kata setan, “dan dari ketaatanmu pada peraturan? Apa guna segala daya upaya itu? Engkau telah ditolak oleh Tuhan!” Kata “ditolak”, menjadi suatu anak api yang merasuki segenap syaraf hingga ke sum-sum tulang dan menembusi seluruh keberadaannya. Siksa mencapai puncaknya. Jiwa tak lagi mencari pertolongan dari manapun. Jiwa menciut dan kehilangan pandangan akan segalanya; seolah jiwa telah menerima penderitaan ditinggalkan Tuhan. Masa ini adalah masa yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Inilah siksa jiwa.
Ketika untuk pertama kalinya masa ini menghampiriku, aku direnggut darinya melalui keutamaan ketaatan yang kudus. Direktur Novis, cemas akan penampilanku, mengirimku ke kamar pengakuan, tetapi bapa pengakuan tidak memahamiku, dan aku tak mendapatkan kelegaan sedikit pun; o Yesus, berilah kami imam-imam yang berpengalaman!
Ketika kukatakan kepada imam bahwa aku mengalami siksa neraka, ia menjawab bahwa ia tidak khawatir akan jiwaku, sebab ia melihat di dalamnya suatu rahmat yang besar dari Tuhan. Tetapi, aku tidak mengerti sama sekali akan hal ini, bahkan tak sebersit sinar terang pun yang mencerahkan jiwaku.
Lalu, kekuatan jasmani mulai meninggalkanku dan aku tak lagi dapat melaksanakan tugas kewajiban. Pun tak lagi dapat kusembunyikan penderitaanku. Walau tak sepatah kata pun meluncur dari bibirku, namun pancaran sengsara di wajahku tak dapat menipu. Superior mengatakan bahwa para suster telah datang kepadanya menyampaikan bahwa apabila mereka melihatku di kapel, mereka merasa iba, sebab aku tampak begitu mengenaskan. Kendati segala daya upaya, jiwa tak mampu menyembunyikan penderitaan yang demikian.
Yesus, hanya Engkau saja yang tahu bagaimana jiwa, diliputi kegelapan, mengerang pilu, dan walau demikian, di tengah segala penderitaan ini jiwa haus akan Tuhan bagaikan bibir yang kering haus akan air. Jiwa layu dan mati; jiwa mati tanpa mati; begitulah, jiwa tak dapat mati. Segala daya upayanya sia-sia belaka; jiwa ada di bawah tangan yang penuh kuasa. Sekarang jiwa berada di bawah kuasa Yang Adil. Segala pencobaan dari luar berhenti; segala yang mengelilinginya menjadi sunyi sepi bagaikan seorang mati yang kehilangan kontak dengan segala yang ada di sekitarnya; keseluruhan jiwa berada dalam tangan Allah yang Adil, Allah Tritunggal, Allah yang Kudus, dan jiwa ditolak sepanjang kekekalan masa! Inilah saat puncak, dan hanya Tuhan saja yang dapat menguji jiwa dengan cara demikian, sebab hanya Ia saja yang tahu berapa banyak yang dapat ditanggung jiwa.
Ketika jiwa telah diresapi dalam dan semakin dalam oleh api neraka ini, jiwa, seperti sebelumnya, rebah dalam keputusasaan yang hebat. Jiwaku mengalami saat-saat ini kala aku seorang diri dalam bilikku. Ketika jiwaku mulai tengelam dalam keputusasaan, aku merasa bahwa waktunya sudah dekat. Tetapi aku merenggut salib kecilku dan menggenggamnya erat-erat dalam tangan. Dan sekarang aku merasa tubuhku terpisah dari jiwaku; dan meski sangat ingin pergi kepada para Superior, aku tak lagi memiliki kekuatan jasmani. Aku menyerukan kata-kata terakhirku, “Aku mengandalkan Belas Kasih-Mu!” - aku merasa bahwa aku membangkitkan murka Allah yang bahkan terlebih dahsyat. Aku terbenam dalam keputusasaan; yang masih tinggal padaku hanyalah erangan penderitaan semata, yang dari waktu ke waktu, menyeruak dari jiwaku. Jiwa tersiksa hebat - dan aku merasa jiwaku akan tetap dalam keadaan seperti ini, sebab aku tak dapat keluar daripadanya dengan kekuatanku sendiri. Setiap pemikiran akan Allah membuahkan suatu samudera penderitaan yang tak terkatakan, dan kendati demikian ada sesuatu dalam jiwa yang ditarik kepada-Nya, walau bagi jiwa tampaknya hanya untuk ini - yaitu bahwa ia terlebih lagi menderita. Kenangan akan kasih Tuhan yang dulu melingkupinya merupakan suatu bentuk penderitaan yang lain. Tatapan-Nya menembusi jiwa, dan segalanya dalam jiwa terbakar oleh tatapan ini.
Selang beberapa waktu, seorang suster masuk ke dalam kamar dan mendapatiku nyaris mati. Ia ketakutan dan pergi kepada Direktur Novis yang, dalam nama ketaatan yang kudus, memerintahkanku untuk bangkit dari tanah. Seketika kekuatanku pulih kembali, dan aku bangkit berdiri dengan gemetar. Direktur segera mengenali keadaan jiwaku dan berbicara kepadaku mengenai belas kasih Allah yang tak terselami, mengatakan, “Janganlah engkau bersedih hati akan apapun, Suster. Aku perintahkan ini kepadamu dalam keutamaan ketaatan.” Lalu, ia berkata, “Sekarang aku tahu Suster, bahwa Tuhan memanggilmu ke tingkat kekudusan yang tinggi; Tuhan hendak menarikmu ke tingkat kekudusan yang tinggi; Tuhan hendak menarikmu sangat dekat kepada DiriNya sebab Ia telah mengijinkan segala hal ini terjadi atasmu begitu cepat. Setialah kepada Tuhan, Suster, sebab ini merupakan tanda bahwa Ia menghendaki engkau memiliki tempat yang tinggi di surga.” Namun demikian, aku sama sekali tidak mengerti perkataan ini. Pada waktu aku pergi ke kapel, aku merasa seolah jiwaku telah dibebaskan dari segalanya, seolah aku baru saja keluar dari tangan Allah. Aku merasakan kemurnian jiwaku; aku merasa seperti seorang kanak-kanak kecil. Sekonyong-konyong aku melihat Tuhan secara batin; Ia berkata kepadaku, “Jangan takut, Puteri-Ku; Aku bersamamu.” Saat itu juga, segala kegelapan dan penderitaan lenyap, aku diliputi sukacita meluap yang tak terlukiskan, (dan) pancaindera jiwaku dipenuhi terang.
Aku ingin menambahkan bahwa, kendati jiwaku telah berada dalam sinar kasih Allah, namun bekas-bekas penderitaan yang lalu masih tinggal dalam tubuhku selama dua hari lamanya: wajah pucat pasi dan mata merah sembab. Hanya Yesus saja yang tahu apa yang aku derita. Apa yang aku tuliskan ini sangat jauh dibandingkan kenyataan. Tak dapat aku mengungkapkannya dalam kata-kata; aku merasa seolah baru saja kembali dari dunia yang lain. Aku merasakan keengganan terhadap segala ciptaan; aku meringkuk dalam hati Tuhan bagaikan seorang bayi meringkuk dalam dekapan ibundanya. Sekarang, aku melihat segala sesuatu dengan berbeda. Aku sadar akan apa yang Tuhan, dengan sepatah kata saja, telah lakukan dalam jiwaku, dan aku hidup dengannya. Aku menggigil mengenang siksa masa lalu ini. Aku tak akan percaya bahwa orang dapat menderita begitu hebat, andai aku tak mengalaminya sendiri. Sungguh, suatu penderitaan rohani yang menyeluruh.
Walau demikian, dalam segala penderitaan dan pergulatan ini, aku tidak melewatkan Komuni Kudus. Apabila aku merasa bahwa selayaknya aku tidak menerima Komuni, maka sebelum Komuni Kudus aku pergi kepada Moeder Direktur dan mengatakan kepadanya aku tak dapat menyambut Sakramen, sebab merasa aku tak layak. Tetapi, Moeder tidak mengijinkanku melewatkan Komuni Kudus, jadi aku pergi; dan sekarang aku mengerti hanya ketaatan yang menyelamatkanku.
Moeder Direktur sendiri di kemudian hari mengatakan bahwa pencobaan-pencobaanku berlalu dengan cepat, “dan ini semata-mata karena engkau taat, Suster; dan dengan kuasa ketaatan engkau berjuang melewatinya dengan begitu gagah berani.” Memang benar bahwa Tuhan Sendiri yang membawaku keluar dari siksaan ini, namun demikian, kesetiaanku pada ketaatan sungguh menyenangkan-Nya.
Walau hal-hal ini sungguh mengerikan, namun janganlah jiwa menjadi cemas dan takut, sebab Tuhan tak akan menguji kita melampaui yang dapat kita tanggung. Di samping itu, mungkin juga Ia tak akan pernah mengirimkan penderitaan yang demikian kepada kita; tetapi aku menuliskan ini: jika menyenangkan Tuhan membiarkan suatu jiwa melewati penderitaan yang demikian, maka janganlah jiwa takut, sejauh ini semuanya tergantung pada jiwa sendiri, hendaknya jiwa tetap setia kepada Tuhan. Tuhan tak akan mencelakakan jiwa, sebab Ia adalah Kasih itu sendiri, dan dalam kasih yang tak terselami ini Ia telah memanggil jiwa untuk menjadi ada. Tetapi, saat aku mengalami penderitaan yang begitu rupa, aku sendiri belum memahami hal ini.
Ya Tuhan-ku, aku menjadi sadar bahwa aku bukan dari dunia ini; Engkau, Tuhan, telah mencurahkan kesadaran yang mendalam ini ke dalam jiwaku. Persatuanku adalah lebih kepada surga daripada kepada dunia, walau tak sekejap pun aku melalaikan tugas kewajibanku.
Sepanjang masa-masa itu, aku tak memiliki seorang pembimbing rohani; aku tanpa bimbingan sama sekali. Aku memohon kepada Tuhan, namun Ia tidak memberiku seorang pembimbing. Yesus Sendiri yang menjadi Tuan-ku sejak saat aku bayi hingga saat sekarang. Ia menyertaiku melintasi segala padang dan menempuh segala bahaya. Aku melihat dengan jelas bahwa Tuhan saja yang dapat membimbingku melewati bahaya-bahaya besar yang demikian tanpa aku terluka, dengan jiwaku tak bercela, dan keluar dari segala macam kesulitan dengan penuh kemenangan, walau hebatlah kesusahan-kesusahan itu. Pergi (..) Di kemudian hari, Tuhan sungguh memberiku seorang pembimbing.
Setelah penderitaan yang demikian, jiwa mendapati dirinya dalam keadaan roh yang murni dan sangat mesra dengan Tuhan. Perlu aku tambahkan bahwa sepanjang sengsara rohani, jiwa dekat dengan Tuhan, namun jiwa buta. Penglihatan jiwa diliputi kegelapan, dan walau Tuhan lebih dekat pada jiwa yang menderita daripada sebelumnya, keseluruhan rahasianya adalah kenyataan bahwa jiwa tidak tahu-menahu mengenai hal ini. Sesungguhnya, jiwa memaklumkan bahwa, tidak saja Tuhan telah meninggalkannya, melainkan juga bahwa ia telah menjadi obyek murka Allah. Betapa butanya mata dari jiwa yang menderita! Apabila jiwa dihampiri terang ilahi, jiwa meyakini bahwa terang ini tidak ada, walau tepatnya adalah terang ilahi ini begitu kemilau hingga jiwa dibutakan. Kendati demikian, di kemudian hari aku mengerti bahwa Tuhan lebih dekat pada jiwa pada saat-saat demikian daripada di waktu lain, sebab jiwa tak akan sanggup menanggung pencobaan-pencobaan ini hanya dengan pertolongan rahmat biasa. Pastilah kemahakuasaan Tuhan dan rahmat luar biasa-Nya berperan aktif di sini, sebab jika tidak demikian, jiwa akan takluk pada serangan pertama.
Ya Tuan Ilahi, apa yang terjadi dalam jiwaku adalah karya-Mu semata! Engkau, O Tuhan, tak khawatir menempatkan jiwa di tepi suatu jurang ngeri yang dalam di mana jiwa berdiri, gemetar dan diliputi ketakutan, dan lalu Engkau memanggilnya kembali kepada-Mu. Inilah misteri-misteri-Mu yang tak terpahami.
Ketika, di tengah penderitaan batin ini, aku berusaha mempersalahkan diri dalam pengakuan atas hal-hal yang kecil remeh, imam terperanjat bahwa aku tidak melakukan dosa-dosa yang lebih berat, dan ia mengatakan, “Jika engkau setia seperti ini kepada Tuhan sepanjang penderitaan-penderitaan ini, maka itu merupakan bukti bagiku bahwa Tuhan menopang engkau, Suster, dengan rahmat yang istimewa, dan bahwa adalah baik engkau tidak memahami hal ini.” Namun demikian, sungguhlah aneh bahwa bapa pengakuan tak dapat memahami maupun menenangkan hatiku sehubungan dengan hal-hal ini, hingga akhirnya aku bertemu dengan Pater Endures dan, kemudian, Pater Sopocko.
Aku hanya akan berbicara mengenai apa yang aku alami dan lalui dalam jiwaku sendiri. Ada tiga hal yang menghalangi jiwa mendapatkan manfaat dari Sakramen Tobat pada saat-saat yang luar biasa ini.
Pertama: apabila bapa pengakuan hanya mempunyai sedikit pengetahuan mengenai hal-hal istimewa ini dan menunjukkan ketercengangannya ketika jiwa mengungkapkan misteri-misteri besar Allah yang bekerja dalam jiwa. Keterkejutan yang demikian menakutkan jiwa yang peka; jiwa tahu bahwa bapa pengakuan ragu-ragu untuk menyampaikan pendapatnya; dan jika jiwa sungguh memperhatikan hal ini, jiwa tak akan tenang, melainkan sesudah pengakuan, jiwa akan terlebih lagi ragu dari sebelumnya, sebab jiwa mengerti bahwa bapa pengakuan berusaha menenangkan jiwa sementara ia sendiri bimbang. Atau, seperti yang aku alami, karena tak dapat menyelami misteri jiwa, seorang bapa pengakuan menolak mendengarkan pengakuan, menunjukkan ketakutan yang nyata saat jiwa menghampiri kamar pengakuan.
Bagaimana mungkin jiwa dalam keadaan ini mendapatkan kedamaian hati di kamar pengakuan apabila jiwa telah menjadi sangat amat peka akan setiap patah kata yang diucapkan imam? Menurut pendapatku, pada saat pencobaan-pencobaan khusus semacam itu dikirim oleh Tuhan kepada jiwa, imam, jika ia tidak memahami jiwa, sebaiknya mengarahkan jiwa kepada bapa pengakuan lain yang lebih berpengalaman dan berwawasan luas. Atau, ia sendiri hendaknya mencari penerangan agar dapat memberikan kepada jiwa apa yang diperlukan, daripada dengan nyata menolak jiwa mengakukan dosanya. Sebab, dengan berbuat demikian ia membiarkan jiwa rentan terhadap bahaya besar; dan lebih dari sekali jiwa mungkin akan meninggalkan jalan yang Tuhan kehendaki ia lalui. Hal ini sungguh sangat penting, sebab aku telah mengalaminya sendiri. Aku mulai bimbang; kendati segala karunia istimewa yang aku terima dari Tuhan, dan meskipun Tuhan Sendiri telah meyakinkanku, namun aku selalu menginginkan meterai Gereja juga.
Kedua: bapa pengakuan tak memberi kesempatan pada jiwa untuk mengungkapkan dirinya dengan bebas dan terus terang; imam memperlihatkan ketidaksabaran. Maka, jiwa akan diam dan tak mengatakan semuanya (tentang apa yang harus dikatakan), dengan demikian, tak mendapatkan apa-apa. Jiwa bahkan menerima kurang dari itu jika bapa pengakuan, tanpa sungguh memahami jiwa, mulai menguji jiwa. Bukan menolong jiwa, bapa pengakuan justru membahayakan jiwa; jiwa tahu bahwa bapa pengakuan tidak memahaminya, sebab bapa pengakuan tidak memberinya kesempatan membuka diri sepenuhnya mengenai rahmat maupun misteri jiwa. Jadi pengujian itu dilakukan secara keliru. Aku dihadapkan pada beberapa pengujian yang membuatku tertawa.
Aku hendak menjelaskan hal ini dengan lebih baik, demikian: bapa pengakuan adalah dokter bagi jiwa, tetapi bagaimana mungkin seorang dokter dapat menuliskan resep yang manjur jika ia tidak mengenali jenis penyakit? Tak akan pernah dapat ia melakukannya. Obat itu tak akan memberikan hasil seperti yang dikehendaki, atau obat itu mungkin akan terlalu keras dan memperparah penyakit, dan terkadang - kiranya Tuhan menjauhkan hal ini - bahkan membawa kematian. Aku berbicara berdasarkan pengalamanku sendiri sebab, dalam kasus-kasus tertentu, Tuhan Sendiri yang langsung menopangku.
Ketiga: kadang kala terjadi juga di mana bapa pengakuan mendatangkan pencerahan melalui hal-hal kecil. Tak ada yang remeh dalam kehidupan rohani. Kadang suatu hal yang tampak sepele akan menyingkapkan perkara dengan konsekuensi yang besar, dan akan menjadi secercah terang bagi bapa pengakuan untuk membantunya mengenali jiwa. Banyak petunjuk rohani tersembunyi dalam hal-hal kecil.
Suatu bangunan indah megah tak akan pernah berdiri jika kita menolak batu bata yang kecil dan tak berarti. Tuhan menuntut kemurnian yang sungguh dari jiwa-jiwa tertentu; jadi Ia memberi mereka pengenalan mendalam akan kemalangan mereka. Diterangi terang dari atas sana, jiwa dapat mengenali dengan lebih baik apa yang menyenangkan dan apa yang tidak menyenangkan Tuhan. Dosa tergantung pada tingkat pengetahuan dan terang yang ada dalam jiwa. Hal yang sama berlaku juga bagi ketidaksempurnaan.
Meski jiwa tahu bahwa hanya dosa dalam arti sesungguhnya yang perlu diakukan dalam Sakramen Tobat, tetapi hal-hal kecil ini penting artinya bagi jiwa yang mengejar kekudusan, dan bapa pengakuan hendaknya tak menganggap sepele hal ini. Kesabaran dan kelemah-lembutan bapa pengakuan membuka jalan bagi diungkapkannya rahasia-rahasia jiwa yang terdalam. Jiwa, tanpa disadarinya, mengungkapkan keburukannya yang terdalam dan merasa lebih kuat dan lebih kokoh; jiwa berjuang dengan lebih gagah berani dan berusaha melakukan segalanya dengan lebih baik, sebab ia tahu bahwa ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
Aku hendak menyampaikan satu hal lagi sehubungan dengan bapa pengakuan. Merupakan kewajiban seorang bapa pengakuan untuk sesekali menguji, mencoba, melatih, mempelajari, apakah ia berhadapan dengan jerami, dengan besi, atau dengan emas murni. Masing-masing dari ketiga jenis jiwa ini memerlukan penanganan yang berbeda. Bapa pengakuan haruslah - dan hal ini mutlak penting - membentuk suatu penilaian yang jelas akan masing-masing jiwa guna mengetahui berapa berat beban yang mampu ditanggung jiwa pada saat-saat tertentu, pada peristiwa-peristiwa tertentu atau pada situasi-situasi tertentu. Sementara aku sendiri, hanya di kemudian hari, setelah mendapatkan banyak pengalaman (negatif) melihat bahwa aku tidak dimengerti, aku tak lagi membuka jiwaku sepenuhnya atau mengijinkan kedamaianku diusik. Aku melakukannya hanya jika segala rahmat ini diserahkan ke dalam penilaian seorang bapa pengakuan yang bijaksana, terpelajar serta berpengalaman. Sekarang aku tahu apa yang perlu dilakukan dalam perkara-perkara tertentu.
Lagi, aku hendak mengatakan tiga hal kepada jiwa yang bertekad untuk berjuang mencapai kekudusan dan mendapatkan buah, begitulah istilahnya, dari pengakuan dosa.
Pertama - Ketulusan dan Keterbukaan Penuh
Bahkan bapa pengakuan yang paling kudus dan paling bijaksana sekalipun tak dapat memaksa untuk memberikan apa yang ingin ia berikan kepada jiwa jika jiwa tidak tulus dan tidak membuka diri. Suatu jiwa yang tidak tulus dan menyimpan banyak rahasia beresiko menghadapi bahaya-bahaya besar dalam kehidupan rohani; pada tingkat yang lebih tinggi, bahkan Tuhan Yesus Sendiri juga demikian dalam menghadapi jiwa semacam itu, sebab Ia tahu bahwa jiwa tak akan mendapatkan manfaat dari rahmat-rahmat istimewa ini.
Kedua - Kerendahan Hati
Jiwa tidak mendapatkan manfaat seperti yang seharusnya dari Sakramen Pengakuan jika ia tidak rendah hati. Kesombongan menyelimuti jiwa dengan kegelapan. Jiwa tidak tahu bagaimana, atau tidak mau, memeriksa dengan seksama kedalaman kemalangannya. Jiwa menutupi diri dengan topeng dan menghindarkan diri dari segala yang dapat menyingkapkannya.
Ketiga - Ketaatan
Jiwa yang tidak taat tidak akan pernah menang, bahkan jika Tuhan Yesus Sendiri yang, secara pribadi, mendengarkan pengakuan dosanya. Bapa pengakuan yang paling berpengalaman sekalipun tak akan dapat memberikan pertolongan kepada jiwa yang demikian. Jiwa yang tidak taat membuka diri pada bahaya-bahaya besar; jiwa tak mengalami kemajuan dalam kesempurnaan, pun ia tak akan berhasil dalam kehidupan rohani. Tuhan melimpahkan rahmat-rahmat-Nya dengan sangat murah hati ke atas jiwa, tetapi hanya kepada jiwa yang taat.
Wahai, betapa menyukakan hati madah-madah yang diangkat dari jiwa yang menderita! Segenap surga bersukacita atas jiwa yang demikian, teristimewa pada saat jiwa diuji oleh Tuhan. Nyanyiannya yang pilu melantunkan kerinduan akan Dia. Betapa indah keelokannya, sebab ia berasal dari Allah. Jiwa menjelajahi hutan kehidupan, dan terluka oleh kasih Allah; dengan hanya satu kaki jiwa menjejak ke tanah.
Ketika jiwa telah keluar dari pencobaan-pencobaan ini, jiwa memiliki kerendahan hati yang dalam. Kemurnian jiwanya luar biasa. Jiwa memahami dengan lebih baik tanpa perlu merenung, seperti sebelumnya, apa yang harus dilakukan pada waktu tertentu dan apa yang harus dikendalikan. Jiwa merasakan sentuhan rahmat yang terhalus sekalipun dan jiwa sangat setia kepada Tuhan. Jiwa mengenali Tuhan dari jauh dan tak kunjung henti bersukacita dalam Dia. Jiwa dengan sangat cepat mengenali Tuhan dalam jiwa-jiwa lain dan dalam lingkungannya secara umum. Jiwa telah dimurnikan oleh Tuhan Sendiri. Tuhan, sebagai Roh yang Murni, memperkenalkan jiwa pada kehidupan yang sepenuhnya rohani. Tuhan Sendiri pertama-tama telah mempersiapkan dan memurnikan jiwa, yaitu Ia membuat jiwa mampu menjalin hubungan yang akrab dengan DiriNya. Jiwa, dalam keadaan istirahat penuh cinta, bercakap mesra secara rohani dengan Tuhan. Jiwa berbicara kepada Tuhan tanpa perlu mengungkapkan diri lewat akal budi. Tuhan memenuhi jiwa dengan terang-Nya.
Akal budi yang telah dicerahkan melihat dengan jelas dan mampu membedakan berbagai tingkatan kehidupan rohani. Jiwa mengenali (keadaan) bilamana persatuannya dengan Tuhan tidak sempurna; di mana akal budi terlibat, dan roh terikat pada akal budi dengan suatu cara - unggul dan istimewa, pasti - tetapi belum sempurna. Ada persatuan yang lebih tinggi dan lebih sempurna dengan Tuhan, yaitu persatuan intelektual. Di sini, jiwa lebih aman dari gangguan ilusi; spiritualitas jiwa lebih murni dan lebih mendalam. Dalam hidup di mana akal budi terlibat, ada lebih banyak bahaya ilusi. Baik bagi jiwa maupun bagi bapa pengakuannya, sikap hati-hati harus lebih berperan. Ada saat-saat di mana Tuhan memperkenalkan jiwa pada keadaan yang sepenuhnya rohani. Akal budi meredup dan tampaknya mati. Jiwa ada dalam persatuan yang paling akrab dengan Tuhan; jiwa dibenamkan dalam keilahian; pengertian jiwa penuh dan sempurna, bukan sesekali seperti sebelumnya, melainkan total dan mutlak. Jiwa bersukacita di dalamnya. Tetapi aku hendak berbicara lebih mengenai masa-masa pencobaan; pada masa-masa seperti itu bapa pengakuan hendaknya sabar dalam menghadapi jiwa. Tetapi, jiwa haruslah memiliki kesabaran yang bahkan terlebih lagi terhadap dirinya.
Yesus-ku, Engkau tahu apa yang dialami jiwaku saat mengenangkan penderitaan-penderitaan ini. Seringkali aku terkagum bahwa para malaikat dan para kudus diam tenang menyaksikan suatu jiwa menderita begitu rupa. Namun demikian, mereka memiliki kasih yang istimewa bagi kami pada saat-saat demikian. Seringkali jiwaku berseru kepada Tuhan, bagaikan seorang kanak-kanak kecil yang berteriak sekuat tenaga ketika sang ibunda menyelubungi wajahnya dan ia tak dapat mengenali ibunya. Ya Yesus-ku, hormat dan kemuliaan bagi-Mu atas pencobaan-pencobaan kasih ini! Betapa dahsyat dan tak terselami belas kasih-Mu. Satu-satunya yang Kau kehendaki bagi jiwaku, ya Tuhan, adalah terbenam dalam belas kasih-Mu.
Aku hendak menyebutkan di sini bahwa mereka yang tinggal bersama jiwa yang demikian hendaknya tidak menambahkan penderitaan-penderitaan eksternal; sebab sungguh, jika piala jiwa telah penuh, setetes kecil yang kita tambahkan ke dalamnya bisa jadi terlalu banyak, dan piala kepahitan pun meluap. Dan siapakah yang akan bertanggung jawab atas jiwa yang demikian? Marilah berhati-hati agar jangan menambahkan penderitaan pada yang lain, sebab hal ini tidak berkenan kepada Tuhan. Jika para suster atau superior tahu atau menduga bahwa suatu jiwa sedang mengalami pencobaan-pencobaan seperti itu, namun mereka masih menambahkan penderitaan-penderitaan lain padanya, maka mereka berdosa berat, dan Tuhan Sendiri akan menuntut pertanggung-jawaban mereka atas jiwa yang menderita. Marilah kita menjaga diri agar jangan sampai secara sadar kita menambahkan beban pada jiwa menderita. Hal ini merupakan cacat yang serius dan umum dalam kehidupan membiara, yakni apabila orang melihat suatu jiwa menderita, ia selalu ingin menambahkan lebih banyak lagi penderitaan. Aku tidak mengatakan bahwa semua orang bertindak demikian, melainkan beberapa orang. Kita merasa bebas menyampaikan segala macam penilaian, dan kita mengulagi dan mengulanginya lagi, padahal jauh lebih baik jika tinggal diam.
Lidah adalah bagian tubuh yang kecil, tetapi ia melakukan hal-hal yang besar. Seorang biarawan/biarawati yang tidak menjaga keheningan tidak akan pernah mencapai kekudusan; yaitu bahwa ia tidak akan pernah menjadi seorang kudus. Baiklah ia tidak menipu diri - kecuali jika Roh Allah yang berbicara melalui dia, maka wajiblah ia tidak tinggal diam. Tetapi, guna mendengar suara Allah, orang harus memiliki keheningan dalam jiwanya dan tinggal diam; bukan diam yang murung, melainkan diam secara batin, yaitu merenungkan Allah. Orang dapat berbicara panjang lebar tanpa memecahkan keheningan dan, sebaliknya, orang dapat berbicara sedikit dan dengannya terus-menerus memecahkan keheningan. Oh, betapa kerusakan yang tak dapat diperbaiki dilakukan dengan memecahkan keheningan! Kita menimbulkan banyak bahaya kepada sesama, tetapi terlebih lagi kepada diri kita sendiri.
Menurut pendapatku, dan berdasarkan pengalamanku, peraturan mengenai keheningan hendaknya menempati urutan pertama. Tuhan tidak memberikan DiriNya pada jiwa yang suka bicara, yang bagaikan lebah jantan dalam sebuah sarang lebah, sibuk mendengung tetapi tidak menghasilkan madu. Jiwa yang suka bicara adalah jiwa yang kosong di dalamnya. Ia tak mempunyai cukup keutamaan-keutamaan pokok maupun keakraban dengan Tuhan. Kehidupan rohani yang mendalam, yang damai tenang dan yang hening, di mana Tuhan tinggal, nyaris mustahil didapati di dalamnya. Suatu jiwa yang belum pernah mencicipi kemanisan keheningan batin adalah jiwa yang gelisah, yang mengganggu keheningan yang lain. Aku melihat banyak jiwa-jiwa di kedalaman neraka akibat tidak memelihara keheningan; mereka sendiri yang mengatakannya kepadaku ketika aku tanyakan pada mereka apa yang menjadi sebab kebinasaan mereka. Mereka ini adalah jiwa-jiwa para biarawan/biarawati. Ya Tuhan-ku, betapa ngeri memikirkan bahwa tidak saja mereka seharusnya berada di surga, tetapi mereka bahkan bisa menjadi orang-orang kudus! O Yesus, kasihanilah kami!
Aku gemetar memikirkan bahwa aku harus mempertanggung-jawabkan lidahku. Ada kehidupan, tetapi ada pula kematian dalam lidah. Terkadang kita mematikan lidah: kita melakukan pembunuhan yang sesungguhnya. Dan kita masih mengangggap lidah sebagai sesuatu yang kecil? Aku sungguh tidak paham akan nurani yang demikian. Aku mengenal seorang yang, ketika tahu dari seseorang bahwa suatu hal dikatakan tentangnya, jatuh sakit parah. Ia kehilangan banyak darah dan mencucurkan banyak airmata, dan akibatnya sungguh mengenaskan. Bukan pedang yang melakukan semua ini, melainkan lidah. O Yesus-ku yang tak banyak bicara, kasihanilah kami!
Aku telah melantur ke masalah keheningan. Tetapi, bukan ini yang hendak aku bicarakan, melainkan mengenai hidup jiwa bersama Tuhan dan mengenai tanggapan jiwa atas rahmat. Ketika suatu jiwa telah dibersihkan, dan Tuhan bergaul akrab dengannya, jiwa mulai mengerahkan segala kekuatan batinnya untuk bersatu dengan Tuhan. Namun demikian, jiwa tak dapat melakukan suatupun bagi dirinya sendiri. Hanya Tuhan yang menyelenggarakan segala sesuatu. Jiwa mengerti dan sadar akan hal ini. Jiwa masih ada dalam pembuangan dan ia tahu benar bahwa mungkin akan datang hari-hari mendung dan hujan, tetapi sekarang hendaknya jiwa memandang segala sesuatu dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Jiwa tidak mencari ketenangan hati dalam kedamaian yang palsu, melainkan siap untuk bertempur. Jiwa tahu bahwa ia berasal dari ras pejuang. Sekarang jiwa jauh lebih sadar akan segala sesuatu. Jiwa tahu bahwa ia keturunan raja. Jiwa terpikat dengan segala yang agung dan kudus.
Ada serangkaian rahmat yang dicurahkan Tuhan atas jiwa setelah pencobaan-pencobaan hebat ini. Jiwa menikmati persatuan mesra dengan Tuhan. Jiwa dikaruniai banyak penglihatan, baik jasmani maupun intelektual. Jiwa mendengar banyak kata-kata adikodrati, dan terkadang perintah-perintah yang jelas. Tetapi, kendati rahmat-rahmat ini, jiwa tak dapat mencukupi dirinya sendiri. Sesungguhnya, malah berkekurangan sebagai akibat dari rahmat-rahmat Tuhan ini, sebab sekarang jiwa terbuka pada banyak mara bahaya dan dapat dengan mudah menjadi korban ilusi. Jiwa hendaknya memohon seorang Pembimbing Rohani kepada Tuhan; tetapi jiwa tidak hanya harus berdoa untuk itu, melainkan ia harus juga melakukan segala daya upaya guna mendapatkan seorang pembimbing yang ahli dalam hal-hal ini, sama seperti seorang pemimpin militer haruslah mengenali jalan yang harus ia tempuh (bersama pasukannya) menuju medan pertempuran. Jiwa yang bersatu dengan Tuhan haruslah siap untuk menghadapi pertempuran-pertempuran yang hebat dan sulit.
Setelah pemurnian dan cucuran airmata, Tuhan tinggal dalam jiwa dengan suatu cara yang istimewa, namun demikian jiwa tidak senantiasa bekerjasama dengan rahmat-rahmat ini. Bukan jiwa itu sendiri tidak mau bekerjasama, melainkan jiwa menghadapi begitu banyak kesulitan dan kesukaran baik dari dalam maupun dari luar hingga sungguh membutuhkan suatu mukjizat untuk menopang jiwa pada tahap-tahap seperti ini. Di sini, jiwa mutlak membutuhkan seorang pembimbing. Seringkali orang menaburkan kebimbangan dalam jiwaku, dan aku sendiri menjadi ketakutan akan pemikiran bahwa aku, bagaimanapun, adalah seorang yang bodoh dan tak memiliki pengetahuan dalam banyak hal, teristimewa dalam hal rohani. Tetapi, kala keraguan memuncak, aku mencari terang dari bapa pengakuan atau superior. Walau demikian, aku tidak mendapatkan apa yang aku inginkan.
Ketika aku membuka diri kepada para superior, seorang dari mereka (mungkin Moeder Michael atau Moeder Maria Yosef) memahami jiwaku dan jalan yang Tuhan peruntukkan bagiku. Ketika aku mengikuti nasehatnya, aku maju pesat dalam kesempurnaan; tapi hal ini tak berlangsung lama. Kala aku membuka jiwaku terlebih dalam lagi, aku tidak mendapatkan apa yang aku inginkan; bagi superiorku tampaknya rahmat-rahmat ini (di mana aku adalah obyeknya) tak dapat dipercaya; jadi aku tak dapat memperoleh pertolongan lebih lanjut darinya. Ia mengatakan padaku bahwa mustahil Tuhan bercakap mesra dengan makhluk ciptaan-Nya begitu rupa, “Aku khawatir akan engkau, Suster; bukankah ini ilusi atau sejenisnya! Sebaiknya engkau pergi minta nasehat imam.” Tetapi bapa pengakuan tidak memahamiku; ia mengatakan, “Sebaiknya engkau pergi, Suster, bicarakanlah masalah ini dengan para superiormu.” Jadi aku akan pergi dari superior ke bapa pengakuan dan dari bapa pengakuan ke superior, dan aku tak mendapati ketenteraman hati. Rahmat-rahmat ilahi ini menjadi suatu siksaan besar bagiku. Lebih dari sekali aku katakan langsung kepada Tuhan, “Yesus, aku takut akan Engkau; adakah Engkau bukan sejenis roh halus?” Yesus senantiasa meneguhkanku, namun aku masih terus bimbang ragu. Tetapi, suatu hal yang aneh: semakin aku bimbang, semakin Yesus memberikan bukti-bukti kepadaku bahwa hal-hal ini berasal daripada-Nya.
Kala aku mendapati bahwa para superior tak dapat menenteramkan hatiku, aku memutuskan untuk tak mengatakan apapun (kepada mereka) mengenai perkara-perkara batin ini. Secara lahiriah aku berusaha, sebagaimana seharusnya dilakukan seorang biarawati yang baik, mengatakan segalanya kepada para superior, tetapi sejauh menyangkut kepentingan jiwa, aku mengungkapkannya hanya dalam kamar pengakuan. Karena banyak alasan yang sangat tepat, aku mengerti bahwa seorang perempuan tidak dipanggil untuk memiliki pemahaman yang tajam akan misteri-misteri yang demikian. Aku telah membiarkan diriku terbuka bagi banyak penderitaan yang tak perlu. Untuk jangka waktu yang cukup lama, aku dianggap sebagai kerasukan roh jahat, dan orang memandangku dengan rasa iba, para superior melakukan tindakan-tindakan antisipasi tertentu dalam menghadapiku. Sampai ke telingaku bahwa para suster juga menganggapku demikian. Langit serasa kelabu sekelilingku. Aku mulai menghindarkan diri dari rahmat-rahmat ilahi ini, tetapi adalah di luar kuasaku untuk melakukannya. Sekonyong-konyong aku akan diliputi oleh permenungan begitu rupa yang bertentangan dengan kehendakku; aku dibenamkan dalam Allah, dan Ia membuatku sepenuhnya tergantung pada-Nya.
Di saat-saat awal, jiwaku senantiasa diliputi sedikit ketakutan, tetapi kemudian jiwaku dipenuhi kedamaian dan kekuatan yang misterius. Segala hal ini masih dapat ditanggung. Tetapi, kala Tuhan menuntutku untuk melukis gambaran itu, mereka mulai berbicara terang-terangan mengenaiku dan menganggapku sebagai seorang yang histeris dan pengkhayal; gosip-gosip mulai semakin keras terdengar. Seorang dari para suster datang untuk berbicara kepadaku secara pribadi. Ia mulai dengan mengasihaniku, katanya, “Aku dengar mereka mengatakan bahwa engkau seorang pengkhayal, Suster, dan engkau mengalami penglihatan-penglihatan. Saudariku yang malang, belalah dirimu dalam perkara ini.” Ia adalah jiwa yang tulus dan ia mengatakan kepadaku dengan tulus apa yang telah ia dengar. Tetapi, aku harus mendengarkan hal-hal semacam itu setiap hari. Hanya Tuhan yang tahu betapa menjemukannya hal ini.
Namun demikian, aku berketetapan untuk menanggung segalanya dalam keheningan dan tidak memberikan penjelasan apapun apabila ditanyai. Sebagian merasa jengkel dengan kebisuanku, teristimewa mereka yang suka ingin tahu. Lainnya, yang merenung lebih dalam, mengatakan, “Suster Faustina pastilah sangat dekat dengan Tuhan jika ia memiliki kekuatan untuk menanggung begitu banyak penderitaan.” Seolah aku sedang menghadapi dua kelompok peradilan. Aku berjuang untuk tinggal diam dalam kehingan lahir maupun batin. Aku tidak mengatakan suatupun mengenai diriku, meski aku ditanya langsung oleh beberapa suster. Bibirku terkatup rapat. Aku menderita bagaikan seekor merpati, tanpa mengeluh. Sebagian suster tampaknya mendapatkan kesenangan dalam menyakitiku dengan cara apa saja yang dapat mereka lakukan. Kesabaranku membuat mereka mendongkol. Tuhan memberiku begitu banyak kekuatan batin sehingga aku dapat menanggungnya dengan tenang.
Aku tahu bahwa aku tak akan mendapatkan pertolongan dari siapa pun pada saat-saat demikian, dan aku mulai berdoa dan mohon seorang bapa pengakuan kepada Tuhan. Satu-satunya kerinduanku adalah imam mengatakan sepatah kata ini kepadaku, “Tenanglah, engkau berada di jalan yang benar,” atau “Tolaklah semua ini, sebab tidak berasal dari Tuhan.” Tetapi, tak kudapati imam yang cukup percaya diri untuk menyampaikan kepadaku pendapat yang pasti dalam nama Tuhan. Jadi, kebimbangan ini, kiranya Nama-Mu dimuliakan! Aku mohon pada-Mu, Tuhan, arahkanlah jiwaku kepada DiriMu dan sertailah aku, sebab dari diriku sendiri aku bukanlah apa-apa.
Demikianlah aku telah dihakimi dari segala pihak. Tak ada lagi suatupun dalam diriku yang lolos dari penilaian para suster. Tetapi, tampaknya sekarang mereka bosan dan mulai membiarkanku sendiri. Jiwaku yang tersiksa boleh beristirahat, dan aku mengerti bahwa Tuhan jauh lebih dekat padaku pada masa-masa aniaya seperti itu. (Gencatan senjata) Ini berlangsung hanya sebentar saja. Badai ganas menyerang kembali. Dan sekarang, prasangka-prasangka lama seolah menjadi fakta-fakta yang benar bagi mereka, dan sekali lagi aku harus mendengar lagu-lagu lama yang sama. Tuhan menghendakinya demikian. Tetapi, sungguh aneh, bahkan secara lahiriah aku mulai mengalami berbagai macam kegagalan. Hal ini menimpakan begitu banyak macam penderitaan atasku, hanya Tuhan saja yang tahu.
Namun demikian, aku berusaha sebaik mungkin melakukan segalanya dengan tujuan yang paling murni. Dapat kulihat bahwa di mana-mana aku diamat-amati bagaikan seorang pencuri: di kapel, sementara aku sedang melaksanakan tugas kewajibanku, ataupun saat berada di bilikku. Aku tak menyadari bahwa, selain kehadiran Allah, senantiasa ada pula di dekatku kehadiran manusia. Terpaksa aku katakan bahwa, lebih dari sekali, kehadiran manusia ini sangat menggangguku. Terkadang aku bertanya-tanya apakah sebaiknya aku menanggalkan pakaian dan mandi atau tidak. Sungguh, bahkan tempat tidurku pun diperiksa berulang kali. Kadang kala aku menahan gelak tawa ketika mendapati bahwa mereka bahkan tak hendak melewatkan tempat tidurku. Salah seorang dari para suster itu sendiri yang mengatakan kepadaku bahwa ia datang untuk mengamati dalam bilikku setiap sore guna melihat bagaimana aku bersikap di dalamnya.
Walau demikian, superior tetaplah superior. Kendati mereka secara pribadi memandang rendah padaku dan, dalam berbagai kesempatan, memenuhiku dengan segala macam kebimbangan, mereka selalu memberiku ijin untuk melakukan apa yang dikehendaki Tuhan; meski tidak seperti yang aku minta, melainkan dengan suatu cara yang lain, mereka memenuhi permintaan Tuhan dan memberiku ijin untuk segala matiraga dan penyangkalan diri (yang Tuhan minta dariku).
Suatu hari, salah seorang Moeder (mungkin Moeder Jane) menumpahkan amarahnya yang hebat atasku dan mempermalukanku dengan sangat hingga aku pikir aku tak akan sanggup menanggungnya. Katanya, “Kau, pengkhayal yang aneh dan histeris, enyah dari kamar ini; tak percaya aku padamu, Suster!” Ia terus mencercaku dengan segala macam yang terpikirkan olehnya. Setibanya di bilik, aku jatuh dengan mukaku mencium tanah, di hadapan salib, lalu aku memandang Yesus; namun tak sepatah kata pun mampu kuucapkan. Walau demikian, aku menyembunyikan semuanya dari yang lain dan berpura-pura tak suatu pun terjadi di antara kami.
Setan senantiasa mengambil keuntungan dari saat-saat demikian; pikiran-pikiran keputusasaan mulai muncul ke permukaan - inilah ganjaran untuk kesetiaan dan ketulusanmu. Bagaimana seorang dapat tulus hati apabila ia begitu disalahmengerti? Yesus, Yesus, aku tak sanggup bertahan. Lagi, aku roboh ke atas lantai di bawah himpitan beban ini, keringat deras bercucuran dan ketakutan mulai merayapi diriku. Tak ada seorang pun tempat aku bersandar secara rohani. Sekonyong-konyong aku mendengar suara dalam jiwaku, “Jangan takut, Aku bersamamu.” Dan suatu terang yang luar biasa mencerahkan benakku, dan aku mengerti bahwa aku tak boleh menyerah pada penderitaan-penderitaan yang demikian. Aku dipenuhi suatu kekuatan istimewa dan keluar dari bilik dengan kegagahan baru untuk menghadapi penderitaan.
Tetapi, aku mulai sedikit lalai. Aku tidak menaruh perhatian pada inspirasi-inspirasi batin ini dan berusaha menarik diri. Namun, kendati segala kekacauan dan usahaku menarik diri, aku dapat melihat apa yang sedang terjadi dalam jiwaku. Sabda Tuhan jelas, dan tak suatu pun dapat menghalanginya. Aku mulai mengelak dari perjumpaan dengan Tuhan dalam jiwaku, sebab aku tidak mau menjadi kurban ilusi. Tetapi, Tuhan terus mengejarku dengan karunia-karunia-Nya, dan sebagai akibatnya, sungguh aku mengalami sekaligus aniaya dan sukacita. Aku tak hendak menyebutkan di sini berbagai penglihatan dan rahmat yang Tuhan anugerahkan kepadaku sepanjang masa ini, sebab aku telah menuliskannya di bagian lain.
Aku hanya hendak menyampaikan di sini bahwa berbagai penderitaan ini telah mencapai puncaknya, dan aku memutuskan untuk mengakhiri segala kebimbanganku sebelum kaul kekal. Sepanjang masa probasi, aku berdoa mohon terang bagi imam kepada siapa aku nantinya akan membuka jiwaku hingga yang terdalam. Aku mohon pada Tuhan agar Ia Sendiri yang menolongku dan mengaruniaiku rahmat untuk dapat mengungkapkan bahkan hal-hal yang paling rahasia antara aku dan Dia dan ketaatan agar apapun yang diputuskan imam, aku akan menerimanya sebagai yang berasal dari Yesus sendiri. Apapun penilaian yang akan ia buat atasku, yang aku inginkan hanyalah kebenaran dan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaanku. Aku menyerahkan diriku seutuhnya ke dalam tangan Tuhan dan kerinduan jiwaku hanyalah kebenaran (semata). Aku tak dapat terus-menerus hidup dalam kebimbangan lebih lama lagi, meski di kedalaman jiwaku, aku sangat yakin bahwa hal-hal ini berasal dari Allah, bahwa aku akan mempersembahkan hidupku sepenuhnya untuk ini. Namun demikian, terutama sekali, aku mempercayakannya pada pendapat bapa pengakuan, dan aku bertekad untuk melakukan apa yang imam anggap baik dan bertindak sesuai nasehat yang akan ia sampaikan kepadaku. Aku rindu akan saat itu, yang akan menentukan arah tindakanku sepanjang hidupku. Aku tahu bahwa segala sesuatu akan tergantung pada ini. Tak terlalu menjadi soal apakah yang akan dikatakan bapa pengakuan sesuai dengan inspirasi-inspirasiku atau sebaliknya; hal ini tak lagi menjadi soal bagiku. Aku ingin tahu kebenaran dan mengikutinya.
Yesus, Engkau dapat menolongku! Sejak saat ini, aku memulai yang baru. Aku merahasiakan segala rahmat-rahmat yang ada dalam jiwaku dan menanti dia, siapa pun orangnya, yang akan Tuhan utus bagiku. Tanpa keraguan dalam hatiku, aku memohon agar Tuhan Sendiri berkenan menolongku pada masa-masa ini, dan suatu kekuatan merasuki jiwaku.
Perlu aku sampaikan kembali bahwa ada sebagian bapa pengakuan yang tampak sebagai bapa rohani sejati, namun hanya sepanjang segala sesuatu berjalan baik. Ketika jiwa mendapati dirinya membutuhkan pertolongan yang lebih besar, mereka menjadi kelabakan, dan entah tak dapat atau tak mau, memahami jiwa. Mereka berusaha sesegera mungkin mengenyahkan jiwa dari hadapannya. Namun demikian, jika jiwa rendah hati, jiwa selalu mendapatkan manfaat dengan suatu atau lain cara. Tuhan Sendiri kadang kala akan mengirimkan seberkas terang ke kedalaman jiwa, karena kerendahan hati dan imannya. Terkadang, bapa pengakuan bahkan tanpa disadarinya akan mengatakan sesuatu yang tak pernah ia sendiri bermaksud mengucapkannya. Oh, biarlah jiwa percaya bahwa kata-kata yang demikian adalah kata-kata yang dari Allah Sendiri! Walaupun sungguh kita harus percaya bahwa setiap kata yang diucapkan dalam kamar pengakuan adalah kata-kata Allah Sendiri; tetapi, yang aku maksudkan di atas adalah sesuatu yang langsung berasal dari Allah. Jiwa mengerti bahwa imam bukanlah tuan atas dirinya sendiri, bahwa ia menyampaikan hal-hal yang ia sendiri tak hendak mengatakannya. Begitulah Tuhan mengganjari iman.
Aku mengalaminya sendiri berulang kali. Seorang imam yang sangat terpelajar dan terhormat (mungkin Pater Wilkowski, bapa pengakuan para suster di Plonk), kepada siapa terkadang aku menerima Sakramen Tobat, selalu keras dan menentang hal-hal ini (yang aku sampaikan kepadanya). Tetapi, pada suatu kesempatan ia menjawabku, “Camkanlah, Suster, bahwa jika Tuhan menghendaki ini darimu, janganlah engkau melawan-Nya. Terkadang Tuhan ingin dimuliakan dengan cara yang demikian. Tenanglah, apa yang telah Tuhan mulai, Ia akan menyelesaikannya. Tetapi, aku katakan ini kepadamu: setia kepada Tuhan dan rendah hati. Dan sekali lagi: rendah hati. Camkanlah juga dalam benakmu apa yang telah aku katakan kepadamu pada hari ini.” Aku bersukacita, aku pikir imam ini telah memahamiku. Tetapi ternyata bahwa aku tak pernah lagi menerima Sakramen Pengakuan darinya.
Suatu ketika, salah seorang Moeder senior (mungkin Moeder Jane) memanggilku; seolah guntur di siang hari jatuh menimpa kepalaku, begitu dahsyat hingga aku bahkan tak dapat mengerti apa arti semua ini. Tetapi, sejenak kemudian aku tahu bahwa ini mengenai masalah yang sama sekali di luar kuasaku. Katanya, “Buanglah dari pikiranmu, Suster, bahwa Tuhan Yesus mau berhubungan begitu mesra dengan seonggok cacat cela yang mengerikan sepertimu! Pikirkan baik-baik bahwa hanya dengan jiwa-jiwa kudus Tuhan Yesus menjalin hubungan yang demikian!” Aku sadar bahwa ia benar, sebab aku sungguh seorang pendosa yang malang, tetapi tetap aku mengandalkan belas kasih Tuhan. Kala aku berjumpa dengan Tuhan, aku merendahkan diriku dan berkata, “Yesus, aku tahu bahwa Engkau tidak menjalin hubungan yang akrab mesra dengan seorang pendosa yang malang sepertiku.” “Tenanglah, puteri-Ku, justru melalui kemalangan yang demikianlah Aku hendak menunjukkan kuasa belas kasih-Ku.” Aku mengerti bahwa Moeder itu hanya ingin menyadarkanku (secara positif) akan ketaklayakanku.
Ya Yesus-ku, Engkau telah mengujiku berulang kali dalam masa hidupku yang singkat ini! Aku jadi memahami begitu banyak hal, dan bahkan hal itu pun sekarang menakjubkanku. Oh, betapa baiknya menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan dan memberi kebebasan penuh pada-Nya untuk bertindak dalam jiwa!
Pada masa probasi ketiga, Tuhan membuatku mengerti bahwa hendaknya aku mempersembahkan diri kepada-Nya agar Ia dapat bertindak atasku seturut kehendak-Nya. Aku akan tinggal berdiri di hadapan-Nya sebagai kurban persembahan. Pada mulanya, aku cukup ketakutan; aku merasa diri sama sekali malang; aku tahu betul apa itu artinya. Sekali lagi aku menjawab Tuhan, “Aku adalah kemalangan itu sendiri, bagaimana mungkin aku menjadi kurban (bagi yang lain)?” “Engkau tidak memahaminya sekarang. Esok, pada waktu adorasi, Aku akan menyatakannya kepadamu.” Hatiku gemetar, juga jiwaku, begitu dalam kata-kata ini menembusi jiwaku. Sabda Allah itu hidup.
Kala aku datang untuk adorasi, aku merasakan dalam jiwaku bahwa aku telah masuk ke dalam bait Allah yang hidup, yang keagungannya sungguh luar biasa dan tak terpahami. Tuhan membuatku tahu siapa diri kita, bahkan roh-roh yang paling murni sekalipun, di hadapan-Nya. Walau aku tak melihat suatupun secara lahiriah, kehadiran Tuhan melingkupiku. Tepat pada saat itu akal budiku diterangi secara istimewa. Suatu penglihatan hadir di hadapan mata jiwaku; seperti penglihatan yang dialami Yesus di Taman Zaitun. Pertama-tama, penderitaan fisik dan segala peristiwa yang akan semakin memperburuk keadaannya; (lalu) gambaran penuh akan penderitaan batin dan hal-hal yang tak seorang pun akan tahu mengenainya. Segalanya masuk dalam penglihatan: syak wasangka yang keliru, kehilangan nama baik. Ringkasnya demikian; tetapi pengetahuan ini telah begitu jelas hingga apa yang kualami di kemudian hari tak berbeda dari apa yang telah aku ketahui saat itu. Namaku akan menjadi `kurban'.
Ketika penglihatan berakhir, keringat dingin membasahi keningku. Yesus membuatku tahu bahwa, bahkan jika aku tidak memberikan persetujuan atas hal ini, aku masih dapat diselamatkan, dan Ia tak akan mengurangkan rahmat-rahmat-Nya, melainkan akan tetap terus menjalin hubungan yang akrab mesra denganku; bahkan jika aku tidak setuju melakukan pengurbanan ini, kemurahan Tuhan tidak akan berkurang karenanya.
Dan Tuhan membuatku tahu bahwa keseluruhan misteri ini tergantung padaku, atas persetujuan bebasku akan kurban, yang diberikan dengan menggunakan segenap akal budiku. Dalam tindakan yang diambil secara bebas dan sadar ini terletak segala daya kuasa dan nilai di hadapan Yang Mahamulia. Bahkan jika dari hal-hal ini, yang kepadanya aku mempersembahkan diriku, tak satu pun pernah terjadi atasku, di hadapan Tuhan semuanya seolah telah digenapi.
Pada saat itu, aku sadar bahwa aku tengah masuk ke dalam persatuan dengan Maharaja yang tak terpahami. Aku merasa bahwa Tuhan sedang menanti jawabanku, persetujuanku. Lalu jiwaku membenamkan diri dalam Tuhan, dan aku berkata, “Perbuatlah padaku seturut kehendak-Mu. Aku berserah diri pada kehendak-Mu. Sejak hari ini, kehendak-Mu yang kudus akan menjadi makananku, dan dengan pertolongan rahmat-Mu aku akan taat pada perintah-perintah-Mu. Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu. Aku mohon pada-Mu, ya Tuhan, sertailah aku setiap saat sepanjang hidupku.”
Sekonyong-konyong, ketika aku telah memberikan persetujuan atas kurban ini dengan segenap hatiku dan segenap kehendakku, kehadiran Tuhan menguasaiku. Jiwaku terbenam dalam Tuhan dan dilimpahi sukacita dahsyat begitu rupa hingga tak dapat kuungkapkan dalam tulisan bahkan sebagian yang terkecil sekalipun darinya. Aku merasa Yang Mahamulia menyelubungiku. Aku diberi makan secara istimewa oleh Tuhan. Aku melihat bahwa Tuhan sangat puas denganku, dan sebaliknya, rohku menenggelamkan diri dalam Dia. Sadar akan persatuan dengan Tuhan ini, aku merasa dikasihi dengan amat istimewa, dan sebaliknya, aku mengasihi-Nya dengan segenap jiwaku. Suatu misteri besar terjadi sepanjang adorasi, misteri antara Tuhan dan aku. Rasanya aku akan mati karena cinta (memandang) tatapan-Nya. Aku berbicara banyak dengan Tuhan tanpa mengucapkan sepatah kata. Dan Tuhan mengatakan kepadaku, “Engkau sukacita Hati-Ku; sejak hari ini, setiap tindakanmu, bahkan yang terkecil sekalipun, akan menjadi sukacita bagi mata-Ku, apapun yang kau lakukan.” Pada saat itu aku merasa di-transkonsekrasi. Tubuh jasmaniku tetap sama, tetapi jiwaku berbeda; Tuhan sekarang tinggal di dalamnya dengan kepenuhan sukacita-Nya. Ini bukan perasaan, melainkan suatu kenyataan yang benar, yang tak dapat dipungkiri.
Suatu misteri besar telah terjadi antara Tuhan dan aku. Keberanian dan kekuatan tetap tinggal dalam jiwaku. Ketika waktu adorasi telah usai, aku keluar dan dengan tenang menghadapi segala yang dulunya sangat aku takuti. Kala keluar dari lorong, suatu penderitaan dan penghinaan besar, melalui seorang tertentu, telah menantiku. Aku menerimanya dengan penyerahan diri kepada kehendak yang lebih tinggi dan meringkuk rapat-rapat dalam Hati Yesus Yang Mahakudus, membuat-Nya tahu bahwa aku telah siap untuk hal itu yang baginya aku telah mempersembahkan diriku.
Penderitaan tampak mulai bersemi di atas permukaan tanah. Bahkan Moeder Margaret sendiri terkejut. Bagi yang lain, banyak hal berlalu tanpa menarik perhatian, sebab sungguh memang tak ada faedahnya memberikan perhatian yang demikian; tetapi dalam kasusku, tak suatupun terluput dari perhatian; setiap kata dianalisa, setiap langkah diamati. Seorang suster mengatakan kepadaku, “Bersiaplah Suster, untuk menerima salib kecil dari tangan Moeder Superior. Aku berbelas-kasihan padamu.” Tetapi bagiku, aku bersukacita atas hal ini dalam lubuk jiwaku, aku telah siap untuk ini sejak lama. Ketika Moeder melihat kegagahanku, ia tercengang. Aku tahu sekarang bahwa jiwa tak dapat berbuat banyak dari dirinya sendiri, tetapi dengan Tuhan ia dapat melakukan segalanya. Lihatlah apa yang dapat dilakukan rahmat Tuhan. Sedikit saja jiwa-jiwa yang senantiasa waspada dalam menerima rahmat-rahmat ilahi, dan bahkan terlebih sedikit lagi dari jiwa-jiwa demikian yang mengikuti inspirasi-inspirasi itu dengan setia.
Walau demikian, suatu jiwa yang setia kepada Tuhan tak dapat langsung membenarkan baik inspirasi-inspirasinya sendiri maupun inspirasi Tuhan; jiwa hendaknya berhati-hati, sebab banyak hal yang tidak pasti. Tuhan senang dan bersukacita apabila suatu jiwa meragukan-Nya demi Dia; sebab jiwa mengasihi-Nya, jiwa berhati-hati dan meminta serta mencari pertolongan guna memastikan bahwa sungguh Allah yang bertindak dalam jiwa. Dan begitu seorang bapa pengakuan yang berwawasan baik telah menegaskannya, jiwa hendaknya tenang dan memberikan diri seutuhnya kepada Tuhan, sesuai petunjuk-Nya, yaitu, sesuai petunjuk-petunjuk bapa pengakuan.
Kasih yang murni mampu melakukan perbuatan-perbuatan besar; ia tak akan patah oleh kesulitan ataupun kesukaran. Ia tetap kuat di tengah kesulitan-kesulitan besar, pula ia tekun dalam kehidupan sehari-hari yang berat serta menjemukan. Ia tahu bahwa hanya satu hal saja yang perlu untuk menyenangkan Allah: melalukan bahkan perbuatan yang paling remeh sekalipun dengan kasih yang besar - kasih, dan senantiasa kasih.
Kasih yang murni tak pernah salah. Terangnya luar biasa berlimpah. Ia tak akan melalukan suatupun yang tak berkenan kepada Allah. Ia penuh daya dalam melakukan apa yang berkenan kepada Allah, tak ada yang dapat menyamainya. Ia bersukacita apabila dapat mengosongkan diri dan terbakar bagaikan suatu persembahan yang murni. Semakin ia memberikan diri, semakin ia bahagia. Tetapi juga, tak ada yang dapat mencium bahaya dari jauh seperti yang dapat dilakukan kasih; ia tahu bagaimana membuka kedok dan juga tahu dengan siapa ia harus berhadapan.
Tetapi, penderitaan-penderitaanku hampir berakhir. Tuhan memberiku pertolongan yang dijanjikan-Nya. Aku dapat melihatnya dalam diri dua orang imam, yaitu Pater Endures dan Pater Sopocko. Saat retret sebelum kaul kekal, untuk pertama kali aku sepenuhnya tenang (oleh P Endures), dan sesudahnya aku dibimbing dalam arahan yang sama oleh P Sopocko. Inilah kegenapan janji Allah.
Ketika aku telah tenang dan dibimbing bagaimana berjalan di jalan Allah, rohku bersukacita dalam Tuhan; aku merasa aku berlari, bukan berjalan. Sayap-sayapku mengembang siap untuk terbang; aku membubung tinggi menuju pusat matahari, dan aku tak hendak turun hingga aku beristirahat dalam Dia; dalam Dia, jiwaku hilang untuk selama-lamanya. Aku berserah diri seutuhnya pada tindakan rahmat. Tuhan membungkuk sangat rendah guna menjumpai jiwaku. Aku tidak mundur, pun aku tidak menolak-Nya, melainkan aku hilang dalam Dia sebagai satu-satunya harta pusakaku. Aku satu dengan Allah. Seolah jurang pemisah di antara kami, Pencipta dan makhluk ciptaan, lenyap. Selama beberapa hari, jiwaku dalam keadaan ekstasi yang terus-menerus. Kehadiran Allah tak meninggalkanku barang sekejap. Dan jiwaku tinggal dalam persatuan kasih yang terus-menerus dengan Tuhan. Tetapi hal ini sama sekali tak menggangguku dalam melaksanakan tugas kewajiban. Aku merasa aku diubah ke dalam kasih; aku sepenuhnya dilalap api, namun tidak terbakar. Aku terus-menerus hilang dalam Tuhan; Tuhan menarikku kepada DiriNya dengan begitu kuat dan begitu penuh kuasa hingga terkadang aku tak sadar bahwa aku ada di bumi. Begitu lama aku terganggu dan takut akan rahmat Tuhan; tetapi sekarang Tuhan Sendiri, melalui P Endures, telah menyingkirkan segala kesulitan. Rohku tertuju pada Matahari dan mekar dalam sinar-sinar-Nya hanya bagi Dia saja; aku tak lagi mengerti …. (kalimat terputus di sini dan mulai dengan suatu pemikiran yang sama sekali baru di baris berikutnya).
Aku telah banyak menyia-nyiakan rahmat Tuhan karena aku selalu takut tertipu. Tuhan menarikku kepada DiriNya dengan begitu dahsyat hingga seringkali di luar kuasaku untuk menolak rahmat-Nya, ketika tiba-tiba aku tenggelam dalam Dia. Pada saat ini, Yesus memenuhiku dengan damai yang luar biasa hingga, sesudahnya, bahkan kala aku berusaha menjadi gelisah, aku tak dapat melakukannya. Lalu, aku mendengar kata-kata ini dalam jiwaku, “Guna meyakinkan engkau bahwa Aku yang menghendaki segala hal ini darimu, Aku akan memberimu damai yang begitu luar biasa hingga bahkan jika engkau ingin merasa gelisah dan takut, hal itu akan ada di luar kuasamu pada hari ini, melainkan kasih akan memenuhi jiwamu hingga engkau tak ingat dirimu lagi.”
Di kemudian hari, Yesus memberi seorang imam lain (Pater Sopocko), kepada siapa Yesus menyuruhku untuk mengungkapkan jiwa. Pada awalnya aku melakukan dengan sedikit keraguan, tetapi suatu teguran keras dari Yesus mendatangkan kerendahan hati yang mendalam dalam jiwaku. Di bawah bimbingannya, jiwaku maju pesat dalam kasih akan Allah, dan banyak kehendak Tuhan dapat dilaksanakan secara lahiriah. Sering kali aku terkagum atas keberanian dan kerendahan hatinya yang luar biasa.
Oh, betapa mengerikannya jiwaku yang telah menyia-nyiakan begitu banyak rahmat! Aku melarikan diri dari Allah, dan Ia mengejarku dengan rahmat-rahmat-Nya. Paling sering aku mengalami rahmat-rahmat Tuhan pada saat aku kurang mengharapkannya. Sejak saat Ia memberiku seorang pembimbing rohani, aku menjadi lebih setia pada rahmat. Syukur karena pembimbing dan karena pemeliharaannya atas jiwaku, aku mengerti apa arti bimbingan dan bagaimana Yesus memandangnya. Yesus memperingatkanku akan kesalahan-kesalahan terkecil sekalipun dan menekankan bahwa Ia Sendiri yang menghakimi masalah yang aku sampaikan pada bapa pengakuan, dan (Ia mengatakan) bahwa … “segala dosa terhadap bapa pengakuan mengenai Aku Sendiri.”
Kala di bawah bimbingan ini, jiwaku mulai mengalami permenungan mendalam dan merasa damai; seringkali aku mendengar kata-kata ini dalam jiwaku, “Kuatkanlah dirimu untuk menghadapi pertempuran-pertempuran” - berulang dan berulang kali di berbagai kesempatan.
Yesus acapkali membuatku tahu apa yang tidak Ia sukai dalam jiwaku; lebih dari sekali Ia menegurku atas apa yang tampaknya sepele, tetapi yang sesungguhnya merupakan hal-hal penting. Yesus memperingatkanku dan mengujiku bagaikan seorang Guru. Selama bertahun-tahun Ia Sendiri yang mendidikku, hingga saat Ia memberiku seorang pembimbing rohani. Sebelumnya, Ia Sendiri yang menerangkan kepadaku apa-apa yang tidak aku mengerti; tetapi sekarang, Ia menyuruhku untuk menanyakan segala sesuatu kepada bapa pengakuan; seringkali Ia mengatakan, “Aku akan menjawab engkau melalui mulutnya. Tenanglah” Apabila aku menyampaikan kepada pembimbing rohani (Pater Sopocko), tak pernah terjadi bahwa aku menerima jawaban yang bertentangan dengan apa yang Tuhan kehendaki dariku. Kadang kala terjadi, Yesus pertama-tama menghendaki beberapa hal tertentu dariku, mengenai suatu yang tak seorang pun tahu, dan lalu, ketika aku berlutut di kamar pengakuan, bapa pengakuan memberiku perintah yang sama - tetapi, hal ini jarang terjadi.
Ketika, sesudah jangka waktu yang panjang, jiwa telah menerima banyak pencerahan dan inspirasi, dan ketika bapa pengakuan telah menegaskan sumber inspirasi ini dan menenangkan jiwa; jika kasih yang dimiliki jiwa besar, maka sekarang Yesus membuatnya tahu bahwa inilah saat untuk mengamalkan apa yang telah diterima jiwa. Jiwa tahu bahwa Tuhan menaruh harap padanya, dan pengetahuan ini memperteguh jiwa. Jiwa tahu bahwa ia harus setia, ia akan seringkali harus menghadapi berbagai kesulitan, tetapi ia mengandalkan Tuhan dan, syukur atas kepercayaan ini, jiwa mencapai tingkat ke mana Tuhan memanggilnya. Kesukaran dan kesulitan tak menggentarkan jiwa; semua itu adalah makanannya sehari-hari, seperti yang sudah-sudah. Semuanya itu tidak menakutkan atau menggoncangkan jiwa, bagaikan seorang laskar yang terus-menerus berada di medan pertempuran tak akan gentar oleh dentuman meriam. Jauh dari takut, jiwa mendengarkan dengan seksama guna mengetahui dari arah manakah musuh melancarkan serangannya, agar dapatlah ia mengalahkan musuh. Jiwa tidak melakukan suatupun dengan membabi-buta, melainkan dengan memeriksa serta merenungkan segalanya dalam-dalam dan, jiwa tidak mengandalkan diri sendiri, melainkan ia berdoa dengan tekun dan mohon nasehat dari para pejuang lain yang bijaksana serta berpengalaman. Apabila jiwa bertindak dengan cara demikian, ia hampir selalu menang.
Ada serangan-serangan di saat jiwa tak memiliki cukup waktu untuk berpikir atau meminta nasehat; maka haruslah ia masuk ke dalam pertarungan antara hidup dan mati. Terkadang baik jika jiwa melarikan diri untuk berlindung dalam luka Hati Yesus, tanpa menjawab sepatah kata pun. Dengan tindakan seperti ini, musuh sudah ditaklukkan.
Juga, di masa-masa damai, jiwa terus berjuang, seperti pada masa pertempuran. Jiwa haruslah melatih diri, dan melakukannya dengan semangat; jika tidak, jiwa tidak akan beroleh kesempatan menang. Aku menganggap masa damai sebagai masa persiapan kemenangan. Jiwa yang merenung, menerima banyak pencerahan. Jiwa yang kacau beresiko jatuh, maka janganlah ia terkejut apabila ia sungguh jatuh. Ya Roh Allah, Pembimbing jiwa, bijaksanalah ia yang telah Engkau didik! Tetapi, agar Roh Allah berkarya dalam jiwa, diperlukan damai dan permenungan.
Jiwa memperlengkapi diri dengan doa guna menghadapi segala bentuk pertempuran. Dalam keadaan yang bagaimanapun, jiwa haruslah senantiasa berdoa. Jiwa yang murni dan indah harus berdoa, jika tidak, ia akan kehilangan keindahannya; jiwa yang berjuang demi kemurnian ini harus berdoa, jika tidak, ia tidak akan pernah mencapainya; jiwa yang baru bertobat harus berdoa, jika tidak, ia akan jatuh lagi; jiwa yang berkubang dalam dosa harus berdoa agar ia dapat bangkit kembali. Tak ada suatu jiwa pun yang tidak membutuhkan doa, sebab setiap rahmat datang ke dalam jiwa melalui doa.
Aku ingat bahwa aku menerima sebagian besar pencerahan pada waktu adorasi yang aku lakukan dengan rebah prostratio di hadapan Sakramen Mahakudus selama setengah jam setiap hari sepanjang Masa Prapaskah. Sepanjang waktu itu aku jadi mengenal diriku sendiri dan Tuhan dengan lebih mendalam. Namun demikian, walau aku mendapatkan ijin dari superior untuk melakukannya, aku menghadapi banyak kendala dalam berdoa dengan cara demikian. Biarlah jiwa tahu bahwa, agar dapat berdoa dan bertekun dalam doa, jiwa haruslah memperlengkapi diri dengan kesabaran, dan dengan gagah berani menghadapi baik kesulitan-kesulitan yang datang dari luar maupun dari dalam. Kesulitan-kesulitan dari dalam adalah patah semangat, kekeringan, roh yang berat dan pencobaan-pencobaan. Kesulitan-kesulitan dari luar adalah manusia dan waktu; orang harus menyisihkan waktu khusus untuk berdoa. Ini merupakan pengalaman pribadiku sebab, apabila aku tidak berdoa pada waktu yang ditetapkan untuk berdoa, maka kemudian aku tak dapat berdoa karena tugas kewajibanku; atau jika aku berhasil berdoa juga, aku berdoa dengan susah payah, sebab pikiranku senantiasa melayang pada tugas kewajibanku. Aku juga mengalami kesulitan ini: apabila jiwa telah berdoa dengan khusuk dan meninggalkan doa dalam keadaan permenungan batin yang mendalam, maka yang lain akan menolak permenungannya; jadi, jiwa haruslah bersabar dalam bertekun dalam doa. Acap kali terjadi padaku bahwa ketika jiwaku tenggelam lebih jauh dalam Tuhan, dan aku mendapatkan banyak buah dari doa, dan kehadiran Tuhan menyertaiku sepanjang hari, dan dalam bekerja aku merenung dan aku lebih keras berusaha dan lebih teliti dalam bekerja, justru pada saat itulah aku menerima paling banyak teguran karena dianggap lalai dalam tugas dan acuh terhadap segala sesuatu; sebab jiwa-jiwa yang kurang merenung ingin yang lain sama seperti mereka, sebab yang lain ini terus-menerus menjadi (sumber) penyesalan mereka.
Suatu jiwa yang luhur dan halus, bahkan yang paling sederhana, tetapi yang memiliki kepekaan yang halus, melihat Tuhan dalam segala sesuatu, menemukan-Nya di segala tempat, dan tahu bagaimana menemukan-Nya bahkan dalam hal-hal yang paling tersembunyi. Jiwa mendapati segala sesuatu sebagai penting adanya; ia menghargai segala sesuatu, ia mengucap syukur kepada Tuhan atas segala sesuatu; ia mendapatkan keuntungan bagi jiwa dari segala sesuatu, dan ia menyampaikan segala kemuliaan kepada Tuhan. Ia mengandalkan Tuhan dan tidak gelisah apabila waktu pencobaan tiba. Ia tahu bahwa Tuhan senantiasa adalah Bapa yang terbaik; jiwa memandang rendah pendapat manusia. Ia mengikuti dengan setia hembusan Roh Kudus yang paling halus sekalipun; ia bersukacita dalam Tamu Rohani ini dan bertaut pada-Nya bagaikan seorang kanak-kanak bertaut pada bundanya. Ketika jiwa-jiwa lain berhenti dan ketakutan, jiwa ini lewat tanpa takut menghadapi kesulitan.
Apabila Tuhan Sendiri menghendaki dekat dengan suatu jiwa dan membimbingnya, Ia akan menyingkirkan segala yang eksternal. Kala aku sakit dan dibawa ke rumah sakit biara, aku mengalami banyak kejadian yang tidak menyenangkan karena hal ini. Ada dua dari antara kita yang sakit di rumah sakit. Para suster akan datang menjenguk Suster N., tetapi tak seorang pun datang menjengukku. Memang benar bahwa hanya ada satu rumah sakit, tetapi masing-masing dari kami tinggal di bilik tersendiri. Malam-malan musim dingin terasa panjang; ada pada Suster N. lampu dan radio headphones, sementara aku bahkan tak dapat mempersiapkan meditasi karena tak cukup penerangan.
Ketika hampir dua minggu berlalu dalam keadaan seperti ini, suatu sore aku mengeluh kepada Tuhan bahwa aku sangat menderita dan bahwa aku bahkan tak dapat mempersiapkan meditasi karena tak ada penerangan. Tuhan mengatakan bahwa Ia akan datang setiap sore dan memberiku point-point untuk meditasi keesokan harinya. Point-point ini selalu mengenai Dukacita Sengsara-Nya. Ia akan mengatakan, “Renungkanlah sengsara-Ku di hadapan Pilatus.” Demikianlah, dari point ke point, aku merenungkan Dukacita Sengsara-Nya selama satu minggu. Sejak saat itu, sukacita yang luar biasa mengisi jiwaku, dan aku tak lagi menginginkan baik kunjungan maupun lampu penerangan; Yesus mencukupkanku dalam segala sesuatu. Para superior sungguh amat cemas akan sakitku, tetapi Tuhan menghendaki agar aku merasa ditinggalkan. Guru yang Terbaik menarik segala ciptaan agar Ia Sendiri yang bertindak. Kerap kali aku mengalami penderitaan dan sengsara begitu rupa hingga Moeder M (mungkin Moeder Margaret) sendiri mengatakan kepadaku, “Suster, di sepanjang jalanmu, penderitaan-penderitaan bermunculan dari permukaan tanah. Aku melihatmu, Suster, bagaikan seorang yang tersalib. Tetapi, dapat kulihat bahwa campur tangan Yesus ada di sana. Setialah kepada Tuhan.”
Aku ingin menuliskan sebuah mimpiku tentang St Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Kala itu aku masih seorang novis dan sedang melewati masa-masa sulit yang aku tidak tahu bagaimana harus mengatasinya. Kesulitan-kesulitan itu adalah kesulitan-kesulitan batiniah yang berhubungan dengan kesulitan-kesulitan lahiriah. Aku berdoa novena kepada banyak orang kudus, tetapi keadaan menjadi semakin bertambah sulit. Penderitaan yang ditimbulkannya atasku sungguh sangat hebat hingga aku tidak tahu bagaimana harus bertahan hidup; sekonyong-konyong terlintas dalam pikiran bahwa hendaknya aku mohon bantuan doa St Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Aku mulai berdoa novena kepada St Theresia, sebab sebelum masuk biara aku memiliki devosi yang kuat kepadanya. Namun demikian, belakangan ini agaknya aku melupakan devosi ini, tetapi, dalam kesesakan aku mulai lagi berdoa dengan khusuk.
Pada hari kelima novena, aku bermimpi tentang St Theresia; tetapi seolah ia masih hidup di dunia. Ia menyembunyikan dariku kenyataan bahwa ia seorang kudus dan mulai menghiburku, mengatakan bahwa aku tidak perlu khawatir mengenai hal ini, melainkan perlu lebih mengandalkan Tuhan. Katanya, “Aku banyak menderita juga,” tetapi aku tidak terlalu percaya, kataku, “Bagiku, tampaknya engkau tidak menderita sama sekali.” Tetapi, Santa Theresia menjawab dengan cara yang meyakinkan bahwa ia sungguh telah banyak menderita, dan katanya, “Suster, ketahuilah bahwa dalam waktu tiga hari, kesulitan-kesulitan akan berakhir dengan menggembirakan.” Kala aku tidak terlalu mau percaya padanya, ia menyingkapkan kenyataan bahwa ia seorang kudus. Pada saat itu, suatu sukacita besar meliputi jiwaku, dan aku bertanya, “Apakah engkau seorang kudus?” “Ya,” jawabnya, “Aku seorang santa. Percayalah bahwa masalah ini akan terselesaikan dalam waktu tiga hari.” Kataku, “Theresia manis yang terkasih, katakanlah, apakah aku akan masuk surga?” Jawabnya, “Ya, engkau akan masuk surga, Suster.” “Dan apakah aku akan menjadi seorang kudus?” Yang dijawabnya, “Ya, engkau akan menjadi seorang santa.” “Tetapi, Theresia kecil, apakah aku akan menjadi seorang santa seperti engkau, ditinggikan hingga ke altar?” Dan ia menjawab, “Ya, engkau akan menjadi seorang santa sepertiku, tetapi haruslah engkau mengandalkan Tuhan Yesus.” Lalu aku bertanya apakah ibu dan ayahku akan masuk surga, akan … (kalimatnya tak selesai). Dan ia menjawab bahwa mereka akan masuk surga. Lebih lanjut aku bertanya, “Dan apakah saudaraku laki-laki dan perempuan akan masuk surga?” Ia mengatakan padaku untuk banyak berdoa bagi mereka, tetapi tak memberiku jawaban pasti. Aku mengerti bahwa mereka sungguh membutuhkan banyak doa.
Itu hanyalah mimpi. Seperti dikatakan pepatah, mimpi adalah bayangan; tetapi Tuhan adalah iman. Walau demikian, tiga hari kemudian kesulitanku terselesaikan dengan sangat mudah, seperti telah dikatakannya. Dan segalanya dalam masalah ini terjadi tepat seperti yang dikatakannya. Itu hanyalah mimpi, tetapi mimpi yang mengandung arti.
Suatu ketika, saat aku berada di dapur bersama Suster N., ia sedikit kecewa padaku dan, sebagai hukuman, ia memerintahkanku untuk duduk di atas meja sementara ia sendiri terus bekerja keras, mencuci dan menggosok. Sementara aku duduk di sana, para suster berdatangan dan tercengang melihatku duduk di atas meja, masing-masing berkomentar. Seorang mengatakan bahwa aku seorang pemalas dan seorang yang lain, “Sungguh eksentrik!” Aku masih seorang postulan kala itu. Lainnya mengatakan, “Akan menjadi suster macam apakah dia ini kelak?” Tetapi, aku tak dapat turun dari meja sebab suster memerintahkanku untuk duduk di sana demi keutamaan ketaatan hingga ia menyuruhku turun. Sungguh, hanya Tuhan yang tahu betapa banyak penyangkalan diri yang dibutuhkan saat itu. Aku pikir aku akan mati karena menanggung malu. Acap kali Tuhan mengijinkan hal-hal semacam itu terjadi demi membentuk batinku, tetapi Ia mengganti penghinaan ini dengan suatu penghiburan besar. Pada waktu Pentahtaan Sakramen Mahakudus, aku melihat-Nya dalam keagungan dan kemuliaan. Yesus memandangku penuh kasih dan berkata, “Puteri-Ku, janganlah takut menghadapi penderitaan-penderitaan; Aku bersamamu.”
Suatu ketika, aku tugas malam, dan aku menderita hebat dalam batinku karena lukisan itu; aku tak lagi tahu jalan mana yang harus kutempuh karena mereka terus-menerus berusaha meyakinkanku bahwa semuanya hanyalah ilusi belaka. Sebaliknya, seorang imam mengatakan bahwa mungkin Tuhan ingin dimuliakan melalui lukisan ini dan karenanya haruslah aku berusaha membuatnya dilukis. Sementara itu, jiwaku menjadi sangat capai dan lelah. Kala aku memasuki kapel kecil, aku mencondongkan kepalaku dekat tabernakel, mengetuk dan berkata, “Yesus, lihatlah kesulitan-kesulitan besar yang aku alami akibat lukisan gambar itu.” Dan aku mendengar suara dari tabernakel, “Puteri-Ku, penderitaanmu tak lama lagi akan berakhir.”
Suatu hari, aku melihat dua jalan. Yang satu lebar, berselimutkan pasir dan bunga-bunga, penuh riang-ria, musik dan segala macam kesenangan. Orang berjalan menapakinya, menari-nari dan berpesta-pora. Mereka tiba di ujung jalan tanpa menyadarinya. Di ujung jalan terdapat suatu jurang yang sangat mengerikan; itulah jurang neraka. Jiwa-jiwa jatuh secara membabi-buta ke dalamnya; sementara berjalan, mereka berjatuhan. Jumlah mereka sungguh amat banyak hingga mustahil menghitung mereka. Aku melihat jalan yang lain, atau tepatnya jalan setapak, sebab jalan itu sempit, onak duri dan bebatuan bertebaran di atasnya; orang-orang yang menapakinya bercucuran airmata, segala macam sengsara menimpa mereka. Sebagian terjatuh di atas bebatuan, tetapi segera bangkit dan terus maju. Di ujung jalan terdapat suatu taman yang indah mempesona penuh dengan berbagai macam sukacita, dan segenap jiwa-jiwa ini masuk ke dalamnya. Seketika itu juga mereka lupa akan segala penderitaan mereka.
Suatu ketika, kala diadakan adorasi di Biara Suster-suster dari Keluarga Kudus, aku pergi ke sana sore hari bersama seorang suster kita. Begitu memasuki kapel, kehadiran Tuhan memenuhi jiwaku. Aku berdoa seperti yang aku lakukan pada waktu-waktu tertentu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sekonyong-konyong, aku melihat Tuhan yang mengatakan kepadaku, “Ketahuilah, bahwa jika engkau melalaikan masalah melukiskan gambaran itu dan seluruh karya belas kasih, engkau akan harus bertanggung-jawab atas sejumlah besar jiwa pada hari penghakiman.” Setelah kata-kata Tuhan Yesus, suatu kegentaran merayapi jiwaku dan kegelisahan menguasaiku. Walau berusaha sekuat tenaga, aku tak dapat menenangkan diri. Kata-kata ini terus menggema di telingaku. Jadi, aku tak hanya harus bertanggung-jawab atas diriku sendiri pada hari penghakiman, melainkan juga atas jiwa-jiwa lain. Kata-kata ini menembusi hatiku begitu dalam. Ketika tiba di rumah, aku pergi kepada Yesus kecil, dengan wajahku mencium tanah, di hadapan Sakramen Mahakudus dan berkata kepada Tuhan, “Aku akan melakukan segalanya dalam kuasaku, tetapi aku mohon Engkau senantiasa menyertaiku dan memberiku kekuatan untuk melakukan kehendak-Mu yang kudus; sebab Engkau dapat melakukan segalanya, sementara aku tak dapat melakukan suatupun dari diriku sendiri.”
Terjadi padaku beberapa waktu lamanya sekarang ini bahwa aku segera merasakan dalam jiwaku apabila seseorang sedang berdoa untukku; begitu pula aku merasakan dalam jiwaku apabila jiwa-jiwa memintaku berdoa untuk mereka, meski mereka tak mengatakannya langsung kepadaku. Rasanya seperti kegelisahan tertentu, seolah seseorang memanggil-manggilku, dan ketika aku berdoa, aku merasa tenang.
Suatu ketika, aku sangat rindu menyambut Komuni Kudus, tetapi ada keraguan dalam diriku, sehingga aku tidak menyambut-Nya. Aku menderita hebat karena hal ini. Rasanya jiwaku akan meledak karena tersiksa. Kala aku mulai bekerja, dengan hatiku penuh kepahitan, sekonyong-konyong Yesus berdiri dekatku dan mengatakan, “Puteri-Ku, janganlah melewatkan Komuni Kudus, terkecuali engkau tahu benar bahwa pelanggaranmu serius; selain dari hal ini, jangan ada suatu keraguan pun yang menghalangimu mempersatukan diri dengan-Ku dalam misteri kasih-Ku. Cacat celamu yang kecil akan lenyap dalam kasih-Ku bagaikan sebatang jerami yang dilemparkan ke dalam tungku api yang besar. Ketahuilah bahwa engkau amat mendukakan-Ku apabila engkau tidak menyambut-Ku dalam Komuni Kudus.”
Sore hari, saat memasuki kapel kecil, aku mendengar kata-kata ini dalam jiwaku, “Puteri-Ku, renungkanlah kata-kata ini, `Dan dalam sengsara, Ia berdoa dengan lebih sungguh.'” Ketika aku mulai merenungkannya lebih dalam, banyak terang mengaliri jiwaku. Aku mengerti betapa banyak kita membutuhkan ketekunan dalam doa, dan bahwa keselamatan kita seringkali tergantung pada doa sulit semacam itu.
Ketika aku di Kickers (1930) guna menggantikan salah seorang suster untuk jangka waktu yang singkat, suatu siang aku berjalan melintasi taman dan berhenti di tepi danau; lama aku berdiri di sana, menikmati sekelilingku. Sekonyong-konyong aku melihat Tuhan Yesus di dekatku, dengan hangat Ia berkata, “Semua ini Aku ciptakan untukmu, mempelai-Ku; ketahuilah bahwa segala keindahan ini tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang telah Aku persiapkan untukmu dalam keabadian.” Jiwaku diliputi penghiburan begitu rupa hingga aku tinggal di sana sampai sore hari, yang bagiku serasa sekejap saja. Hari itu adalah hari bebasku, yang disisihkan untuk retret satu hari, sehingga aku cukup bebas mempersembahkan diriku dalam doa. Oh, betapa Allah, yang kebaikan-Nya tak terhingga, melimpahi kita dengan kebajikan-kebajikan-Nya! Kerap kali terjadi bahwa Tuhan menganugerahiku karunia-karunia terbesar saat aku sama sekali tak mengharapkannya.
Ya Hosti Terberkati, dalam piala emas tersembunyi bagiku. Melewati berbagai keganasan pembuangan, kiranya aku boleh keluar - dengan murni, tanpa noda, tanpa cela; ya Tuhan, anugerahkanlah agar melalui kuasa kasih-Mu hal ini boleh terjadi.
Ya Hosti Terberkati, bersemayamlah dalam jiwaku, ya Engkau, kekasih hatiku yang sejati! Dengan kecemerlanganmu, kegelapan terhalau. Janganlah menolak memberikan rahmat-Mu kepada jiwa yang bersahaja. Ya Hosti Terberkati, pesona segala yang surgawi, meski keelokan-Mu terselubung dan tersamar dalam sekeping roti, iman yang kuat akan mengoyakkan selubungnya.
Peringatan Perang Salib, yang dirayakan pada tanggal lima, kebetulan jatuh pada hari Jumat Pertama dalam bulan. Ini adalah hari berjagaku di hadapan Tuhan Yesus. Adalah kewajibanku untuk melakukan silih kepada Tuhan atas segala pelanggaran dan segala perbuatan yang kurang pantas, serta berdoa agar, pada hari ini, tak satu sakrilegi pun dilakukan. Hari ini, rohku terbakar oleh kasih istimewa kepada Ekaristi. Aku merasa diubah menjadi nyala api yang berkobar-kobar. Ketika aku hendak menyambut Komuni Kudus, Hosti kedua jatuh ke atas lengan jubah imam, dan aku bingung Hosti mana yang harus aku sambut. Setelah aku ragu-ragu sejenak, imam membuat gerakan tak sabar dengan tangannya mengisyaratkanku untuk segera menyambut Hosti. Saat aku menyambut Hosti yang diberikan imam, Hosti yang lain jatuh ke atas tanganku. Imam beranjak pergi, berjalan sepanjang rel altar guna membagikan Komuni; aku menyimpan Tuhan Yesus dalam tanganku sepanjang waktu itu. Kala imam datang mendekat kembali, aku mengangkat Hosti agar imam dapat menyimpan Hosti dalam piala, sebab saat aku pertama kali menyambut Yesus, aku tak dapat berbicara sebelum menyantap Hosti dalam tanganku, jadi tak dapat mengatakan kepadanya bahwa Hosti lainnya telah jatuh. Tetapi, sementara menggenggam Hosti dalam tanganku, aku merasakan kuasa kasih yang begitu dahsyat hingga sepanjang hari itu aku tak dapat makan ataupun kembali ke akal sehatku. Aku mendengar kata-kata ini dari Hosti, “Aku ingin beristirahat dalam tanganmu, bukan hanya dalam hatimu.” Dan pada saat itu aku melihat Yesus kecil. Tetapi, kala imam mendekat, aku melihatnya kembali sebagai Hosti.
Ya Maria, Perawan Tak Bernoda, kristal murni bagi jiwaku, engkau kekuatanku, ya jangkar yang kokoh! Engkaulah naungan dan perlindungan bagi jiwa yang lemah.
Ya Maria, engkau murni, dari kemurnian yang tiada tertandingi; sekaligus Perawan dan Bunda, engkau elok bagai matahari, tanpa cela, dan jiwamu unggul tiada bertara.
Keelokanmu memuaskan mata Tritunggal Mahakudus.
Ia turun dari surga, meninggalkan tahta abadi-Nya, mengambil Tubuh dan Darah dari jantungmu, dan sembilan bulan lamanya tinggal bersembunyi dalam hati seorang Perawan.
Ya Bunda, Perawan, yang termurni dari sekalian bunga lili, hatimu adalah tabernakel Yesus yang pertama di bumi. Hanya karena tak ada kerendahan hati yang melampaui kerendahan hatimu. Kiranya engkau ditinggikan di atas paduan suara para malaikat dan di atas segala para kudus.
Ya Maria, Bundaku yang termanis, aku persembahkan kepadamu jiwaku, tubuhku dan hatiku yang malang. Sudi jadilah pelindung hidupku, teristimewa pada saat ajal menjemput, pada perjuangan yang terakhir.
YMY
Yesus, Engkau Andalanku
1 Januari 1937
Catatan kontrol batin dari jiwa. Pemeriksaan khusus - bersatu dengan Kristus yang Maharahim. Latihan: keheningan batin, mengamalkan keheningan dengan ketat.
Hati Nurani
![]() YMY
Tahun 1937
Ya Tritunggal Mahakudus! Sebanyak kali aku bernapas, sebanyak kali jantungku berdetak, sebanyak kali darahku berdenyut mengaliri tubuhku, sebanyak beribu-ribu kali aku rindu memuliakan belas kasih-Mu. Aku rindu sepenuhnya diubah ke dalam belas kasih-Mu dan menjadi pantulan-Mu yang hidup, ya Tuhan. Kiranya keagungan segala kebajikan ilahi, yaitu kerahiman-Mu yang tak terselami, melewati hati dan jiwaku kepada sesama.
Bantulah aku, ya Tuhan, agar mataku berbelas-kasih, supaya jangan pernah aku menaruh curiga ataupun menghakimi sesama dari penampilan, melainkan mencari apa yang indah dalam jiwa sesama dan menjadi penolong mereka.
Bantulah aku, ya Tuhan, agar telingaku berbelas-kasih, supaya aku peduli terhadap kebutuhan sesama dan tidak acuh tak acuh terhadap derita dan sengsara mereka.
Bantulah aku, ya Tuhan, agar lidahku berbelas-kasih, supaya jangan pernah aku berbicara buruk mengenai sesama, melainkan mengucapkan kata-kata penghiburan dan pengampunan bagi semua.
Bantulah aku, ya Tuhan, agar tangan-tanganku berbelas-kasih dan penuh dengan perbuatan-perbuatan baik, supaya aku melakukan hanya yang baik bagi sesama dan membebankan kepada diriku sendiri tugas-tugas yang berat dan sulit.
Bantulah aku, ya Tuhan, agar kaki-kakiku berbelas-kasih, supaya aku bergegas dalam menolong sesama, sementara aku mengatasi kepenatan dan keletihanku sendiri. Istirahatku yang sejati adalah dalam melayani sesama.
Bantulah aku, ya Tuhan, agar hatiku berbelas-kasih, supaya aku sendiri dapat merasakan segala penderitaan sesama. Aku tak akan menolak memberikan hatiku kepada siapa saja. Aku akan tulus hati bahkan terhadap mereka yang aku tahu akan menyalahgunakan kebaikanku. Aku akan mengunci diriku dalam Hati Yesus yang Maharahim. Aku akan menanggung penderitaanku diam-diam.
Kiranya belas kasih-Mu, ya Tuhan, bersemayam dalam diriku. Engkau Sendiri memintaku untuk mempraktekkan ketiga tingkatan belas kasih. Pertama: tindakan belas kasih, apapun bentuknya. Kedua: perkataan belas kasih - jika aku tak dapat melakukan tindakan belas kasih, aku akan menolong dengan kata-kataku. Ketiga: Doa - jika aku tak dapat menunjukkan belas kasih dengan perbuatan maupun perkataan, aku akan senantiasa dapat melakukannya dengan doa. Doaku menjangkau bahkan tempat-tempat yang tak dapat aku jangkau secara fisik.
Ya Yesus-ku, ubahlah aku menjadi DiriMu Sendiri, sebab Engkau dapat melakukan segalanya.
(empat halaman dibiarkan kosong)
Sumber: “The Divine Mercy in My Soul” by St Faustina Kowalska
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|
![]() |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||